LIPUTAN KHUSUS:

Masyarakat Adat Tolak Rayuan Pulau Kelapa di Raja Ampat


Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Masyarakat adat khawatir keberadaan perusahaan akan merusak kehidupan sosial masyarakat dan hutan.

Masyarakat Adat

Jumat, 19 Juli 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Masyarakat Adat Marga Moifilit dan Kalapain di Distrik Salawati Tengah, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya, menolak kehadiran perusahaan perkebunan kelapa PT Pesona Karya Alam (PKA) untuk beroperasi di wilayah adat mereka. Masyarakat adat khawatir keberadaan perusahaan akan merusak kehidupan sosial masyarakat dan hutan.

Penolakan kehadiran anak perusahaan Salim Group itu dinyatakan dalam berita acara Musyawarah Adat Marga Moifilit dan Kalapain, yang ditandatangani oleh seluruh orang tua dan anak muda dari kedua marga tersebut, di kampung Wailem, Distrik Salawati Tengah, pada 6-7 Juli 2024. Penolakan itu juga disampaikan langsung kepada pihak PT PKA dalam sebuah pertemuan pada 8 Juli 2024.

Salah seorang perwakilan orang tua marga Moifilit, Obaja Moifilit, menganggap kehadiran perusahaan kelapa PT PKA di wilayah adat marga Moifilit dan Kalapain merupakan ancaman serius terhadap kehidupan sosial mereka. Selain itu, Obaja berpendapat, perusahaan tersebut akan menyebabkan hilangnya tutupan hutan dan keanekaragaman hayati di wilayah adat mereka yang menyimpan berbagai jenis habitat, jenis tumbuhan obat-obatan tradisional, rumah bagi berbagai jenis burung, mamalia, dan reptilia serta sumber kehidupan masyarakat adat.

“Ancaman ini yang menjadi alasan kami menolak perusahaan kelapa PT Pesona Karya Alam beroperasi di wilayah adat Distrik Salawati Tengah,” kata Obaja Moifilit, dalam sebuah rilis, Selasa (16/7/2024).

Masyarakat adat marga Moifilit dan Kalapain menyatakan penolakannya terhadap operasi perusahaan perkebunan kelapa dalam di wilayah adatnya. Foto: AMAN.

Obaja mengakui, perwakilan PT PKA sudah hampir sebulan ini terus melakukan pendekatan agar mendapatkan persetujuan dari Masyarakat Adat Moifilit dan Kalapain. Namun, warga tetap menolak.

"Kami menolak segala bentuk upaya pendekatan yang dilakukan pihak perusahaan kepada Masyarakat Adat Marga Moifilit dan Kalapain secara perorangan atau kelompok,” kata Obaja.

Pelipus Kalapain, perwakilan dari Marga Kalapain menjelaskan, alasan lain masyarakat adat menolak PT PKA adalah karena Masyarakat Adat Marga Moifilit dan Kalapain sudah punya pengalaman dengan PT Hanurata di wilayah adat mereka. Keberadaan perusahaan tersebut dari awal hingga perusahaan tersebut berhenti beroperasi, ujarnya, tidak membuat masyarakat adat sejahtera, bahkan sebaliknya menjadi menderita.

"Kehadiran perusahaan selalu menimbulkan konflik sosial dan perpecahan di antara marga. Tidak ada kesejahteraan, yang ada penderitaan. Oleh sebab itu, kami Marga Moifilit dan Kalapain tegas menolak semua rencana perusahaan beraktivitas di wilayah adat kami,” ucap Pelipus.

Penolakan kehadiran PT PKA oleh masyarakat adat Moifilit dan Kalapain itu mendapat dukungan dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Feki Mobalen, Pengurus Daerah (PD) AMAN Sorong Raya, mengatakan masyarakat adat Moifilit dan Kalapain sudah merasakan pengalaman pahit saat perusahaan pengeboran minyak bumi beroperasi di wilayah adat mereka. Menurutnya, sampai saat ini Masyarakat Adat Moifilit dan Kalapain di Maralol dan Kotlol itu tidak pernah mendapat kesejahteraan dari perusahaan yang mengelola gas minyak di wilayah adat mereka.

“Ini ironi sekali, tidak boleh lagi terulang,” katanya.

Feki menuturkan, hutan adat sudah menjadi bagian dari kehidupan Masyarakat Adat Marga Moifilit dan Kalapain. Sehingga, kehidupan mereka sangat bergantung pada hutan alam. Dikatakannya, kearifan lokal masyarakat adat dalam memanfaatkan hutan menjadi nilai tersendiri bagi mereka dalam mengelola hutan.

Praktik-praktik tersebut, kata Feki, merupakan contoh nyata pengelolaan hutan secara berkelanjutan. Pemanfaatan didasarkan pada tingkat kebutuhan dan dilakukan sesuai dengan aturan-aturan adat yang berlaku.

“Peraturan tersebut disusun berdasarkan pengalaman empiris leluhur Marga Moifilit dan Kalapain. Jadi, wajar saja jika mereka menolak masuknya perusahaan ke wilayah adat mereka,” kata Feki.

Feki menambahkan, meski ada penolakan, bukan berarti kemegahan hutan alam di wilayah adat Marga Moifilit dan Kalapain tidak pernah lepas dari ancaman deforestasi dan degradasi. Industri-industri ekstraktif berbasis lahan secara masif dan sistematis terus mengkonversi hutan alam.

Imbasnya, kata Feki, sumber-sumber kehidupan masyarakat adat dan habitat satwa-satwa endemik yang ada di wilayah adat Marga Moifilit dan Kalapain juga terancam hilang. Padahal, kata Feki, secara umum kehidupan masyarakat adat di Bioregion Papua masih banyak yang tergantung hidupnya dari alam.

“Rusaknya ekosistem (gunung, lembah, bukit, sungai, danau, rawa-rawa, pesisir dan laut) akan membawa dampak buruk bagi kehidupan sosial dan peradaban Marga Moifilit dan Kalapain. Ini harus diantisipasi,” ujarnya.

Karena itu, pihaknya menjunjung tinggi aturan adat yang berkaitan dengan pengelolaan wilayah adat dan sumber daya alam milik Marga Moifilit dan Kalapain di wilayah adat dusun sagu (biy loo), hutan kayu (ai loo), berburu dan kebun (bat). “Ini semua merupakan wilayah adat Marga Moifilit dan Kalapain yang telah diwariskan secara turun temurun untuk dimanfaatkan oleh keluarga besar mereka secara berkelanjutan. Bukan untuk dimanfaatkan perusahaan,” ucapnya.