LIPUTAN KHUSUS:

Ngotot Pakai Batu Bara, ASEAN Naikkan Risiko Kerugian Ekonomi


Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Penggunaan batu bara hanya akan meningkatkan risiko kerugian ekonomi negara-negara ASEAN.

Energi

Sabtu, 29 Juni 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Negara anggota Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) dinilai perlu mulai berpindah dari energi fosil, khususnya dari batu bara. Sebab, mempertahankan penggunaan batu bara sebagai sumber energi hanya akan meningkatkan risiko kerugian ekonomi.

Menurut Institute for Essential Services Reform (IESR), selain telah menjadi komitmen global untuk membatasi kenaikan suhu bumi di 1,5° Celcius, sebagaimana hasil Perundingan Perubahan Iklim Global (COP) ke-28, transisi dari energi batu bara ini juga akan melindungi negara anggota ASEAN dari risiko guncangan ekonomi akibat impor energi fosil yang terus meningkat.

Sejak 2017, IESR mencatat, impor batu bara negara-negara di Asia Tenggara naik dari 60 juta ton menjadi 120 juta ton. Adapun polusi udara dari aktivitas pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berpotensi meningkatkan risiko angka kematian dini hingga 70,000 per tahun di 2030.

Lebih jauh IESR menguraikan, ASEAN memiliki potensi energi terbarukan sekitar 17 terrawatt (TW), dan cukup untuk memenuhi kebutuhan energinya jika dikembangkan secara konsisten. Pengembangan energi terbarukan juga dapat membuka peluang investasi, meningkatkan daya saing di pasar internasional, menurunkan biaya produksi tenaga listrik, dan menurunkan kerugian ekonomi dan sosial akibat polusi udara, dan menghindari risiko ekonomi akibat aset mangkrak (stranded asset) dari infrastruktur energi fosil yang beroperasi dan sedang dibangun.

Tongkang yang penuh dengan batu bara berlabuh di sungai Mahakam di Samarinda, Kalimantan Timur, Indonesia, Senin, 19 Desember 2022. Foto: AP Photo/Dita Alangkara.

Namun, laporan terbaru ASEAN Centre for Energy (ACE) on the Role of Coal yang dirilis pada Mei 2024 malah merekomendasikan untuk tetap mempertahankan batu bara sebagai salah satu sumber energi yang penting dengan penggunaan Carbon Capture and Storage (CCS) dan Carbon Capture Utilization and Storage (CCUS).

Berdasarkan kajian-kajian terbaru, teknologi CCS/CCUS tidak dipandang sebagai teknologi yang handal dan berbiaya murah untuk menekan emisi karbon dari PLTU. Pengalaman sejumlah proyek di berbagai negara menunjukkan penggunaan CCS/CCUS di PLTU tidak efektif menangkap karbon, berbiaya tinggi dan berisiko tinggi secara finansial.

IESR memandang, mempertahankan PLTU batu bara justru akan membuat anggota negara ASEAN berada dalam siklus jebakan karbon (carbon lock-in) dalam jangka panjang dan menyulitkan transisi energi ke energi bersih, meningkatnya emisi karbon, peningkatan risiko aset mangkrak (stranded asset) dari energi fosil, dan potensi ekonomi biaya tinggi

Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, beranggapan, merekomendasikan teknologi ini semata-mata untuk mempertahankan operasi PLTU dan melanggengkan ketergantungan sejumlah negara ASEAN untuk mengimpor batu bara merupakan saran yang tidak bijak.

"Implikasinya adalah terhambatnya akselerasi energi terbarukan yang lebih murah, terjangkau dan rendah risiko untuk menurunkan emisi karbon dalam rangka mencegah kenaikan temperatur di atas 1,5°C,” kata Fabby, dalam sebuah keterangan tertulis, 26 Juni 2024.

Tidak hanya itu, Fabby mengatakan, keinginan untuk mempertahankan PLTU batu bara justru bertentangan dengan pandangan lebih dari 60 persen warga di negara anggota ASEAN yang menolak pembangunan PLTU baru dan menginginkan untuk pengakhiran secara bertahap (phase out) PLTU, sesuai survei ISEAS di 2022.

Temuan dari First Global Stocktake, lanjut Fabby, mendorong komunitas global untuk menghentikan penggunaan bahan bakar fosil dan meningkatkan tiga kali lipat energi terbarukan pada 2030. Memperlengkapi PLTU batu bara dengan CCS/CCUS hingga saat ini belum terbukti signifikan untuk menurunkan emisi gas rumah kaca.

"Selain itu, secara ekonomi kurang layak dan tidak efisien secara finansial dengan risiko aset mangkrak yang lebih besar. Jika ASEAN tetap bergantung batu bara, jelas akan menimbulkan keraguan terhadap komitmen kepemimpinan ASEAN dalam mitigasi perubahan iklim," ucapnya.

Menurut Manajer Riset IESR, Raditya Wiranegara, ASEAN perlu serius mengejar target pengembangan energi terbarukan, dengan bauran energi terbarukan sebesar 57 persen pada 2030 dan 90-100 persen bauran energi terbarukan pada 2050. Manfaat ekonomi dari batu bara, katanya, akan tergerus seiring dengan berjalannya transisi energi yang mengedepankan energi terbarukan di berbagai negara.

"Komitmen pengakhiran operasional PLTU batu bara secara dini dan terencana yang diambil AMS justru akan menarik investasi terhadap pengembangan energi terbarukan,” kata Raditya.

Selain itu, Raditya menilai usulan laporan ACE yang menempatkan batu bara sebagai bahan bakar transisi dalam sistem energi ASEAN dapat mengaburkan komitmen negara anggota ASEAN di dalam komitmen bersama terhadap Persetujuan Paris dan mengirimkan sinyal campuran ke iklim investasi energi terbarukan di kawasan ini sehingga dapat mengurangi minat investasi dalam pengembangan energi terbarukan.

Koordinator Proyek Diplomasi Iklim, Arief Rosadi menyatakan, pengembangan energi terbarukan di kawasan ASEAN lebih bermanfaat bagi perekonomian. Mengacu studi IESR, Asia Tenggara merupakan eksportir modul panel surya dengan kapasitas 64 GW pada 2023.

Vietnam, Malaysia, dan Thailand diketahui memproduksi sekitar 11 persen pasokan global. Dengan peningkatan permintaan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di Asia Tenggara untuk mendukung transisi energi bersih, dapat memberikan kesempatan berkembangnya manufaktur rantai pasok sel dan modul surya di Indonesia untuk memasok permintaan di kawasan ini.

Arief bilang, tren permintaan terhadap modul PLTS di kawasan Asia Tenggara semakin meningkat. Momentum tersebut dapat dimanfaatkan oleh negara ASEAN untuk menjadikan Asia Tenggara sebagai pusat rantai pasok PLTS (solar hub) regional dengan mempertimbangkan keunggulan ekonomi masing-masing negara.

"Pemanfaatan potensi dan proses kolaboratif tersebut pada akhirnya akan mendorong pengembangan industri transisi energi di kawasan, dan dapat berkontribusi terhadap penguatan fondasi ekonomi ASEAN untuk mewujudkan pusat pertumbuhan (epicentrum of growth) dunia,” ujar Arief.