LIPUTAN KHUSUS:

Rimadan, Sang Penumbuh Hutan


Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Ia dan kelompoknya sedang menumbuhkan hutan di lahan bekas tambang emas dan zircon ilegal di Sungai Sekonyer, Kalimantan Tengah. Tamatan SMP dengan keingintahuan tak sepele.

Sosok

Selasa, 01 Oktober 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Di bawah terik matahari, Rimadan berjalan di lahan berpasir yang terbuka. Ia memanggul cangkul di bahu kanannya, sedangkan tangan kirinya menjinjing kantong plastik berisi beberapa bibit pohon dalam polybag. Langkahnya terhenti di salah satu sudut lahan. Di sekitarnya hanya ada rumput, itupun sedikit.

Ia meletakkan kantong bibitnya di tanah lalu mulai mengayunkan cangkulnya.

Sebentar saja sebuah lubang tanam selesai dibuat. Ia mengambil sebatang bibit, mengupas lepas plastik polybag yang membungkus akarnya. Bibit itu, berikut segumpal tanahnya, dimasukkan ke dalam lubang tanam yang kemudian diurug lagi dengan tanah bekas galian. Polybag bekas pembungkus bibit pohon ia simpan dalam kantong plastik.

Ia berdiri, melangkah ke sudut lahan yang lain, dan mengulangi aksi gali dan tanam itu. Setelah semua bibit pohon ditanam, ia kembali berkumpul dengan kawan-kawannya. "Yang sedang kami tanami ini lahan bekas tambang," katanya pada Jumat, 20 September 2024.

Rimadan, anak muda asal Desa Sungai Sekonyer yang terlibat dalam upaya pemulihan lahan di desanya. Foto: Istimewa.

Rimadan, 22 tahun, adalah pemuda Desa Sungai Sekonyer, Kecamatan Kumai, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah (Kalteng). Telah bertahun-tahun anak muda kelahiran 7 Maret 2002 ini menjadi penumbuh hutan.

Yang direforestasi lahan-lahan kritis di sekitar Sekonyer, terutama bekas kebakaran dan bekas tambang. Ini dua macam tanah yang tersulit untuk direboisasi. Menumbuhkan pohon di lahan bekas kebakaran kadang terasa seperti memasukkan suluh ke dalam tungku, bisa sia-sia ketika api menyala kembali. Nah, menanam di tanah bekas tambang seperti menumbuhkan pohon di atasnya.

Rimadan bergiat di Kelompok Tanjung Lestari, organisasi penumbuh hutan yang ditetapkan berdasarkan SK Kepala Desa Sekonyer. Beranggotakan 10 orang, tapi yang aktif 8, termasuk dirinya, dia bukan ketua kelompok, “tapi dia yang paling muda di antara kami, penumbuh pohon yang gigih, dan kemauan belajarnya tinggi,” kata Ariyadi, Ketua Kelompok Tanjung Lestari, Senin, 23 September 2024.

Rimadan berfoto bersama anggota Kelompok Tanjung Lestari lainnya di lokasi kegiatan. Foto: Istimewa.

Bagi Rimadan, kemauan belajar menjadi modal andalannya, karena pengetahuannya “nyaris nol” ketika mulai menjadi penumbuh hutan. Sekadar tamatan Sekolah Menengah Pertama, memang pengetahuan menanam sedalam apa yang bisa diharapkan darinya?

Ia tak melanjutkan sekolah setelah tamat SD-SMP Satu Atap 4 Kumai pada 2018 silam, karena harus membantu orang tuanya, termasuk membiayai sekolah adiknya. Soalnya ayahnya hanya pencari ikan, sedangkan ibunya tidak bekerja. Rimadan adalah anak laki satu-satunya dari tiga bersaudara. Ia anak kedua.

"Setelah lulus saya langsung ikut kawan-kawan di desa menanam pohon, sampai sekarang," katanya. Tapi, pada mulanya ia menjadi penanam pohon sekadar iseng, sembari menunggu pekerjaan yang lebih baik. Nyatanya kegiatan itu berlanjut, menjadi profesinya, dan kini terasa sudah mendarah-mendaging.

Tahu-tahu ia bersama senior-seniornya sudah menumbuhkan hutan di sana-sini.  "Ada beberapa lokasi yang sudah selesai kami tanam. Kalau ditotal ada 120-an hektare di kawasan taman nasional, seperti di daerah Anah Nanang di hulu Jerumbun, Beguruh, Sungai Buluh Besar, Pondok Ambung," ujar Rimadan. 

Kelompok Tanjung Lestari saat beristirahat di lokasi kegiatan reforestasi. Foto: Istimewa.

