LIPUTAN KHUSUS:

Gorontalo dalam Cengkraman Proyek Bioenergi Nasional


Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Proyek bioenergi nasional di Gorontalo merupakan salah satu yang terbesar di Indonesia dengan luas 282.100 hektare dengan jumlah izin terbanyak, yakni 10 izin.

Hutan

Sabtu, 24 Agustus 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Kehadiran izin-izin yang bertransformasi dan berkamuflase di balik transisi energi, dengan mengusahakan bahan baku kayu untuk energi (bioenergi), mengancam eksistensi hutan alam di Gorontalo.

Menurut data Forest Watch Indonesia (FWI), hutan alam yang tersisa di Gorontalo hanya sekitar 693.795 hektare atau sekitar 57 persen dari luas daratan. Sementara itu nilai deforestasi yang terjadi masih menunjukan angka yang tinggi, 35.770,36 hektare (2017-2023).

Juru Kampanye FWI, Anggi Prayoga menyebut Gorontalo masuk dalam salah satu skema cengkraman proyek bioenergi nasional, dan merupakan salah satu yang terbesar di Indonesia dengan luas 282.100 hektare dengan jumlah izin terbanyak, yakni 10 izin. Dalam hal ini, deforestasi terencana yang terjadi di Gorontalo, akibat pembangunan proyek bioenergi, tidak dapat dibenarkan.

"Pemanfaatan kayu dari hutan alam tidak akan pernah bisa menjawab apa-apa berkaitan dengan agenda transisi energi sebagai upaya pengurangan emisi," kata Anggi, dalam sebuah rilis, Kamis (22/8/2024).

Aktivitas land clearing di konsesi PT BTL. Kayu hutan alam dimanfaatkan menjadi wood pellet. Foto: FWI.

Dalam rilis itu dijelaskan, Gorontalo merupakan salah satu provinsi pengekspor wood pellet terbesar di Indonesia. Mengungguli Jawa Timur dan Jawa Tengah. Wood pellet merupakan komoditas yang terbuat dari serbuk/serpih kayu yang dipadatkan, yang dimanfaatkan sebagai sumber energi (bioenergi).

Tercatat dua negara utama yang menjadi tujuan ekspor Gorontalo, yakni Jepang dan Korea Selatan. Kedua negara tersebut menggunakan wood pellet asal Indonesia untuk dibakar di pembangkit listrik sebagai pengganti batu bara.

Proyek bioenergi di Gorontalo berasal dari 3 sumber lahan. Pertama yang berasal dari perkebunan kelapa sawit yang mendapatkan amnesti dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), kedua yang berasal dari transformasi usaha hutan tanaman industri, dan ketiga berasal dari areal lahan bekas Hak Pengusahaan Hutan (HPH).

Terdapat 2 perusahaan perkebunan kelapa sawit yang kemudian mengusahakan wood pellet, yakni PT Inti Global Laksana (IGL) beroperasi melalui SK.3102/MENLHK-PSKL/PKTHA/PSL.1/5/2020 dengan luas 11.860 hektare dan PT Banyan Tumbuh Lestari (BTL) melalui SK.3103/MENLHK-PSKL/PKTHA/PSL.1/5/2020 dengan luas 15.493 hektare. Izinnya berupa Pemanfaatan Hutan Hak dari KLHK di Kabupaten Pohuwato.

"Dua perusahaan lain yang juga turut mengusahakan bioenergi adalah PT Gema Nusantara Jaya (GNJ) dan PT Gorontalo Citra Lestari (GCL)," kata Anggi.

Kedua perusahaan ini, lanjut Anggi, merupakan pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) atau sebelumnya disebut Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Hasil Hutan-Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) sejak 2011. Awalnya kedua perusahaan ini mengusahakan kayu untuk pertukangan dengan jenis tanaman Jabon. Kedua perusahaan berkomitmen untuk memproduksi wood pellet dengan membangun industri pengolahan kayu primer yang bernama PT Gorontalo Panel Lestari.

Kedua perusahaan beroperasi kembali melalui Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) dengan Nomor 1109/MENLHK/SETJEN/HPL.0/11/2021 untuk PT GNJ dengan luas 27.976,78 hektare, dan melalui PBPH Nomor 1110/Menlhk/Setjen/HPL.0/11/2021 dengan luas 46.170 hektare untuk PT GCL. Kedua perusahaan beroperasi di Kabupaten Gorontalo Utara.

"Baru-baru ini, data dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Gorontalo mengonfirmasi bahwa adanya kemungkinan diterbitkannya 6 izin baru di Provinsi Gorontalo," ujar Anggi.

Anggi melanjutkan, keenam izin pemanfaatan hutan tersebut turut mengusahakan bioenergi yang berasal dari bahan baku kayu atau dengan istilah lain Hutan Tanaman Energi (HTE). Luas keenam konsesi HTE ini dapat mencapai 180 ribu hektare, yang tersebar di beberapa kabupaten, yakni Pohuwato, Boalemo, dan Gorontalo Utara.

Keenam izin baru yang rencana diterbitkan itu bakal mengkaveling areal bekas HPH yang kedaluwarsa. Keenam izin baru tersebut, yakni PT Hutani Cipta (7.800 hektare), PT Keia Lestari Indonesia 1 (41.000 hektare), PT Lumintu Ageng Joyo (38.000 hektare), PT Keia Lestari Indonesia 2 (43.000 hektare), PT Nawa Waskita Utama (41.000 hektare), PT Sorbu Agro Energi (9.800 hektare).

