LIPUTAN KHUSUS:

Jejak Tambang Nikel di Balik Banjir Halmahera


Penulis : Aryo Bhawono

Analisis pemetaan menunjukkan area terdampak banjir dikepung oleh tambang nikel.

Tambang

Selasa, 30 Juli 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Bencana banjir setinggi 1 hingga 3 meter yang terjadi sejak 21-24 Juli 2024 telah menenggelamkan sejumlah desa di Halmahera Tengah, Maluku Utara. Analisis pemetaan menunjukkan area terdampak banjir ini telah dikepung oleh tambang. 

Banjir itu menyebabkan setidaknya 1.670 warga dipaksa mengungsi. Desa-desa yang lumpuh akibat banjir meliputi Lelilef Woebulan, Lukulamo, serta Transmigran Kobe yang mencakup Woekob, Woejerana, dan Kulo Jaya di Kecamatan Weda Tengah. Banjir terus meluas ke Sagea hingga Transmigran Waleh di Kecamatan Weda Utara. Banjir tersebut juga telah mengisolir Desa Woekob, Desa Woejerana, Desa Lukulamo, dan Desa Kulo Jaya akibat terputusnya jalan penghubung antar desa. 

Di Halmahera Timur, banjir juga merendam setidaknya 12 desa. Selain banjir, longsor terjadi di beberapa ruas jalan lintas Buli-Subaim, Buli-Maba Tengah, dan di sepanjang Jalan Uni-Uni, Halmahera Timur. Di Halmahera Tengah, longsor memutus akses jalan Trans Pulau Halmahera yang menghubungkan Payahe-Oba di Kota Tidore Kepulauan dengan Weda, Halmahera Tengah.

Laporan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menyebutkan bencana ini tak lepas dari  pertambangan nikel di Halmahera, Maluku Utara. Tambang nikel telah menggusur hutan dan ruang hidup warga Halmahera. Wilayah Halmahera Tengah dengan luas 227.683 hektar (Ha) telah dikepung 23 izin nikel, 4 izin di antaranya melintasi batas administratif Halmahera Tengah dan Halmahera Timur. 

Seorang warga Trans Waleh, Halmahera Tengah berada di tengah genangan air. Foto: Istimewa

Total luas izin yang dikuasai perusahaan nikel mencapai 95.736,56 Ha atau sekitar 42 persen dari luas Halmahera Tengah dengan luas bukaan lahan untuk tambang mencapai 21.098,24 Ha, yang sebagian besar berada di wilayah hutan dan merupakan hulu sungai besar di Halmahera. 

Pengkampanye JATAM, Alfarhat Kasman, menyebutkan Global Forest Watch (GFW) mencatat, sejak 2021 hingga 2023, Halmahera Tengah kehilangan 27,9 kilo hektare (kha) tutupan pohon. Angka ini setara dengan penurunan 13 persen tutupan pohon sejak tahun 2000, dan melepaskan emisi gas rumah kaca sebesar 22.4 Mt CO₂e. 

“Kehilangan tutupan pohon yang dominan terjadi pada kawasan konsesi penambangan nikel ini menyebabkan berbagai degradasi sumber daya air tawar dan meningkatkan risiko bencana hidrometeorologi,” ucapnya dalam sebuah rilis pers. 

Kehilangan hutan tersebut sebagian besar berada di area-area krusial pada hulu sungai, salah satunya Sungai Kobe. Penggusuran hutan disertai dengan pembongkaran bukit-bukit hingga merubah bentang alam itu terus terjadi sebagai akibat dari aktivitas industri pemurnian nikel yang dijalankan PT  Indonesia Weda Bay Industrial Park (PT IWIP) dan tambang-tambang nikel milik perusahaan pemasok bahan baku untuk IWIP.

Tumpang susun pemetaan Pengembangan PT IWIP, Weda Bay Nikel, dan izin tambang di halmahera Tengah.

Berdasarkan citra satelit yang diolah dengan data InaRisk dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana dapat dilihat bahwa sepanjang bantaran Sungai Kobe termasuk wilayah yang sangat berisiko banjir. Sungai Kobe melintasi beberapa desa yaitu Desa Lelilef Waibulan, Kulo Jaya, Woejerana, Woekop, dan Lukulamo, yang terkena dampak banjir besar sepekan terakhir.

Jatam pun menuntut kepada pemerintah, baik pusat dan daerah, serta perusahaan tambang nikel bertanggung jawab atas bencana banjir yang terjadi. 

“Tentunya tidak hanya dengan memberikan bantuan sosial atas kerugian yang diderita warga akibat bencana yang terjadi, tetapi menghentikan segala kegiatan ekstraksi yang telah menjadi sumber bencana dan menghancurkan ruang hidup dan sumber penghidupan warga Halmahera,” kata dia.