Padahal di desanya tersedia pilihan profesi lain. Warga di sana sebagian bermata pencarian sebagai nelayan, petani, perajin anyaman, dan pemahat patung. Selain itu kegiatan ekowisata di sekitar Desa Sungai Sekonyer juga berkembang.

Desa Sungai Sekonyer dilihat dari ketinggian. Foto: Akun Facebook Adut Forester.

Sekonyer—jaraknya sekitar 3 jam perjalanan menggunakan perahu motor dari ibu kota Kecamatan Kumai—merupakan kawasan penyangga Taman Nasional Tanjung Puting (TNTP). Sebagai salah satu cagar biosfer dunia, desa ini menjadi daerah tujuan wisata populer bagi pelancong mancanegara. Mereka datang untuk menikmati sungainya yang dijuluki sebagai “Amazon Asia”; hutannya yang rimbun oleh pohon hutan tropis, meski di sana-sini ada yang botak karena kegiatan ilegal; dan—tentu saja—untuk melihat langsung satwa-satwa kunci di Tanjung Puting, seperti orangutan (Pongo pygmaeus). Pada 2022 saja, ada sekitar 18 ribu wisatawan yang berkunjung ke Taman Nasional dan Sekonyer.

Tapi, ia tidak tertarik bekerja di bidang ekowisata. Ia lebih suka menanam pohon. "Saya fokus menanam. Sesekali saja jadi guide (pemandu wisata) di ekowisata Sekonyer. Itu pun untuk tamu kami sendiri," katanya.

Di Sekonyer, profesi pemulih lahan memang ikut berkembang, dimulai ketika belasan tahun lalu berbagai organisasi melakukan program-program restorasi lahan di kawasan tersebut. Organisasi-organisasi itu bekerja dengan melibatkan masyarakat setempat, sehingga—itu tadi—muncul profesi perestorasi hutan.

Sungguhpun begitu, ia bukannya tidak pernah mencoba pekerjaan lain. Suatu kali, ketika proyek restorasi lahan sedang sepi, ia ikut pamannya bekerja di perkebunan sawit.

Meski mendapat upah lumayan besar, ia ternyata tidak betah bekerja di kebun sawit. Penyebabnya karena,  sebagai buruh sawit, tidak banyak yang ia bisa pelajari.

***

Salah satu yang sedang ia pelajari dengan tekun pada saat ini adalah teknik menumbuhkan hutan di bekas tambang. Ini sangat menantang baginya dan bagi kelompoknya, meskipun sebelumnya ia telah belajar bahwa di lahan apapun “tak ada reforestasi yang mudah dan remeh”.

“Reforestasi tak hanya sekedar menanam pohon,” kata dia. Nyatanya, setiap kali mengerjakan proyek reforestasi, ia dan para seniornya hampir selalu memulainya dari nol, sungguhpun mereka telah menanami lahan seratusan hektare. Penyebabnya di antaranya karena lahan yang akan dihutankan kembali tak selalu sama karakteristiknya.

Jadi, sebelum mulai menanam, ia harus memahami karakteristik lahannya, mem-plotting areal yang akan ditanami, dan menghitung kebutuhan bibit. Itu dari sisi lahan.

Dari sisi bibit, ia harus menentukan jenis tumbuhan yang akan ditanam, yang harus sesuai dengan karakter lahan, menyiapkan bibitnya, memilih cara atau metode penanaman yang sesuai, hingga menghitung kebutuhan biayanya.

Menanam pohon sesungguhnya juga baru separuh upaya reforestasi. Ia harus memastikan pohon-pohon itu tumbuh, hingga benar-benar membentuk formasi hutan yang ideal. Bila ada bibit pohon yang mati, ia  harus segera menyulamnya. Definisi “menyulam” dalam profesi ini adalah kegiatan mengganti anakan pohon yang mati dengan yang baru.

Musim kemarau selalu menjadi masa terberat. Celakanya, di Sekonyer hanya ada dua musim. Kalau tidak kemarau, ya musim hujan yang biasanya lebih pendek waktunya. Jadi, setiap tahun, selalu ada masa-masa berat.

Pada musim kemarau, tak jarang ia dan kawan-kawannya harus tinggal di lokasi penanaman untuk beberapa waktu. Pasalnya pohon-pohon yang ditanam harus dipastikan aman dari kebakaran. Lokasinya bisa berada jauh dari desa.

Untunglah, proyek reforestasi bekas tambang yang sedang mereka garap tak jauh dari kampung. Lahannya bekas tambang emas dan zircon liar. Oleh warga, daerah itu dinamai Jerumbun.

Reforestasi Jerumbun berbeda dari proyek penghutanan kembali yang pernah dilakukan kelompoknya. Karena, meskipun lahannya kecil, sekitar 15 hektare saja, lahan itu milik kelompok.

