LIPUTAN KHUSUS:

Kasus Amdal Suku Awyu dan Alasan Anda untuk Khawatir


Penulis : Sekar Banjaran Aji, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia

Anda mestinya juga khawatir karena yang terjadi di wilayah adat Suku Awyu mungkin akan terjadi di halaman belakang rumah.

OPINI

Kamis, 25 Juli 2024

Editor : Yosep Suprayogi

AMDAL—Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup, kepanjangannya—hari ini adalah dokumen wajib untuk melakukan kegiatan yang berisiko tinggi terhadap lingkungan hidup dan menjadi persyaratan bagi penerbitan surat keputusan kelayakan lingkungan hidup (SKKL). Untuk kegiatan berisiko tinggi di lingkungan temlat masyarakat adat berada, salah satu yang harus ada dalam dokumen Amdal adalah melakukan konsultasi dengan suku adat yang terkena dampak untuk mendapatkan persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan (free, prior and informed consent/FPIC).

Persetujuan ini menjadi hak masyarakat adat. Tujuannya agar masyarakat adat dapat mengambil keputusan yang tepat mengenai hal-hal yang mempengaruhi masyarakat, tradisi, dan cara hidupnya.

Sekarang FPIC sudah merupakan kewajiban umum, berlaku di seluruh negeri yang menghormati Hak Asasi Manusia (HAM). Untuk ini, kita harus berterima kasih kepada Masyarakat Adat Saramaka di Suriname yang menyebabkan aturan ini dibuat.

Pertama kali disebut dalam putusan Kasus Masyarakat Adat Saramaka x Suriname (Inter-Am, Ct. H.R. Nov 28, 2007), kala itu Mahkamah HAM Antar-Amerika mempertimbangkan bahwa “untuk proyek pengembangan atau investasi skala besar yang akan berdampak besar dalam wilayah Saramaka, Negara memiliki kewajiban, tidak hanya untuk berkonsultasi dengan Saramaka, tetapi juga untuk mendapatkan persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan (FPIC), sesuai dengan adat dan tradisi mereka. Negara juga mengakui bahwa tingkat konsultasi yang diperlukan jelas merupakan fungsi dari sifat dan isi hak-hak masyarakat adat yang bersangkutan. Yang paling penting, Negara juga mengakui bahwa tingkat konsultasi yang diperlukan jelas merupakan fungsi dari sifat dan isi hak-hak suku yang bersangkutan.”

Rikarda Maa, perempuan adat suku Awyu di Tanah Papua. Rikarda aktif menyuarakan keadilan tanah dan hak-hak masyarakat adat. Foto: Pusaka

Negara setuju dengan Pengadilan. Negara bahkan memberlakukan FPIC di sepanjang kegiatan usaha. Disebutkan, mempertimbangkan bahwa “selain konsultasi yang selalu diperlukan saat merencanakan proyek pengembangan atau investasi dalam wilayah tradisional Saramaka, jaminan partisipasi efektif yang diperlukan saat menangani rencana pengembangan atau investasi besar yang mungkin memiliki dampak mendalam pada hak-hak properti anggota masyarakat Saramaka atas sebagian besar wilayah mereka harus dipahami sebagai tambahan memerlukan persetujuan yang bebas, didahului, dan diinformasikan dari Saramaka, sesuai dengan tradisi dan adat mereka.”

Sejak itulah, kewajiban untuk berkonsultasi, selain merupakan ketentuan yang berbasis perjanjian, juga merupakan prinsip umum hukum internasional.

Namun lain ladang, lain belalangnya. Pada Suku Awyu, di Papua, Indonesia, FPIC ada bukti diabaikan. Hasilnya, suku ini harus susah payah meminta keadilan ke Mahkamah Agung pada Mei 2024 dan, terbaru, Senin (23/7), atas turunnya izin bisnis PT Indo Asiana Lestari pada 2021 di wilayah adat mereka.

Sepertinya Kepala Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu Satu Pintu Provinsi Papua, Solayen Murib Tabuni, yang memberi izin lingkungan untuk PT Indo Asiana Lestari (IAL), bukannya tidak tahu soal FPIC, seperti juga Dinas Penanaman Modal yang sudah menerbitkan izin usaha perkebunan (IUP) kepada perusahaan itu. Soalnya, jika kita percaya pada pengakuan Solayen, ia pernah berdalih menandatangani SK perizinan itu karena sudah melalui tahapan yang panjang. Ada persetujuan bupati waktu itu, Yusak Yaluwo. Ada rekomendasi Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan, hingga Dinas Perkebunan. Ada pula dokumen konsultasi publik dalam dokumen Amdal PT IAL itu, yang dilakukan kepada 12 marga pemilik ulayat yang wilayahnya masuk konsesi PT IAL. Jadi di mana masalahnya?

