LIPUTAN KHUSUS:

1000 Masalah dari Rencana Pulau Sampah di Kepulauan Seribu


Penulis : Kennial Laia

Pulau sampah dinilai hanya akan menambah masalah ekologis di perairan Jakarta.

Sampah

Sabtu, 31 Agustus 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Pulau sampah dinilai tidak akan menyelesaikan permasalahan sampah di Jakarta. Sebaliknya, menurut pengamat dan aktivis lingkungan, rencana tersebut akan menambah kerusakan ekosistem laut dan mengganggu penghidupan nelayan dan masyarakat pesisir. 

Sebelumnya pada Mei 2024, Penjabat Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono menyampaikan rencana untuk membangun pulau sampah dengan konsep reklamasi di Kepulauan Seribu. Dalihnya, kapasitas tempat pembuangan akhir (TPA) seperti Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat, semakin menipis, dan tidak ada lahan pengganti untuk menjadi TPA baru. 

Direktur Eksekutif Center for Energy Security Studies (CESS) Ali Ahmudi Achyak mengatakan, pembangunan pulau buatan bukan solusi tepat untuk menangani sampah Jakarta, yang mencapai 7.500 ton per hari (Data BPS Provinsi DKI Jakarta 2022). Menurutnya pulau sampah akan  menyebabkan kerusakan ekosistem dan perubahan karakteristik perairan Jakarta. 

“Dampaknya antara lain mengubah arus, gelombang dan suhu laut, juga bisa merusak ekosistem laut dengan keanekaragamannya. Ke depan berpotensi akan merusak lingkungan hidup secara keseluruhan di wilayah pesisir tersebut,” kata Ali kepada redaksi, Jumat, 30 Agustus 2024.  

Sampai plastik di Pesisir. Foto: KLHK/Istimewa

Ali menilai, pulau yang menampung sampah dalam jumlah besar berisiko bagi lingkungan karena akan menghasilkan cemaran atau zat beracun. Dalam waktu lama, sampah di TPA akan memproduksi cairan beracun yang berbahaya dan mencemari air tanah di sekitarnya. "Dampaknya akan lebih berbahaya bagi ekosistem di laut karena sangat sulit dimitigasi dan diatasi jika terjadi di perairan," ujarnya. 

Juru Kampanye Walhi Jakarta Muhammad Aminullah mengatakan, kerusakan ekosistem akan berpengaruh pada penghidupan masyarakat pesisir yang bergantung pada hasil laut, seperti nelayan. Diketahui tumpukan sampah organik menghasilkan air lindi, yang sangat berbahaya bagi ekosistem. Dia mencontohkan sejumlah kampung di sekitar TPA Bantargebang tidak dapat menggunakan air tanah karena tercemar air lindi. 

“Jika air lindi lepas ke laut akan berpengaruh pada ekosistem laut. Ketika terganggu, nelayan akan terdampak karena akan mengalami kekurangan pendapatan dan hasil tangkapan,” kata aktivis yang dipanggil Anca ini. 

“Ini sudah terjadi dengan proyek reklamasi sebelumnya. Kita sepakat bahwa pesisir ini merupakan kawasan rentan, dan reklamasi itu merusak lingkungan hidup dan kehidupan masyarakat terutama nelayan,” ujarnya. 

Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati mengatakan, pulau sampah ini akan menambah masalah ekologis di perairan Jakarta. “Perairan Jakarta selama ini telah menampung limbah dan sampah dari 13 anak sungai di Jakarta, yang berasal dari aktivitas industri,” kata Susan. 

Penelitian Badan Riset dan Inovasi Nasional bersama University of Brighton, Inggris, pada 2021 mengungkap adanya kontaminasi paracetamol di Teluk Jakarta. Pada 2019, Institut Pertanian Bogor juga menemukan kerang hijau asal Teluk Jakarta mengandung berbagai polutan logam seperti merkuri, cadmium, krom, dan timah. Logam ini jika dikonsumsi manusia dapat mengakibatkan keracunan. Jika dikonsumsi dalam waktu panjang, logam ini dapat menyebabkan penyakit berat seperti kanker dan kegagalan organ.

“Dengan riset-riset ini, artinya ada pengelolaan limbah di darat yang tidak terkontrol dari pemerintah. Maka jika membangun pulau sampah, apakah bisa mengontrolnya di perairan yang jaraknya lebih jauh?” kata Susan. 

Susan mengatakan, ketimbang membangun pulau sampah, pemerintah harus fokus pada upaya mendorong industri untuk membangun mekanisme pengelolaan sampah sendiri. Edukasi dan kesadaran masyarakat juga perlu didorong untuk mengurangi sampah. 

“Mekanisme kontrol harus didorong ke industri untuk memiliki tanggung jawab. Hari ini industri merasa tidak punya tanggung jawab, karena tidak punya mekanisme pengolahan sampah sendiri. Sudah saatnya didorong ke arah sana,” kata Susan. 

Pengelolaan sampah tidak efektif 

Ali mengatakan, pengelolaan sampah di Jakarta menghadapi tantangan besar karena populasi kota yang sangat padat dan pertumbuhan konsumsi yang cepat. Menurutnya pengelolaan sampah selama ini juga belum efektif, lantaran Pemda Jakarta masih memprioritaskan pengelolaan sampah dengan metode Refused-Derived Fuel (RDF) di Bantargebang dan TPA Rorotan, Jakarta Utara. Ali mengatakan sistem ini tidak tepat untuk kota sebesar Jakarta. 

“RDF plant hanya cocok untuk kota kecil dengan volume sampah terbatas, karena RDF hanya dapat mengolah sampah 30 persen. Sisanya menjadi residu yang harus diolah kembali,” kata Ali. 

Dengan volume sampah yang besar hingga sekitar 7.500 ton per hari, menurut Ali, Pemprov DKI Jakarta perlu mengatasi timbulan sampah yang terus meningkat dengan teknologi insinerator atau pembakaran terutup dan ramah lingkungan. Menurutnya cara ini dapat mengatasi volume sampah di Jakarta yang terus meningkat dengan cepat. 

Saat ini insinerator plant yang ramah lingkungan telah banyak digunakan di kota besar di dunia seperti di Jepang, Singapura, dan sejumlah negara maju lainnya. "Teknologi insenerator sekarang semakin maju dan dikategorikan lebih ramah lingkungan, sampahnya dikonversi menjadi listrik, residunya pun dapat digunakan seperti untuk memproduksi batako dan sejenisnya,” ujarnya. 

Sementara itu Anca mengatakan, pemerintah DKI Jakarta harus mengubah paradigma dalam mengelola sampahnya. Pengolahan sampah di Jakarta masih berorientasi pada sektor hilir, dan bukan di hulu. Artinya, harus ada upaya untuk menekan produksi sampah di segala lini. 

Menurut data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, DKI Jakarta tercatat menghasilkan 11,25 juta ton timbulan sampah selama periode 2019-2022.