Lahan itu dibeli seharga sekitar Rp15 juta per hektare dari warga. Duitnya dari donasi seorang warga negara Jepang, Shinichi, pada September 2023.

Ada tujuan strategis di balik pembelian lahan eks tambang itu. “Agar kami memiliki hak yang lebih kuat untuk mempertahankannya dari para penambang liar,” kata Ariyadi. "Kebetulan lahan itu dijual. Maka sekalian kami beli.”

Privatisasi diharapkan akan dapat melindungi hutan, karena status lahannya bukan kawasan hutan atau Areal Penggunaan Lain (APL). Dengan cara itu, kelompok memiliki hak yang lebih kuat untuk menjaganya.

“Kita juga malu sebenarnya. Orang luar saja peduli dengan konservasi di desa kita, masa kita warga asli Sekonyer enggak bisa melakukannya sendiri. Kami ingin mandiri,” ujar Ariyadi lagi.

Adapun Rimadan yang pembelajar melihat peluang lain. “Akan lebih baik kalau itu lahan milik sendiri, karena dengan punya pengakuan kepemilikan lahan, kami lebih percaya diri untuk bereksperimen di lahan itu," ujarnya.

Tampak dari ketinggian areal bekas tambang zircon yang sedang direforestasi oleh Kelompok Tanjung Lestari. Foto: Kelompok Tanjung Lestari.

Benar belaka, perlu eksperimen tak berkesudahan untuk menanam pohon di bekas ladang emas dan zircon itu. Soalnya, kondisi lahannya sangat kritis. Struktur tanahnya sudah rusak, berpasir, unsur haranya “miskin ekstrem”, dan... panas!

Vegetasi yang bisa tumbuh sangat sedikit. “Tanahnya yang melulu pasir dan panas sepertinya jadi penyebab utama bibit pohon sulit tumbuh,” kata Rimadan, mengeluarkan “Teori Duga-duga”-nya.

Dugaan-dugaan itu lalu ditanak dengan pengetahuan dasar, pengalaman, dan naluri sebagai penumbuh hutan. Tentu saja ia dan kawan-kawannya tahu di luar sana ada para pakar ataupun ilmuwan untuk pekerjaan tersebut. Masalahnya, bagaimana membayarnya?

 "Pendampingan juga belum ada, tapi kami kadang juga minta pendapat dari lembaga lain. Namun yang terutama, kami coba-coba saja dari ide kami sendiri," katanya.

Rimadan berfoto bersama persemaian bibit pohon Kelompok Tanjung Lestari. Foto: Istimewa.

Hasilnya, semua metode tanam yang mereka sanggup pikirkan akan dicoba. Tujuannya untuk bisa mendapatkan perbandingan keberhasilan dari setiap metode, sehingga nantinya bisa diperoleh metode yang paling ideal.

Metode yang paling mendesak untuk dipikirkan tim saat ini adalah cara melindungi pohon di lahan panas itu dari kekeringan. "Sekarang beruntung masih ada hujan. Kalau kemarau panjang, bibit-bibit pohon itu sepertinya sulit bertahan. Makanya sekarang kami sedang mencoba metode penanaman lain," katanya.

Cara yang sudah mereka lakukan untuk melawan kemarau adalah dengan menumpuk ilalang di sekitar pohon, untuk mengurangi panas dan penguapan. Cara yang sedang disiapkan untuk diuji coba adalah mengisi lubang tanam dengan kompos, seperti janjang kosong sawit atau enceng gondok yang sudah busuk, untuk mengikat air dan membantu menutrisi bibit pohon yang akan ditanam.

Sejauh ini, dari 15 hektare lahan, baru sekitar 8 hektare lahan yang telah ditanami. Per hektare terdiri dari 400-500 bibit pohon. Jenis pohonnya di antaranya belangeran, aru, ubar putih, ubar merah, dan nyatuh.

Hasil penanaman itu belum memuaskan. Baru 70 persen bibit yang ditanam bisa hidup. Padahal, tidak semua bibit itu dibuat sendiri.

Bibit-bibit itu sebagiannya dibeli dari warga desa yang menyediakan bibit pohon untuk proyek restorasi. Kelompok Tanjung Lestari memang punya program pemberdayaan masyarakat untuk menyerap bibit pohon dari warga. Bibit-bibit dari masyarakat dibeli Rp3 - 15 ribu per batang.

Meski susah sungguh menanami lahan tambang itu, ia dan rekan-rekannya tak pernah patah semangat. Sebab, jika reforestasi itu berhasil, proyek ini bisa menjadi percontohan dalam merehabilitasi lahan kritis. Diketahui, hingga 2022 saja, di seluruh Indonesia ada 12,7 juta hektare lahan kritis yang perlu dipulihkan.

