LIPUTAN KHUSUS:

Nikelnya ke China, Halmahera dapat Sengsaranya


Penulis : Aryo Bhawono dan Raden Ariyo Wicaksono

Bencana datang di Halmahera Tengah yang digerus tambang nikel. China dapat nikelnya, Jakarta dapat investasinya, sedang Halmahera Tengah berkubang sengsaranya.   

SOROT

Selasa, 03 September 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Seorang perempuan paruh baya mengacung-acungkan parang ke gerombolan sekuriti yang tengah berdiri di pintu masuk sebuah perusahaan tambang. Sumpah serapah keluar dari mulutnya, sedangkan air menggenang hingga mata kaki di depan teras rumahnya di Desa Lelilef Weibulen, Kecamatan Weda Tengah, Halmahera Tengah, Maluku Utara.   

Rumah perempuan itu berada tepat di pintu masuk perusahaan tambang itu. Air mengalir deras di selokan dekat pos jaga dan menggenangi jalan. 

Manager Advokasi Tambang Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Maluku Utara, Mubaliq Tomagola, merekam kejadian tersebut. Suara lantang perempuan itu teredam oleh kendaraan bermotor yang menghadapi kemacetan lantaran jalanan banjir.

Kala itu Jumat 19 Juli 2024, hujan deras selama tiga jam dari pukul 07.00 hingga 10.00 WITA membuat empat desa, termasuk Weibulen, terendam banjir. Sungai Ake Jira dan Kobe meluap, menghambur air bercampur lumpur berwarna kuning hingga menyebar ke desa-desa. Tiga desa lain yang ikut terendam adalah Lukulamo, Woekob, dan Woejerana.

Tampak dari ketinggian kawasan industri terpadu PT Indonesia Weda Industrial Park (IWIP), Halmahera Tengah, Maluku Utara. Foto: Auriga Nusantara.

Perempuan itu meyakini hujan bukan satu-satunya biang banjir. Desanya sudah terkepung tambang nikel. Tambang-tambang itu mengeruk tanah tanpa peduli kondisi lingkungan, saluran air tak ada, hutan dibabat, dan semua lumpur dibuang ke Sungai Akejira. Tak pelak jika hujan sedikit disusul banjir.

Mubaliq menyebutkan setidaknya ada tiga tambang beroperasi di sana, yakni Tekindo Energi, Weda Bay Nickel (WBN), dan Halmahera Sukses Mandiri (HSM). 

“Dari dulu hidup tenteram, sekarang hujan sedikit banjir. Kalian harus bertanggung jawab, kalau tidak saya potong!” ucap Mubaliq menirukan teriakan marah perempuan itu. 

Namun banjir tak berhenti dengan acungan parangnya. Hujan deras pada hari berikutnya disusul oleh banjir besar. Air menggenangi sebagian wilayah di empat desa Lukolamo, Waikob, Waijarana, dan Kulojaya di Kecamatan Weda Tengah karena meluapnya Sungai Kobe. Desa Sagea dan Trans SP1 Waleh juga didera banjir. 

Mubaliq juga menyebutkan tanggul milik PT IWIP dan Tekindo jebol karena lajunya air. Jebolnya tanggul ini kian memperparah banjir.

banjir di desa Lelilef Weibulen, Weda Tengah, Halmahera Tengah, Maluku Utara pada 21 Juli 2024. Foto

Demam Nikel Biang Banjir

Desa-desa di Halmahera Tengah sudah dikepung oleh operasi tambang. Mubaliq menyebutkan deforestasi di kawasan DAS sungai cukup parah. Tak ayal jika air kemudian laju dan menyebabkan banjir.

“Kondisi hutannya sudah dibabat habis oleh perusahaan tambang,” ucap dia.

Menjamurnya operasi pertambangan nikel dimulai setelah berdirinya kawasan industri Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) di Kecamatan Weda Tengah pada bulan kemerdekaan tahun 2018. Perusahaan ini merupakan patungan tiga investor asal Tiongkok yaitu Tsingshan sebagai pemegang saham mayoritas melalui anak perusahaannya, Perlux Technologi Co.Ltd (40 persen). Dua investor lainnya adalah Zhenshi dan Huayou menguasai saham masing-masing 30 persen.