Menurut Anggi, Ppenerbitan izin baru ini merupakan upaya KLHK untuk mencapai target Net Sink di 2030. Dalam Rencana Operasional FoLU Net Sink 2030 ditargetkan pembangunan hutan tanaman baru harus mencapai 6 juta hektare dan Gorontalo mendapatkan jatah melalui penerbitan izin baru dengan luas 17.411 hektare.

Anggi menyebut, rencana penerbitan keenam izin baru di Gorontalo itu melebihi kuota izin. Sayangnya, pendekatan penerbitan izin untuk korporasi masih digunakan dalam upaya strategi pencapaian target pengurangan emisi. Baik dalam agenda Second Nationally Determined Contribution ataupun target FoLU Net Sink 2030.

"Bioenergi yang berbasiskan hutan dan lahan dapat menjerumuskan Gorontalo bahkan Indonesia pada 'jurang-jurang' deforestasi sehingga berpotensi menggagalkan pencapaian target pengurangan emisi Indonesia di tingkat global," katanya.

Saat ini perusahaan yang aktif melakukan pemanfaatan hasil hutan kayu untuk memenuhi kepentingan produksi wood pellet adalah PT IGL dan PT BTL. Hasil investigasi tim Forest Watch Indonesia (FWI) bersama dengan jaringan organisasi masyarakat sipil di Gorontalo, yakni Jaring Advokasi Pengelolaan Sumber Daya Alam (Japesda), dan jejaring simpul Walhi Gorontalo, PT BTL memanfaatkan kayu berasal dari hutan alam bukan berasal dari kayu hutan tanaman atau bukan berasal dari kegiatan rehabilitasi.

"Berdasarkan analisis tim FWI, deforestasi hutan alam yang terjadi di dalam konsesi PT IGL dan PT BTL sepanjang 2021 sampai 2023 sebesar 1.087,25 hektare," kata Anggi.

Anggi mengungkapkan, di dalam kedua konsesi tersebut, sekitar 65 persennya masih berupa hutan alam yang terancam digunduli untuk kepentingan produksi wood pellet. FWI mendefinisikan hutan alam tersisa di dalam kedua konsesi tersebut ke dalam skema deforestasi terencana dari KLHK.

Berdasarkan Sistem Informasi Legalitas Kayu (SILK KLHK), lanjut Anggi, ekspor wood pellet dari Provinsi Gorontalo sebesar 56.713 ton dengan nilai USD7,71 juta. Ekspor dilakukan sebanyak 5 kali sepanjang Oktober 2023 sampai 13 Juni 2024.

Anggi menuturkan, tujuan ekspor wood pellet ke Jepang dan Korea Selatan melalui perusahaan Hanwa.Co. Gorontalo adalah provinsi penguasa mayoritas dari seluruh permintaan ekspor wood pellet Indonesia. Total nilai ekspor wood pellet Indonesia, yakni USD8.190.132 dengan bobot 60.250 ton.

Dengan melihat pangsa pasar wood pellet saat ini, imbuh Anggi, hanya ke Jepang dan Korea Selatan, maka Gorontalo setidaknya telah memenuhi 94 persen dari total aktivitas ekspor wood pellet Indonesia ke kedua negara tersebut. Sedangkan perusahaan yang tercatat KLHK sebagai satu-satunya eksportir wood pellet di Provinsi Gorontalo adalah PT Biomassa Jaya Abadi (BJA).

Renal Husa dari Walhi Gorontalo, menegaskan penolakan terhadap semua industri ekstraktif, termasuk Proyek Bioenergi Nasional seluas 282 ribu hektare di Gorontalo. Alasannya, karena mengancam ruang kelola rakyat dan berpotensi menimbulkan bencana ekologis baru.

"Hutan Gorontalo harus dikelola oleh rakyat, bukan korporasi, mengingat sejarah panjang konflik dengan masyarakat, seperti yang terjadi pada empat perusahaan, termasuk sawit di Pohuwato dan PT GNJ serta PT GCL di Gorontalo Utara, yang terlibat dalam insiden penyerangan dan penangkapan warga," kata Renal.

Terry Repi dari Institute for Human and Ecological Studies (Inhides), yang juga Akademisi Universitas Muhammadiyah Gorontalo, menyebut bioenergi menjadi ancaman serius bagi biodiversitas. Aktivitas bioenergi dapat mengakselerasi hilangnya habitat terutama bagi spesies spesialis dan spesies dengan jelajah yang luas, berisiko menyebabkan kepunahan.

Konversi hutan, katanya, dapat mengubah struktur dan komposisi ekosistem hutan serta mendorong munculnya spesies invasif yang mengganggu keseimbangan ekosistem. Selain itu, dibutuhkan waktu yang sangat lama, antara 44 hingga 104 tahun, bagi hutan untuk menyerap kembali kelebihan CO2 setelah penebangan (Sterman et al 2018).

"Artinya, asumsi bahwa bioenergi kayu bersifat netral karbon adalah terlalu optimistis dan dapat menunda upaya mitigasi perubahan iklim yang lebih efektif," ucapnya.

Anggota Japesda yang juga dari Pusat Kajian Ekologi Pesisir berbasis Kearifan Lokal (PKEPKL) Universitas Negeri Gorontalo, Abubakar Siddik Katili, mengatakan rusaknya ekosistem akibat proyek bioenergi dapat menyebabkan hilangnya fungsi hutan sebagai penyedia jasa lingkungan yang memicu terjadinya perubahan iklim global. Kerusakan ekosistem dan lingkungan adalah cerminan dari karakter serta perilaku yang abai terhadap keseimbangan sistem ekologis.

"Setiap tindakan memiliki dampak besar pada lingkungan dan makhluk hidup lainnya, kita melihat bagaimana kesadaran lingkungan seharusnya menjadi bagian integral dari pembentukan karakter kita," tuturnya.