LIPUTAN KHUSUS:
Kronik Rempang Eco-City Ungkap Kontroversi Investasi Tiongkok
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Janji investasi pembangunan pabrik kaca dan solar panel diduga menjadi biang transformasi proyek dari pariwisata menjadi PSN Rempang Eco-City.
Agraria
Jumat, 12 Juli 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Janji investasi pembangunan pabrik kaca dan solar panel oleh perusahaan Tiongkok diduga jadi sebab Rempang Eco-city di Pulau Rempang, di Kota Batam, Provinsi Riau Kepulauan, mendapat label proyek strategis nasional (PSN). Label PSN ini yang kemudian memicu terjadinya upaya pengusiran dan penggusuran warga asli pulau itu.
Padahal Rempang Eco-city itu awalnya bernama proyek pengembangan Kawasan Wisata Terpadu Eksklusif (KWTE) Pulau Rempang, yang sesuai namanya (KWTE) adalah proyek pengembangan pariwisata saja. Hal tersebut diulas dalam sebuah kajian berjudul Kronik Rempang Eco-City, Kontroversi Investasi Tiongkok dan Resistensi Masyarakat Rempang, yang diluncurkan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Riau, pada 8 Juli 2024.
Direktur Eksekutif Daerah Walhi Riau, Boy Even Sembiring, mengatakan kajian ini terdiri dari lima bagian. Yang pertama, bahwa Pulau Rempang bukanlah pulau kosong. Hal tersebut dibuktikan dengan paparan sejarah Rempang sebelum kemerdekaan hingga integrasinya menjadi bagian Indonesia.
"Ancaman terhadap Rempang terjadi pasca-terbitnya Keputusan Presiden (Keppres) No. 28 Tahun 1992, yang menambahkan Rempang sebagai bagian dari wilayah lingkungan kerja daerah industri Pulau Batam," katanya dalam acara peluncuran kajian itu, di Batam.
Yang kedua, lanjut Even, terkait transformasi proyek pengembangan KWTE Pulau Rempang menjadi proyek Rempang Eco-city, yang selanjutnya ditetapkan sebagai salah satu PSN. Perubahan nama ini berkonsekuensi pada perubahan master plan dan insentif kepada proyek ini. Sebelumnya, KWTE hanya fokus pada proyek pengembangan pariwisata dan pasca-perubahan nama bertambah dengan rencana pengembangan kota baru, pembangunan pabrik kaca dan solar panel.
Selanjutnya yang ketiga, tentang relasi dan sejarah proyek Rempang Eco-city dan investasi Xinyi, perusahaan asal Tiongkok. Walhi Riau, katanya, menduga janji investasi pembangunan pabrik kaca dan solar panel dengan nilai USD11,5 miliar setara Rp173,6 triliun menjadi dasar menambahkan proyek ini sebagai PSN melalui Permenko Ekuin Nomor 7 Tahun 2023.
"Bagian ini juga menjelaskan banyak kebohongan terkait investasi Xinyi, dari penyebutannya sebagai perusahaan kaca terbesar nomor dua di Dunia hingga kegagalan Xinyi menjalankan proyek di Bangka Selatan, Gresik, dan Kanada," katanya.
Bagian keempat, berisi cerita represif di balik PSN Rempang Eco-City. Proses sosialisasi, upaya kriminalisasi, represivitas pada peristiwa 7 September 2023, yang mengubah Rempang layaknya daerah operasi militer, bualan tentang analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal), dan saling bantah data relokasi.
"Kelima, perubahan sikap masyarakat. Dari awalnya sekedar menolak relokasi dan meminta ganti rugi yang adil berubah menjadi penolakan terhadap PSN Rempang Eco-City," ucap Even.
Rosni, perempuan pejuang asal Kampung Melayu Tua, Pulau Rempang, mengatakan, menurut data kepala keluarga (KK) yang dikumpulkan masyarakat sebelum 7 September 2023, ditemukan perbedaan data masyarakat dengan Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam). Pihaknya memperkirakan, hanya sekitar 20 persen KK yang menyetujui relokasi di lokasi rencana pembangunan tahap I.
"Masyarakat yang setuju juga di antaranya adalah ASN, pegawai PT MEG, BP Batam, atau pendatang yang sebenarnya tidak mempunyai tanah di Rempang," kata Rosni.
