LIPUTAN KHUSUS:

Restorasi Besar Citra dari Realita - Temuan Pantau Gambut


Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Di kawasan restorasi non konsesi, 95 persen lahan gambut yang pernah terbakar jadi kebun dan semak. Di kawasan konsesi, hanya 1 persen yang dihutankan kembali.

Gambut

Selasa, 06 Agustus 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Pantau Gambut menemukan banyak infrastruktur restorasi gambut di sejumlah provinsi di Indonesia yang tidak sesuai standar. Lahan gambut yang pernah terbakar di wilayah pantauan juga hanya 1 persen yang kembali jadi hutan dan kebanyakannya jadi kebun sawit. Menurut lembaga yang bergiat dalam penyelamatan lahan gambut ini, temuan tersebut menjadi penanda semakin tebalnya kesenjangan antara kebijakan restorasi dan realitas implementasi perlindungan ekosistem gambut. Demikian diungkapkan Pantau Gambut dalam sebuah studi berjudul Gelisah di Lahan Basah: Korporasi, Pemerintah, dan Semua Komitmen Kosong Restorasi Gambutnya, yang dirilis pada 31 Juli 2024.

“Banyak infrastruktur pembasahan seperti sekat kanal dan sumur bor yang rusak. Di beberapa sampel titik pengamatan juga ditemukan gambut yang kering karena tidak memenuhi standar Tinggi Muka Air Tanah (TMAT) agar tidak lebih dari 40 cm,” kata Almi Ramadhi, Data Analyst Pantau Gambut.

Pemantauan restorasi gambut ini dilakukan pada Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) yang tersebar di tujuh provinsi, yaitu Aceh, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Papua Barat. Lokasi studi dibedakan berdasarkan dua jenis, yakni area konsesi yang menjadi tanggung jawab perusahaan dan area non-konsesi yang menjadi kewajiban pemerintah untuk melakukan restorasi gambut.

Hasilnya, tercatat 95 persen dari 289 titik sampel gambut non-konsesi di area restorasi pemerintah yang pernah terbakar (burned area) dan kehilangan tutupan pohon (tree cover loss/TCL), telah berubah menjadi perkebunan jenis tanaman lahan kering dan semak belukar.

Tampak dari ketinggian lahan gambut lindung yang ditelantarkan di areal PT Bintang Harapan Palma, Provinsi Sumatera Selatan. Foto: Pantau Gambut.

Menurut hasil studi Pantau Gambut, di lahan-lahan gambut pernah terbakar itu, sawit menjadi komoditas tanaman yang paling dominan. Yang menyedihkan, ujar Almi, penutupan lahan menjadi hutan tidak mendapatkan perhatian, karena hanya ditemukan pada 3 persen area sampel.

Kondisi yang jauh memprihatinkan ditemukan pada area konsesi perusahaan. Hanya 1 persen dari 240 titik sampel area konsesi yang kembali menjadi hutan meski pernah terbakar, dan mengalami kehilangan tutupan pohon. Ironisnya, menurut Pantau Gambut, kondisi tersebut terjadi di beberapa area perusahaan yang kerap memiliki masalah konflik sosial seperti PT Mayawana Persada (MP) di Kalimantan Barat dan PT Bumi Mekar Hijau (BMH) di Sumatera Selatan.

"Kewajiban pencegahan, penanganan saat kebakaran, hingga pemulihan area yang telah terbakar menjadi tanggung jawab pemerintah dan perusahaan, bukan malah dilimpahkan kepada masyarakat," kata Wahyu Perdana, Manajer Advokasi dan Kampanye Pantau Gambut.

Kewajiban mengembalikan lahan gambut yang rusak kembali menjadi hutan, menurut Wahyu,  mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) No. 57 Tahun 2016 jo. PP No. 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.

Wahyu mengatakan, semua temuan studi lembaganya pun berkontradiksi dengan klaim keberhasilan pemerintah Indonesia dalam merestorasi gambut, seperti yang dijelaskan pada dokumen The State of Indonesia’s Forest 2024, yang baru dirilis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 20 Juli 2024.

Selama dua periode kepemimpinan Presiden Jokowi, lanjut Wahyu, restorasi gambut telah menjadi ujian dalam upaya perlindungan lingkungan. Meski begitu, bukan berarti klaim keberhasilan hanya dilihat dari angka pelaksanaan proyek semata, namun juga betul-betul memperhatikan dampak kepada sebanyak-banyaknya pihak.

“Jangan sampai klaim keberhasilan ini hanya menjadi alat pencitraan pada komitmen global,” ucap Wahyu,

Menurut Wahyu, kontradiksi antara klaim dengan temuan di lapangan ini menjadi bukti semakin menebalnya kesenjangan antara kebijakan restorasi dan realitas implementasi strategi perlindungan ekosistem gambut di Indonesia.

Koordinator Nasional Pantau Gambut, Iola Abas, menyebut ada lima hal penting yang didorong Pantau Gambut terkait persoalan ini. Yang pertama, pemerintah harus memenuhi asas tanggung jawab negara (state responsibility). Pemerintah wajib melaksanakan kewajiban perlindungan gambut dan tidak melimpahkan tanggung jawab begitu saja kepada masyarakat.

Kedua, pemerintah harus melakukan langkah pencegahan sebagai upaya penegakan hukum. Langkah penegakan hukum harus menjadi prioritas utama tanpa perlu menunggu terjadinya karhutla terlebih dahulu. Setiap orang dengan tindakan yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup, bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.

Ketiga, korporasi harus bertanggung jawab mutlak pada area konsesinya. Korporasi harus segera menangani kerusakan ekosistem gambut sesuai standar yang berlaku. Ini mencakup pemulihan ekosistem secara menyeluruh.

Keempat, korporasi harus membuktikan klaim keberlanjutan secara berkala dan transparan. Klaim keberlanjutan tidak bisa hanya diukur berdasarkan angka pelaksanaan proyek maupun sertifikasi keberlanjutan saja. Klaim harus diimbangi oleh uji lingkungan secara berkala dan transparan.

Kelima, lembaga pembiayaan harus mengetatkan audit lingkungan. Lembaga pembiayaan harus membatasi perusahaan yang tercatat pernah melakukan perusakan ekosistem gambut. Audit lingkungan yang ketat harus dilakukan sebelum perusahaan dapat mengakses pembiayaan baru.

“Setiap anggung jawab harus diselesaikan oleh siapapun tanpa terkecuali, termasuk bagaimana menuntaskan komitmen mengembalikan ekosistem gambut menjadi lestari kembali,” kata Iola Abas, Koordinator Nasional Pantau Gambut.