LIPUTAN KHUSUS:

Warga Khawatir Tempat Sampah Sementara Pemda Bantul Cemari Sawah


Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Tempat Pembuangan Sampah Sementara di perbatasan Kelurahan Srimulyo dan Kelurahan Sitimulyo, di Bantul, dikhawatirkan akan mencemari lahan sawah warga.

Polusi

Senin, 08 Juli 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Rencana pembangunan tempat pembuangan sampah sementara (TPSS) di Kelurahan Srimulyo, Kapanewon Piyungan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), menuai penolakan dari warga Kelurahan Sitimulyo, kelurahan tetangga. Mereka khawatir TPSS yang rencananya akan dibangun di perbatasan dua kelurahan itu akan mencemari lahan persawahan milik warga.

Dalam sebuah rilis yang disampaikan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Yogyakarta, dijelaskan, penolakan pembangunan TPSS ini terutama disuarakan oleh warga yang tinggal di Padukuhan Banyakan II, Banyakan III, Pagergubung I dan Pagergunung II. Mereka beranggapan kampungnya itu akan terkena dampak pencemaran TPSS.

TPSS ini rencananya akan dibangun di lahan seluas sekitar 3 ribu meter persegi, dengan status tanah Sultan Ground. Terdapat tiga titik yang akan dijadikan opsi lokasi pembangunan yaitu TPSS Kaligatuk, TPSS Puncak Bucu, dan TPSS Tumpang.

Pemerintah daerah akan menggunakan tanah tersebut untuk kegiatan pembuangan sampah dengan masa kontrak 6 bulan yang akan berakhir pada Desember 2024. Tidak ada penjelasan teknis terkait bagaimana model pengelolaan penguraian kandungan lindi, dan pengelolaan gas metan yang akan dilakukan.

Warga empat padukuhan di Bantul membentangkan spanduk bertuliskan penolakan pembangunan TPSS Srimulyo. Foto: Walhi Yogyakarta.

"Tidak dijelaskan juga bahwa TPSS tersebut digunakan untuk pembuangan residu saja. Sehingga, kemungkinan sampah yang dibuang di situ merupakan sampah hasil pengangkutan dari hulu yang tidak diolah," kata Walhi Yogyakarta, 2 Juli 2024.

TPSS rencananya akan menggunakan geomembran dan talud untuk menahan air lindi. Namun pada praktiknya, geomembran dan talud bukan menjadi solusi yang bisa menahan aliran lindi.

Warga telah membuktikan dengan melakukan pengecekan di TPA Transisi yang menggunakan geomembran. Geomembran tersebut pada akhirnya tetap rusak dan akhirnya air lindi masih mencemari tanah dan air milik warga.

Pembangunan TPA dan kebijakan yang serampangan dari kabupaten/kota di DIY tersebut menunjukkan bahwa pemerintah belum siap dengan desentralisasi. Walhi berpendapat, Pemerintah DIY justru melepaskan tanggung jawabnya dari kegagalan pengelolaan sampah.

Pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008, TPA merupakan tanggung jawab dari pemerintah provinsi. Pasca-munculnya kebijakan terkait desentralisasi, pemerintah kabupaten dan pemerintah kota masih sangat tergantung dengan TPA Piyungan. Meski secara resmi telah ditutup, pada praktiknya TPA ini masih menjadi pilihan tempat untuk melakukan pembuangan sampah.

"Alih-alih membuat pengelolaan sampah di hulu agar tidak membebani TPA-TPA eksisting yang ada di DIY, pemerintah daerah justru semakin menggencarkan pembangunan TPA," kata Walhi Yogyakarta.

Dari berbagai serangkaian peristiwa yang menunjukkan adanya darurat sampah di DIY, Walhi Yogyakarta mendorong adanya solusi yang diselesaikan secara holistik. Untuk itu diperlukan adanya perancangan, pengembangan, dan evaluasi yang jelas terkait kebijakan dan implementasi proyek pengelolaan sampah dengan sudut pandang sistemik dengan memastikan keselarasan antara manfaat lingkungan, sosial, dan ekonomi.

Kemudian, sistem pengelolaan sampah harus dikuatkan dan diselaraskan dengan tujuan sistemik yang lebih besar, salah satunya adalah memastikan adanya layanan dasar publik seperti air bersih, kesehatan, energi, pendidikan, makanan dan kebutuhan mendasar lainnya untuk semu.

"Kebijakan terkait pengelolaan sampah harus menyediakan manfaat lebih jauh seperti udara bersih, penghidupan yang lebih baik, dan ketahanan pangan. Hal-hal tersebut harus dapat diakses seluruh warga atau komunitas, khususnya bagi mereka yang saat ini dirugikan oleh pencemaran," ujar Walhi Yogyakarta.