LIPUTAN KHUSUS:

Revisi KEN, Cara Pemerintah Greenwashing Kayu Bakar untuk PLTU


Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Penyediaan biomassa kayu berpotensi memicu terjadinya perusakan lingkungan, berupa pembabatan hutan alam.

Energi

Rabu, 24 Juli 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Masyarakat sipil menilai revisi  Kebijakan Energi Nasional (KEN) hanyalah cara pemerintah untuk melakukan greenwashing biomassa kayu demi meningkatkan bauran energi terbarukan nasional. Padahal, penyediaan biomassa kayu berpotensi memicu perusakan lingkungan, berupa pembabatan hutan alam.

Rapat Komisi VII DPR RI dengan Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), yang digelar 8 Januari 2024, menghasilkan kesepakatan agar Peraturan Pemerintah (PP) No. 79 Tahun 2014 tentang KEN harus direvisi. Seluruh fraksi dalam Komisi VII DPR RI sepakat revisi tersebut penting untuk mendorong diversifikasi sumber energi terbarukan dan memasang target transisi yang dipandang lebih realistis.

Pemerintah menjustifikasi revisi KEN ini dalam beberapa poin, yakni tidak tercapainya target pertumbuhan ekonomi yang berakibat tidak tercapainya target penyediaan dan pemanfaatan energi, kebijakan energi yang perlu selaras dengan kebijakan perubahan iklim, telah tersusunnya grand strategy energi nasional sebagai masukan pembaruan KEN dan RUEN, pembaruan KEN merupakan rencana strategis Dewan Energi Nasional, momen dapat dijustifikasi karena dalam Pasal 29 PP KEN 79 tahun 2014 KEN dapat ditinjau kembali secepatnya 5 tahun sekali.

Manager Program Bioenergi Trend Asia, Amalya Reza, menganggap alasan atau justifikasi revisi KEN tersebut, khususnya dua poin terakhir, hanyalah aspek formal dan teknis. Sesungguhnya, kata Amalya, alasan terbesar revisi KEN adalah gagalnya pemerintah mencapai target bauran energi terbarukan.

Kepingan kayu, salah satu jenis biomassa yang dicampur dengan batu bara pada PLTU co-firing. Foto: mightyearth.org

"Bauran energi Indonesia masih didominasi fosil. Khususnya batu bara (40,46 persen), disusul minyak bumi (30,18 persen). Bauran energi terbarukan Indonesia per 2023 masih di angka 13,1 persen, sangat jauh dari target 23 persen per 2025," kata Amalya, Senin (22/7/2024).

Amalya menuturkan, Kementerian ESDM merevisi PP KEN sekaligus mengubah target bauran energi terbarukan menjadi 70-72 persen pada 2060. Target ini cukup ambisius, meskipun target peak emission yang ditetapkan oleh Kementerian ESDM masih melampaui target dari perhitungan UNFCCC yaitu pada 2035. Angka ini juga tidak selaras dengan target dalam LCCP dan FOLU Net Sink 2030.

"Masalahnya, untuk mengejar target ambisius ini, pemerintah berencana menginkorporasikan biomassa kayu secara substansial. Padahal, energi biomassa ini memiliki permasalahan yang cukup mendalam," ujarnya.

Biomassa jadi energi pilihan pemerintah

Sampai 2040, biomassa akan menempati urutan pertama penyumbang bauran energi terbarukan nasional, dan masih berada di bawah energi fosil seperti batu bara, minyak bumi, dan gas.

Biomassa kayu, secara spesifik, mengambil bentuk pelet kayu hasil pencacahan dan pengeringan kayu. Ia dapat dibakar di Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTBm), dan juga dimanfaatkan dalam program co-firing (pengoplosan) ketika dibakar bersama batu bara di PLTU dalam porsi hingga 10 persen.

Hal ini dilakukan untuk “menghijaukan” dan meningkatkan angka bauran energi bersih di PLTU yang sudah ada. Pemerintah sendiri telah menunjukkan ambisi melakukan co-firing 10 persen di seluruh PLTU di Indonesia.

Namun ada beberapa permasalahan yang juga telah diakui dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM). Yang pertama, penggunaan energi berbasis lahan akan menyumbang emisi dari sektor FOLU (Forest and Other Land Use) dalam bentuk deforestasi, perubahan penggunaan lahan, dan perubahan dalam pengelolaan lahan.

Kedua, harga biomassa yang tinggi di pasar internasional membuat produsen lebih tertarik mengekspor pelet kayu. Saat ini, PLN hanya mampu menawarkan harga Rp450.000-Rp600.000 2 per ton pelet kayu, sedangkan Korea Selatan menawarkan harga beli hingga USD110 (Rp1,7 juta) per ton pelet kayu.


Yang ketiga, kayu juga merupakan bahan bakar yang tidak efisien. Pelet kayu akasia misalnya, hanya punya nilai kalori 4022,29-4254,91 kal/gr, di bawah kalori batu bara paling rendah (4.700 kal/gr). Hal ini berpengaruh terhadap efisiensi dan biaya pokok produksi listrik.

"Permasalahan-permasalahan tersebut menunjukkan kontradiksi. Dalam RPP KEN, pemerintah terlihat sangat berkomitmen mendorong penggunaan biomassa kayu, meskipun penggunaannya punya banyak masalah dan akan menimbulkan biaya yang besar," kata Amalya.