Masalahnya, proses yang tampak legal ini menyembunyikan fakta bahwa ada penolakan dari masyarakat pemilik ulayat, salah satunya Marga Woro, dalam konsultasi publik itu. Wilayah adat marga ini, berdasarkan hasil tumpang susun peta wilayah adat dan izin PT IAL, termasuk di dalam izin PT IAL. Namun ketika perwakilan Marga Woro menyampaikan penolakannya pada proses konsultasi publik yang dilakukan tanpa melibatkan seluruh marga yang terdampak, yang terjadi adanya upaya represif dari aparat setempat.

Jelas, FPIC tidak dipenuhi di sini. Fakta-fakta  menunjukkan bahwa tidak ada konsultasi sama sekali dengan beberapa komunitas yang terdampak, terutama suku Awyu. Kewajiban perusahaan, baik yang umum maupun khusus, tidak terpenuhi.

Kewajiban umum yang tak dipenuhi itu adalah untuk berkonsultasi secara memadai dengan komunitas masyarakat adat. Kewajiban tersebut berupa kewajiban untuk berkonsultasi dengan para pihak yang sumber dayanya terkena dampak tidak terpenuhi; kewajiban untuk berkonsultasi dengan itikad baik dan dengan tujuan mencapai kesepakatan tidak terpenuhi; kewajiban yang secara tidak tepat didelegasikan kepada perusahaan pendukung; kewajiban untuk terlibat dalam komunikasi yang berkelanjutan dengan komunitas masyarakat adat yang terkena dampak dan konsultasi aktif tidak terpenuhi; dan kewajiban untuk berkonsultasi dengan lembaga perwakilan.

Adapun kewajiban tambahan dan khusus yang tak dipenuhi adalah untuk mendapatkan FPIC ketika proyek kemungkinan memiliki dampak signifikan pada komunitas adat. Persetujuan ini tidak diperoleh dalam kasus ini. Dengan mengacu pada fakta-fakta ini, sudah seharusnya rekomendasi Kelayakan Lingkungan dapat diperkarakan dan legalitasnya dalam pembuatan izin lingkungan seharusnya batal demi hukum.

Lalu ada kabar buruk. Saat ini, Suku Awyu yang menjadi korban. Nanti, mungkin Anda!

Pasca Undang-undang Cipta Kerja (UU CK) disahkan, Amdal kehilangan pamornya. Padahal, perubahan paradigma yang dibawa oleh UU CK dari model berbasis izin biasa (license approach) menjadi perizinan berbasis risiko (risk-based licensing) seharusnya menempatkan Amdal pada posisi krusial. Soalnya, di bawah rezim aturan baru ini, pengusaha mendapatkan keuntungan ganda. Pertama, bagi usaha yang memiliki dampak risiko rendah kewajiban izinnya dihilangkan, sedangkan bagi yang masih memerlukan izin dimudahkan perizinannya. Situasi ini menjadi mengerikan karena kita tahu, kala perizinan dipermudah dengan tidak diimbangi pengawasan, maka potensi pelanggaran terhadap lingkungan hidup meningkat. Faktanya, bahkan perusahaan yang sudah memiliki Amdal tidak selalu "lolos uji" terkait dengan potensi kerusakan lingkungannya. Sebab, setiap yang legal, belum tentu sah sesuai dengan prinsip hak atas masyarakat adat dan prinsip umum hukum internasional.

Jika setiap kalimat, frasa, kata, pada tulisan ini  terasa kental dengan kecurigaan, ini memang kesengajaan, diperlukan karena dengan terus curiga, kita sedang berusaha memperkuat perlindungan terhadap masyarakat adat yang selama ini menjaga hutan yang telah membentengi kita dari krisis iklim. Tak hanya Masyarakat Adat yang perlu siaga sebenarnya, tapi Anda pun mestinya khawatir karena yang terjadi di wilayah adat Suku Awyu mungkin akan terjadi di halaman belakang rumah, di bawah rezim UU CK ini.