Bisa jadi Rimadan dan kawan-kawannya memang tak pernah berpikir akan gagal. Lihat saja rencana mereka selanjutnya. Kini mereka sedang merencanakan perluasan area reforestasi dan berharap bisa membeli sekitar 100 hektare lahan APL lagi di hulu Jerumbun. Bagian hutan yang masih baik di sana akan dipertahankan, sementara yang kritis akan dipulihkan.

Niatannya, selain reforestasi, di lahan itu akan ada ekowisata, pendidikan lingkungan, dan pembuatan arboretum. Ada pula pembuatan hutan koridor, agar satwa-satwa seperti orangutan bisa menyeberang dari hutan satu ke hutan yang lainnya.

Rimadan saat mendampingi para sukarelawan asal Jepang yang datang ke Desa Sungai Sekonyer. Foto: Istimewa.

Duit untuk membeli APL itu memang belum ada, tapi itu bisa berasal dari banyak sumber. Misalnya dari donor, baik lembaga maupun perorangan, dalam atau luar negeri, yang dikenal maupun tidak. Yang terakhir itu contohnya Shinichi.

Hingga saat ini tak satupun anggota Tanjung Lestari yang pernah bertegur sapa dengan donator Jepang itu. Jangankan mengobrol atau bertatap muka, saling kenal pun tidak.

Shinichi hanya pernah menjadi peserta sebuah seminar online tentang hutan pada tahun lalu. Seminar ini digelar oleh Hutan Group, sebuah lembaga masyarakat sipil Jepang. Di acara itu Ariyadi menjadi salah satu pembicara.

"Kalau menurut kawan-kawan Hutan Group, Shinichi adalah orang biasa. Pekerjaannya bahkan tidak tetap. Tapi dia tertarik dengan kegiatan kami. Dia bilang punya tabungan sedikit, kebetulan tidak punya keluarga, jadi ingin tabungannya didonasikan kepada kami," kata Ariyadi.

Namun ada sedikit masalah dalam hal penerimaan donasi. Legalitas kelompok yang masih terlalu sederhana, hanya berdasarkan SK kepala desa, kadang kala menjadi sandungan untuk mendapatkan dukungan pendanaan dari luar. “Makanya, nanti kalau ada dana lebih kami ingin mengubah legalitasnya jadi yayasan,” kata Ariyadi.

***

Bukan hanya untuk eksperimen, lahan reforestasi Kelompok Tanjung Lestari juga menjadi tempat pendidikan lingkungan bagi anak-anak sekolah. Tak sedikit siswa sekolah dasar (SD), SMP, dan SMA di Kecamatan Kumai, bahkan Kabupaten Kotawaringin Barat, datang ke lokasi untuk belajar upaya reforestasi di lahan bekas tambang.

Sejumlah siswa sekolah saat berkunjung dan ikut melakukan penanaman di lokasi reforestasi Kelompok Tanjung Lestari. Foto: Kelompok Tanjung Lestari.

Rimadan gembira sekali menerima kunjungan mereka. Baginya kunjungan itu sama pentingnya dengan pekerjaan menanam pohon. Bukan untuk pamer, tapi “Karena semakin banyak yang peduli semakin baik," katanya. “Kami berharap makin banyak yang memperhatikan lingkungan, terutama anak muda.”

Di luar kegiatan menumbuhkan pohon di Jerumbun, ia dan kawan-kawannya juga mengerjakan proyek konservasi di Kawasan Strategis Kabupaten (KSK). Dananya dari USAID. Lokasinya di hulu Sungai Sekonyer. Kegiatannya mencakup proteksi lahan dan hutan, reforestasi, dan monitoring biodiversitas.

Program proteksi lahan dan hutan membuat ia dan kawan-kawannya secara berkala melakukan susur sungai untuk memantau aktivitas ilegal. Ada pula kegiatan pemadaman api jika lokasi KSK terbakar.

Untuk program reforestasi lahan USAID, mereka sedang melakukan penanaman di lahan seluas sekitar 15 hektare. Sekitar 15 ribu pohon sudah ditanam di lahan ini. Jenisnya tak hanya pohon kayu, tapi juga pohon buah, seperti mangga, rambutan, dan durian.

Dalam monitoring biodiversitas, fokus mereka baru pada penghitungan populasi orangutan dan bekantan (Nasalis larvatus). "Jumlah bekantan pelintas batas (yang menyeberangi sungai pembatas taman nasional) ada sekitar 600 individu. Kalau orangutan di KSK di luar taman nasional terpantau ada 15-20 individu. Itu hanya yang kami lihat saja," ujarnya. */**

 

Liputan ini merupakan kolaborasi Program Biodiversity Warrior KEHATI dengan Betahita.id