Dinas Lingkungan Hidup mencatat di Kecamatan Weda Tengah dan Weda Utara, tempat banjir terjadi, terdapat enam perusahaan tambang besar, yakni WBN dengan luas 45.000 hektare dengan luas Izin Pinjam Pakai kawasan Hutan (IPPKH) seluas 1.075 ha, Tekindo Energi seluas 2.000 ha dengan IPPKH seluas 720,30 ha, HSM seluas 7.726 ha dengan IPPKH 909,20 ha, PT Bhakti Pertiwi Nusantara seluas 1.227 ha dengan IPPKH 904,36 ha, PT Harum Sukses Mineral dengan luas 1.690 ha dengan IPPKH 216, 46 ha, dan PT First Pasific Mining dengan luas 3.112 ha. 

Koordinator Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER), Pius Ginting, menyebutkan penataan pertambangan di Halmahera Tengah ini cukup serampangan. Analisis yang mereka lakukan menunjukkan konsesi tambang itu merusak Daerah Aliran Sungai (DAS). Tak ayal jika sungai rusak dan terjadi banjir di musim penghujan. 

DAS di Halmahera Tengah. Data: AEER

Berdasar peta klasifikasi DAS, terdapat 299 DAS dan sub-DAS yang membentuk dan mempengaruhi wilayah Halmahera. Analisis spasial AEER berdasar data geoportal ESDM per Mei 2024 dan peta klasifikasi DAS KLHK menunjukkan, saat ini telah terbit 25 IUP Operasi Produksi untuk komoditas nikel di wilayah DAS yang mempengaruhi Halmahera Tengah dengan dengan total luas 126.416 ha. Terdapat pula 3 blok lelang untuk komoditas nikel dengan total luas wilayah 1.673,19 hektare.

Selain nikel komoditas lain yang telah diberikan izin tambang di wilayah Halmahera Tengah adalah batu gamping. Terdapat satu IUP Operasi Produksi dengan luas 889,93 ha dan dua WIUP dengan luas 5.390,03 ha.

Dari lima DAS yang semestinya dipulihkan, tiga DAS justru dibebani konsesi tambang, yaitu DAS Ake Kobe, DAS Pulau Fau, dan DAS Ake Diana. Dari ketiganya, DAS Ake Kobe, dibebani 9 konsesi dengan total luas 33.765,62 ha. Total luas konsesi yang masuk ke dalam DAS yang harus dipulihkan mencapai 102.584,63 ha.

Selain itu, 27 konsesi tambang mengancam 29 DAS yang harus dipertahankan fungsinya, “berarti boleh dirusak dengan pertambangan,” ujarnya dalam diskusi ‘Tingkat Produksi Pertambangan Nikel di Halmahera Tengah dan Daya Dukung dan Tampung Ekologi’ di Jakarta pada Rabu (28/8/2024).

Status Daya Dukung DAS di Halteng. Data: AEER

Berseraknya perizinan tambang di Halmahera Tengah sendiri, menurut informasi yang diperoleh Pius, diperparah dengan ketiadaan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) untuk Kabupaten Halmahera Tengah. Padahal dokumen ini penting untuk menentukan daya dukung dan tampung lingkungan. 

Menurutnya bencana banjir yang terjadi menunjukkan adanya ketimpangan antara daya dukung dan tampung lingkungan dengan investasi.

Kepala Bidang Penataan dan Kapasitas Dinas Lingkungan Hidup Halmahera Tengah, Abubakar Yasin, menyebutkan ketimpangan ini dapat dirasakan sejak memasuki permukiman. Melonjaknya jumlah penduduk tak dibarengi dengan penataan. Sehingga masuk permukiman saja sudah terasa amburadulnya, tak ada saluran pembuangan, bangunan berdempetan, hingga urusan sampah yang tak tertangani dengan baik.  

Sementara kesiapan daerah mengelola daya dukung dan tampung lingkungan juga terlambat. Ia menyebutkan saat ini proses KLHS telah sampai di Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Halmahera Tengah. Dokumen ini dibuat secepatnya mengingat investasi yang masuk sudah cukup masif dan untuk mempersiapkan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW). 

“Dalam waktu dekat KLHS akan disahkan di DPRD Halteng dan RTRW rencananya tahun depan akan jadi,” ucap dia. 

Namun menurutnya dokumen KLHS tersebut belum memuat secara rinci daya dukung dan tampung lingkungan hidup. Menurutnya proses tersebut akan menyesuaikan dengan investasi. 

Direktur Gakkum Auriga Nusantara, Roni Saputra, menilai janggal proses pembentukan KLHS Halteng ini. Soalnya, UU No 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mengatur, KLHS-lah yang justru menentukan daya dukung dan tampung lingkungan untuk menentukan investasi, bukan sebaliknya.

“Yang sudah ada KLHS-nya saja masih dilanggar, apalagi yang belum ada. Lalu kalau ada bencana seperti banjir kemarin lantas siapa yang bertanggung jawab?” ucap dia.