LIPUTAN KHUSUS:

Siapa Negara Paling Terancam Lapar Karena Krisis Iklim Versi AI?


Penulis : Kennial Laia

Indonesia termasuk dalam kategori paling sedikit terpengaruh.

Perubahan Iklim

Kamis, 04 Juli 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Negara-negara yang paling rentan terhadap perubahan iklim dan memiliki tingkat kelaparan tertinggi kurang terwakili dalam penelitian pangan pertanian. Hal ini memicu perlunya tindakan segera dan peningkatan investasi untuk mengatasi ketidakseimbangan ini, demikian temuan sebuah studi terbaru.

Laporan "State of the Field for Research on Agrifood Systems" menemukan bahwa hanya satu dari delapan makalah penelitian yang dipimpin oleh ilmuwan dari 81 negara termiskin.

Para penulis, termasuk peneliti dari Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) dan Institut Penelitian Kebijakan Pangan Internasional (IFPRI), mengungkapkan bahwa beberapa negara memiliki basis bukti kurang dari 1.000 artikel.

Negara-negara yang paling tidak terwakilkan namun berisiko terdampak bencana kelaparan akibat krisis iklim menurut studi tersebut di antaranya Nauru, Samoa, Vanuatu, Suriname, Timor Leste, Brunei Darussalam, dan Bahrain.

Ilmuwan menemukan bahwa negara-negara paling rentan terhadap bencana kelaparan akibat krisis iklim tidak terwakilkan dalam riset-riset pangan dan pertanian. Dok. CABI

Sementara itu secara geografis, Indonesia termasuk dalam kategori paling sedikit terpengaruh, berdasarkan jumlah penelitian maupun keterlibatan ilmuwannya dalam riset-riset terkait pangan dan pertanian. Data FAO 2020-2022, misalnya, menunjukkan jumlah makalah ilmiah dibandingkan jumlah penduduk yang rawan pangan sedang atau berat di Indonesia berada di angka di atas 30.000 juta. Sementara itu jumlah makalah ilmiahnya (dibandingkan dengan kerentanan keseluruhan suatu negara terhadap perubahan iklim) terdapat kurang lebih 5 ribu volume.  

Penelitian pangan di masa depan harus lebih baik 

Laporan ini, yang menggunakan kecerdasan buatan untuk menilai 6,3 juta judul ilmiah, abstrak, dan metadata dari tahun 2010 hingga 2023 dan bersumber dari CAB Abstrak, menawarkan ikhtisar hasil penelitian saat ini dan siap untuk membentuk agenda penelitian di masa depan demi ketahanan pangan yang lebih baik dengan dukungan donor dan pemerintah.

Laporan ini juga menyajikan serangkaian rekomendasi, termasuk seruan untuk meningkatkan pendanaan guna mendukung upaya penelitian awal di negara-negara termiskin di dunia—dengan fokus pada wilayah yang paling rentan terhadap perubahan iklim dan kelaparan.

Lebih lanjut, para ilmuwan menyarankan peningkatan praktik partisipatif untuk memasukkan perspektif perempuan ke dalam metodologi penelitian pertanian dan memperkuat keterlibatan dalam jalur hasil dan intervensi untuk menumbuhkan koherensi dan kerja sama dalam mengatasi tantangan pertanian.

Pembangunan adil dan inklusif dalam sistem pangan

Jaron Porciello, Direktur Juno Evidence Alliance dan penulis utama laporan tersebut mengatakan, temuan tersebut mendorong agar pemerintah di dunia membuat kebijakan sesuai dengan riset-riset ilmiah yang terbukti dan kredibel. 

“Laporan ini menyelaraskan penelitian ilmiah dengan keharusan kebijakan, berkonsentrasi pada hasil dan intervensi yang diusulkan oleh para ilmuwan untuk memandu pembangunan yang inklusif dan adil dalam sistem pangan di seluruh negara-negara miskin dan berpendapatan menengah," kata Porciello, Senin, 1 Juli 2024. 

Laporan ini menyoroti bagaimana publikasi penelitian di bidang pertanian dan sistem pangan telah meningkat lebih dari 60% dalam satu dekade terakhir, dengan publikasi yang mencakup lebih dari 35.000 jurnal dan laporan teknis dalam domain pertanian saja.

Namun, dominasi publikasi penelitian pertanian justru dipegang oleh negara-negara seperti Tiongkok, Amerika Serikat, Brasil, dan India, yang merupakan negara maju dan berkembang. Para ilmuwan menggarisbawahi perlunya peningkatan fokus pada wilayah dengan hasil penelitian yang jauh lebih rendah.

Masukan krusial untuk kebijakan pemerintah

Mereka menambahkan bahwa kurangnya keterwakilan ilmuwan dari negara-negara termiskin di dunia dalam publikasi ilmiah menghambat perbincangan global, sehingga menghambat perolehan wawasan relevan secara kontekstual yang penting bagi pembuatan kebijakan yang terinformasi.

Misalnya, kesenjangan dalam penelitian terkait tanaman, di mana sereal mendapat perhatian penelitian 40% lebih besar dibandingkan buah-buahan dan sayuran. “ Ini menyoroti potensi hilangnya peluang untuk mengatasi hasil-hasil penting melalui intervensi—khususnya dalam mendorong kesetaraan gender, hasil gizi, dan praktik pertanian berkelanjutan,” kata Porciello. 

Rekomendasi lebih lanjut mencakup seruan untuk melakukan investasi yang lebih besar dalam inisiatif yang mendorong diversifikasi tanaman untuk meningkatkan ketahanan pangan dan keberlanjutan pertanian. Laporan ini juga menyoroti perlunya penelitian berkualitas tinggi yang bertujuan untuk menjembatani kesenjangan antara persepsi petani terhadap perubahan iklim dan layanan konsultasi yang dapat ditindaklanjuti.

Peneliti lain yang berkolaborasi dalam penelitian ini antara lain dari Cornell University dan University of Texas, AS, University of Helsinki, Finlandia, dan Global Affairs Canada.