LIPUTAN KHUSUS:
Pebisnis Lama di Balik Turunnya Target Bauran Energi
Penulis : Aryo Bhawono
Biomassa menjadi prioritas kedua energi baru terbarukan. Berisi pemain lama industri ekstraktif.
Energi
Jumat, 02 Agustus 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Penurunan target bauran energi 2025 diturunkan dari 31 persen menjadi 19-22 persen karena rendahnya realisasi bauran energi rendah dari rentang 2018-2019. Biomassa pun duduk sebagai prioritas kedua energi baru terbarukan, isinya pemain lama industri ekstraktif.
Manager Kampanye dan Advokasi Forest Watch Indonesia (FWI), Anggi Putra Prayoga, menyebutkan pengakuan pemerintah untuk mencapai target bauran energi terbarukan hingga 23 persen pada tahun 2025 dan 31 persen pada tahun 2050 hanya isapan jempol. Target ambisi bauran energi nasional rencananya justru akan diturunkan mengikuti perubahan pada Rancangan Peraturan Pemerintah Kebijakan Energi Nasional (RPP KEN) yang sedang masuk tahap harmonisasi oleh DPR bersama Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
“Realisasi bauran energi di Indonesia masih tertinggal dari target yang ditetapkan. Tren peningkatan dari tahun 2018 hingga 2022 sangat tidak signifikan. Realisasi energi baru terbarukan (EBT) masih jauh dari harapan,” ucapnya dalam dalam diskusi publik bertemakan “Nasib RUU EBET di Ujung Masa Jabatan DPR RI”, Jumat (26/07/2024).
Pada tahun 2023, realisasi EBT hanya mencapai 12,5 persen, jauh dari target yang ditetapkan 17,9 persen. Realisasi dari tahun 2021 ke 2022 adalah 0,1 persen dan dari 2022 ke 2023 adalah 0,2 persen. Diperkirakan Indonesia bakal gagal mencapai target bauran energi 23 persen di tahun 2025 karena gap mencapai 10 persen.
Menurutnya pemerintah selama ini tidak melakukan upaya untuk mencapai target tetapi justru utak-atik target bauran energi nasional menjelang pengesahan.
“Target bauran energi bakal diturunkan menjadi 19 hingga 22 persen pada tahun 2025 sebagaimana yang disebutkan di dalam RPP KEN. Untuk menggenjot capaian bauran energi nasional tersebut, biomassa ditempatkan sebagai prioritas kedua setelah energi surya,” kata dia.
Pemanfaatan biomassa sebagai energi terbarukan tertuang di dalam Rancangan Peraturan Pemerintah Kebijakan Energi Nasional (RPP KEN) yang saat ini tengah dalam harmonisasi jelang pengesahan.
Selain itu, pemanfaatan biomassa turut dimasukan ke dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) sebagai klaster energi terbarukan.
Tenaga surya diidentifikasi sebagai prioritas pertama dalam target bauran energi karena potensi besar dan dampak lingkungan yang lebih kecil. Sementara itu, biomassa masih dijadikan prioritas bahkan peringkat kedua sebagai sumber energi terbarukan meskipun sejauh ini implementasinya dilakukan secara ugal-ugalan.
Pemanfaatan biomassa, yakni berupa kayu, olahan kayu, termasuk limbah pertanian diklaim sebagai sumber energi terbarukan yang dapat menggantikan energi fosil batu bara di era transisi ini. Klaim tersebut didasarkan pada asumsi potensi biomassa yang tinggi yang berasal dari perkebunan kayu dan perkebunan kelapa sawit Indonesia, sebagai salah satu yang terbesar di dunia.
Pada tahun 2019, luas perkebunan kayu atau hutan tanaman industri (HTI) di Indonesia mencapai 5 juta hektare. Di sisi lain, perkebunan kelapa sawit mencatatkan luas yang jauh lebih besar, yaitu 15,3 ribu ha pada 2023. Ditambah capaian program Perhutanan Sosial mencapai luas 7,08 juta ha.
“Tentunya ini adalah iming-iming bagi pembuat kebijakan bahwa Indonesia dapat mandiri secara energi dengan memanfaatkan potensi biomassa,” ucap dia.
Pasalnya, baik biomassa yang dihasilkan dari perkebunan kayu, hutan tanaman industri, hutan tanaman energi, perkebunan kelapa sawit bahkan termasuk limbah industri seperti kernel sawit dan sawdust (serbuk gergaji), merupakan komoditas yang bernilai tinggi. Biomassa pun bukan lagi potensi yang belum tergarap, bahkan limbah dari industri sawit (kernel) dan olahan sawdust dalam bentuk wood pellet merupakan komoditas ekspor.
“Tidak heran capaian bauran energi sangatlah rendah karena konstelasi permasalahan biomassa yang lebih tinggi dibanding pengembangan energi terbarukan lain. Sarat dengan kepentingan bisnis para aktor di perusahaan kehutanan, perkebunan kelapa sawit, dan batu bara yang disinyalir juga turut terlibat dalam mengutak-atik kebijakan bauran energi nasional,” kata dia.