Menanggapi isu kajian itu, Sopandi, advokat yang tergabung dalam Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang, menyebut adanya relasi aksi solidaritas pada 11 September 2023 dengan tuntutan peserta aksi untuk membebaskan masyarakat Rempang yang ditangkap pada peristiwa 7 September 2023. Menurutnya, proses penegakan hukum sama sekali tidak memperhatikan adanya perjuangan masyarakat yang mempertahankan haknya dalam peristiwa 7 dan 11 September 2023.
Selain itu, upaya yang dilakukan oleh tim hukum juga mendapat tekanan dari Menteri Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia, yang meminta peristiwa ini tidak diselesaikan dengan skema restorative justice. Tim juga menemukan kejanggalan dari proses praperadilan hingga proses perkara pokok.
"Ada pertimbangan yang membingungkan di praperadilan dan ada pengakuan dadakan oleh para terdakwa, walaupun di proses peradilan tidak ada bukti yang menunjukkan mereka melakukan perusakan," katanya.
Iwan Nurdin, dari Majelis Pakar Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), berpendapat, ada keinginan negara pasca-kemerdekaan untuk menjadi motor pembangunan. Hal inilah yang melahirkan konsep hak pengelolaan, hak yang diturunkan dari konsep yang disebut sebagai hak menguasai negara yang tujuannya untuk kemakmuran rakyat. Konsep hak pengelolaan ini, katanya, seharusnya diberikan kepada pemerintah daerah dan masyarakat adat.
"Belakangan, hak ini disalah-gunakan dengan pemberian kepada badan publik yang bersifat bisnis, yang bentuknya dalam model badan otorita dan sejenisnya. Hal ini yang mengakibatkan diabaikannya hak masyarakat adat dan lainnya," kata Iwan.
Model penentuan tanah sebagai tanah negara dan kawasan hutan, sambung Iwan, memperburuk situasi ini. Hak pengelolaan semakin diselewengkan pasca-terbitnya Undang-Undang (UU) Cipta Kerja, yang mana hak pengelolaan diperlonggar untuk entitas bisnis.
Keunikan yang terjadi di Rempang, lanjutnya, adalah adanya pemberian insentif berlebih di Batam, di mana lokasi yang sudah ditetapkan sebagai kawasan ekonomi khusus ditambah label proyek strategis negara. Kondisi ini memudahkan perampasan dan ambil alih tanah secara lebih cepat dan murah.
Iwan memandang, penamaan eco-city pada proyek ini juga seolah melabelkan proyek ini ramah lingkungan. Konsekuensi yang terjadi apabila proyek ini terus dibiarkan berjalan, adalah pasar akan dengan mudah memboikot produk dari lokasi ini. Kriminalisasi merupakan uji awal dalam proses perampasan tanah.
"Hal ini akan diikuti dengan intimidasi preman dan pecah belah dengan uang serta lainnya. Pada bagian akhir, masyarakat dibuat bosan dengan perjuangannya," ucapnya.
Manajer Kampanye Tata Ruang dan Infrastruktur Walhi Eksekutif Nasional, Dwi Sawung, beranggapan Tiongkok secara perlahan berposisi sebagai investor nomor dua terbesar di Indonesia. Sejak 2014, perlahan jumlah investasi negara tersebut naik secara signifikan.
Sawung bilang, banyak proyek Tiongkok di Indonesia berkedok alih teknologi, namun pada prinsipnya proyeknya tersebut hanya bisnis ekstraksi biasa. Investasi Tiongkok pada umumnya tidak diawali riset awal, tidak menaruh standar lingkungan, masalah sosial, kesesuaian dengan peraturan perundang-undangan, dan keselamatan lingkungan sebagai aspek penting.
"Bagi mayoritas investor Tiongkok, persetujuan penguasa atau pemerintah sudah cukup untuk memastikan proyek berjalan. Beberapa investasi Tiongkok di Indonesia mempunyai kesamaan dengan proyek yang sedang direncanakan di Rempang," kata Sawung.
Kajian Walhi Riau ini juga menghasilkan sejumlah rekomendasi. Salah satunya, agar Presiden Joko Widodo, di sisa masa jabatannya, untuk memenuhi janji politiknya ketika berkampanye di Kompleks Stadion Temenggung Abdul Jamal, Kota Batam, pada 6 April 2019. Janji itu yakni melakukan sertifikasi kampung tua di Kota Batam, dan Pulau Rempang merupakan salah satu daerah yang masuk dalam lingkup janji tersebut.