Greenwashing dan permasalahan biomassa

Meski diklaim sebagai energi bersih terbarukan, biomassa kayu sesungguhnya memiliki segudang masalah. Dalam skala yang signifikan, ia tidak berkelanjutan. Kayu butuh waktu 3-5 tahun untuk tumbuh dan dipanen, sementara pembakaran akan berlangsung instan. Apalagi kayu merupakan bahan bakar berkualitas rendah. Sebagai gambaran, untuk memenuhi 3 persen saja dari kebutuhan listrik dunia, kebutuhan kayu global akan berlipat ganda.

Kemudian, kebutuhan lahan yang masif menimbulkan potensi deforestasi dan konflik lahan. Penelitian Trend Asia menemukan bahwa untuk memenuhi kebutuhan co-firing 10 persen di seluruh PLTU Indonesia, kebutuhan lahan dapat mencapai 2,3 juta hektare atau 35 kali luas DKI Jakarta. Bahkan dalam implementasi hingga saat ini, biomassa telah
menimbulkan deforestasi seluas 240.622 hektare.

Walau biomassa diklaim netral karbon sehingga mencegah perubahan iklim. Namun penelitian Trend Asia membantah klaim tersebut. Pemanfaatan biomassa di PLTU co-firing berpotensi mengakibatkan deforestasi hingga 1 juta hektare. Deforestasi tersebut akan menghasilkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) hingga 26,48 juta ton emisi karbon.

"Walaupun tidak dihitung di sektor energi, namun emisi dari deforestasi tersebut akan terhitung di sektor FOLU (Forest and Other Land Use)," ucap Amalya.

Selain deforestasi, implementasi Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) Hutan Tanaman Energi (HTE) juga menimbulkan dampak sosial. Misalnya konflik di Merauke, Papua Selatan, yang terjadi akibat operasi PT Selaras Inti Semesta di Papua Selatan, di Kepulauan Mentawai oleh PT Biomass Andalan Energi, dan di Nusa Tenggara Barat oleh PT Sadhana Arifnusa.

Dampak sosial yang ditimbulkan adalah perampasan lahan, kriminalisasi, kerawanan pangan, kemiskinan struktural komunitas masyarakat adat, hingga kematian ibu hamil karena malnutrisi.

Beban ekonomi negara dan subsidi untuk deforestasi

Biomassa, kata Amalya, juga tidak murah. Disparitas harga antara penawaran PLN dan harga jual ekspor pelet kayu, mengindikasikan perlunya subsidi untuk memenuhi kebutuhan nasional. Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan turut memuat pasal mengenai insentif fiskal dan non fiskal bagi energi dari biomassa.

Meski begitu, nampaknya energi ini akan mendapat fokus pendanaan yang cukup besar baik dari skema pendanaan internasional maupun dari pemerintah. Termasuk dari investasi pembiayaan teknologi bioenergi dalam Just Energy Transition Partnership (JETP) yang dipastikan tersedia hingga 2050. Dimulai dari USD2.000 di 2020, menurun menjadi USD1.820 di 2030, hingga USD1.600 di 2050.

"Denmark, di dalam dokumen Comprehensive Investment Policy Plan (CIPP) JETP mengalokasikan USD60 juta untuk pinjaman konsesi dan hibah sebesar USD0,9 juta untuk proyek biomassa di Lombok," kata Amalya.

Skema pendanaan transisi energi juga dapat muncul dari hibah. Amalya mengungkapkan, pada 2019, dana hibah sebesar Rp154 miliar dialirkan dari Millenium Challenge Corporation, untuk membiayai pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTBm) di 3 desa di Mentawai.

PLTBm itu, menurut Amalya, hanya beroperasi selama kurang dari setahun, sebelum mangkrak. Padahal sebelumnya masyarakat di desa-desa tersebut sudah menggunakan modul tenaga surya untuk mendapatkan listrik.

Pendanaan lain bisa mengalir dari BUMN, yaitu kasus pendanaan dari dua BUMN ke PLTBm dan konsesi HTE PT Selaras Inti Semesta (SIS) dari Medco Group. PT SMI memberikan USD4,5 juta untuk pembangunan PLTBm. Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) mengalirkan USD56 juta berasal dari Norwegia sebagai penghargaan karena berhasil mengurangi nilai deforestasi--untuk pembiayaan konsesi HTE PT SIS yang mendeforestasi hingga 2,3 ribu hektare hutan alam di wilayah komunitas masyarakat adat Marind Anim.

Amalya berpendapat, berbagai pendanaan ini berpotensi mengalihkan fokus dan pendanaan penting. Ketimbang digunakan untuk melawan perubahan iklim dan melakukan transisi energi berkeadilan, ia justru mendanai sumber energi bermasalah yang rawan deforestasi dan konflik sosial.

"Pemerintah seharusnya belajar dari kesalahan Inggris dan Amerika Serikat yang memberi subsidi besar pada energi biomassa kayu (kasus Drax di Inggris dan Enviva di Amerika Serikat)," katanya.

Tak hanya itu, sambung Amalya, terdapat biaya-biaya kerusakan lingkungan dan dampak kesehatan masyarakat sekitar industri dan pembangkit biomassa yang belum dihitung ketika PLTBm maupun industri pelet kayu beroperasi. Proyek co-firing biomassa juga kerap dijadikan skema greenwashing PLTU untuk menunda pemensiunan.

"Biaya juga biaya yang juga tidak diperhitungkan ketika PLTU tua seperti Paiton, Suralaya, dan Ombilin terus beroperasi meskipun sudah memasuki masa pensiun di atas 30 tahun," ucap Amalya.