LIPUTAN KHUSUS:
Yang Hilang Tak Cuma Mainan Jadul, Lingkungan Sejuk Juga - Unicef
Penulis : Kennial Laia
Satu dari lima anak di seluruh dunia tinggal di wilayah dengan frekuensi panas ekstremnya dua kali lipat dibandingkan enam dekade lalu.
Perubahan Iklim
Sabtu, 17 Agustus 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Hampir setengah miliar anak-anak tumbuh di wilayah-wilayah di dunia yang mengalami setidaknya dua kali lipat jumlah hari-hari yang sangat panas setiap tahun dibandingkan dengan enam dekade yang lalu. Demikian menurut analisis terbaru oleh Unicef. Analisis yang dilakukan badan anak-anak PBB ini untuk pertama kalinya meneliti data perubahan paparan panas ekstrem terhadap anak-anak terhadap selama 60 tahun terakhir.
Ketika bumi terus memanas, masyarakat di seluruh dunia menghadapi ancaman iklim yang lebih sering dan parah seperti panas ekstrem dan gelombang panas. Anak-anak lebih rentan terhadap bahaya tersebut.
Untuk menilai kecepatan dan skala peningkatan hari-hari yang sangat panas – yang didefinisikan sebagai mencapai lebih dari 35C, para peneliti melakukan perbandingan antara suhu rata-rata tahun 1960-an dan tahun 2020 hingga 2024.
Mereka menemukan bahwa 466 juta anak – sekitar satu dari lima anak di seluruh dunia – tinggal di wilayah yang mengalami setidaknya dua kali lipat jumlah hari yang sangat panas setiap tahunnya dibandingkan enam dekade lalu.
Mereka juga menemukan bahwa anak-anak di Afrika barat dan tengah mempunyai paparan tertinggi terhadap hari-hari yang sangat panas dan wilayah ini mengalami peningkatan paling signifikan dari waktu ke waktu.
Sebanyak 123 juta anak, atau 39% anak-anak di wilayah tersebut, mengalami suhu di atas 35C selama rata-rata empat bulan setiap tahunnya, kata analisis tersebut.
Jumlah tersebut antara lain 212 hari di Mali, 202 hari di Niger, 198 hari di Senegal, dan 195 hari di Sudan.
“Analisis baru Unicef ini memberikan peringatan keras tentang kecepatan dan skala dampak hari-hari yang sangat panas terhadap anak-anak. Hal ini mendesak pemerintah untuk memanfaatkan kesempatan berharga ini untuk bertindak dan mengendalikan kenaikan suhu,” kata David Knaute, pakar iklim regional Unicef di Afrika barat dan tengah, Rabu, 14 Agustus 2024.
Paparan panas ekstrem dapat menyebabkan stres panas yang mengancam kesehatan anak. Stres panas telah dikaitkan dengan kekurangan gizi pada anak dan penyakit tidak menular, dan hal ini membuat anak-anak lebih rentan terhadap penyakit menular seperti malaria dan demam berdarah yang menyebar pada suhu tinggi.
Knaute mengatakan anak-anak “sangat rentan” dalam cuaca panas ekstrem. “Tidak seperti orang dewasa, tubuh mereka memanas lebih cepat, mereka berkeringat lebih sedikit, dan pendinginannya lebih lambat. Ketika tubuh kecil mereka tidak mampu mengatur panas, hal ini menyebabkan stres akibat panas, dan mereka lebih mungkin menderita sengatan panas atau meninggal,” ujarnya.
Tahun lalu merupakan tahun terpanas yang pernah tercatat sejauh ini, dan para ilmuwan memperkirakan suhu global akan meningkat jauh melebihi tingkat pra-industri, yang akan menimbulkan bencana bagi umat manusia dan planet ini.
Analisis Unicef menemukan bahwa anak-anak di delapan negara, termasuk Mali, Niger, Senegal, Sudan dan Sudan Selatan, menghabiskan lebih dari setengah tahun dalam suhu di atas 35C. Awal tahun ini Mali mengalami rekor gelombang panas, dengan suhu mencapai 44C.
Knaute mengatakan Sahel, wilayah di selatan Sahara yang mencakup Mali, Niger, Senegal, dan Sudan, sangat rentan karena, sebagai zona transisi antara Sahara yang gersang dan wilayah yang lebih subur di selatan gurun, wilayah tersebut menciptakan sumber alami polusi, pemanasan yang hebat, dan partikel debu dari gurun yang mengganggu iklim.
Kurangnya akses terhadap infrastruktur tahan iklim, air minum dan layanan kesehatan yang memadai memperburuk dampak panas ekstrem terhadap anak-anak yang tinggal di sana, katanya.
Selain dampak fisiologis, panas ekstrem juga mempunyai dampak lain pada anak, termasuk terganggunya pendidikan.
Shruti Agarwal, penasihat senior bidang perubahan iklim dan ekonomi berkelanjutan di Save the Children, mengatakan panas ekstrem semakin menyebabkan penutupan sekolah, sehingga mempengaruhi prestasi akademik.
Awal tahun ini, Sudan Selatan menutup semua sekolah sebagai persiapan menghadapi gelombang panas 45C yang diperkirakan akan berlangsung selama dua minggu. “Seiring dengan meningkatnya jumlah hari-hari panas, kita akan melihat hasil belajar anak-anak terkena dampaknya, yang pada gilirannya berdampak pada pengembangan sumber daya manusia,” kata Agarwal.
Ia mengatakan terdapat risiko tidak langsung terhadap kesehatan anak-anak jika panas ekstrem, misalnya, menyebabkan gagal panen atau inflasi harga pangan, sehingga menyebabkan kekurangan gizi pada anak-anak.
Untuk meminimalkan dampak panas ekstrem terhadap anak-anak, Agarwal mengatakan, sistem kesehatan dan pendidikan harus siap menghadapinya, dan anak-anak harus berperan aktif dalam perencanaan dan pelaksanaannya.
Unicef merekomendasikan agar negara-negara melakukan aksi iklim yang menjunjung hak anak-anak atas lingkungan yang bersih, sehat dan berkelanjutan dengan mengurangi emisi dan memenuhi perjanjian perubahan iklim.
“Masih ada harapan untuk masa depan, tapi kita harus bertindak sekarang. Nanti sudah terlambat,” kata Knaute.