LIPUTAN KHUSUS:

PR Besar Bidang Agraria untuk Anggota DPR Baru


Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Satu dekade Pemerintahan Presiden Jokowi menjadi era dengan letusan konflik agraria tertinggi.

Agraria

Senin, 07 Oktober 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Setidaknya ada 5 catatan negatif di bidang agraria yang ditinggalkan oleh anggota DPR RI masa jabatan 2019-2024, dan menjadi pekerjaan rumah (PR) yang diharapkan diselesaikan 732 anggota DPR RI masa jabatan 2024-2029 yang baru saja dilantik Selasa kemarin. Salah satu PR itu adalah evaluasi pelaksanaan reforma agraria yang dilakukan pemerintah.

Untuk diketahui sekitar 54 persen atau sekitar 580 orang dari 732 orang yang dilantik sebagai anggota DPR RI masa jabatan 2024-2029 merupakan orang-orang lama, atau petahana. Sementara itu, berbagai produk hukum yang dihasilkan para anggota DPR RI sepanjang 2019-2024 kemarin dianggap kurang mewakili kepentingan rakyat banyak, terutama kelompok-kelompok marjinal, seperti kaum tani, nelayan, masyarakat adat, perempuan, dan masyarakat pedesaan lainnya.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika, mengatakan pihaknya mencatat ada 5 catatan negatif di bidang agraria, yang mestinya menjadi perhatian dan PR bagi anggota parlemen di era 2024-2029, terutama untuk membenahi permasalahan agraria di Indonesia.

Yang pertama adalah tidak adanya evaluasi mendasar dari DPR RI terhadap pelaksanaan agenda reforma agraria selama 5 tahun terakhir terhadap pemerintahan Presiden Jokowi. Hal ini mengakibatkan implementasi reforma agraria jalan di tempat, bahkan pelaksanaannya dimanipulasi sebatas bagi-bagi sertifikat dan menciptakan liberalisasi agraria melalui pasar tanah.

Sejumlah Petani, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), dan Seripak Petani pasundan (SPP) melakukan aksi demonstrasi pengusutan korupsi agraria di KPK. Foto: KPA

"Berdasarkan catatan KPA selama 2015-2023, Presiden Joko Widodo melalui Menteri ATR/BPN RI hanya mampu menertibkan tanah terlantar dari bekas HGU dan HGB seluas 77 ribu hektare dari 7,24 juta hektare tanah yang terindikasi terlantar (ATR/BPN, 2023)," kata Dewi, dalam sebuah pernyataan tertulis, Rabu (2/10/2024).

Yang kedua, lanjut Dewi, tidak adanya dialog partisipatif dan bermakna yang dilakukan DPR RI bersama perwakilan petani, rakyat, dan organisasi masyarakat sipil untuk mengurai dan membenahi masalah konflik agraria yang terus meningkat di berbagai wilayah dari waktu ke waktu.

Hasilnya, konflik agraria di lima tahun terakhir terus menumpuk, menjadikan satu dekade Pemerintahan Presiden Jokowi sebagai era tertinggi letusan konflik agraria dengan 2.939 kasus (2015-2023).

Kemudian yang ketiga, DPR RI bersama pemerintah justru menjadi motor utama lahirnya Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) yang telah mengamputasi puluhan kebijakan pro rakyat di bidang agraria dan mengkhianati Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Alih-alih melahirkan produk legislasi yang memenuhi harapan kaum tani dan gerakan reforma agraria.

Yang keempat, DPR RI gagal menjalankan fungsinya sebagai pengawas dan pengontrol jalannya pemerintahan. Berbagai kebijakan investasi dan pembangunan yang mengarah pada praktek-praktek perampasan tanah berjalan tanpa peringatan keras dari wakil rakyat di parlemen.

"Sebut saja pembentukan Lembaga Bank Tanah, percepatan pembangunan proyek strategis nasional (PSN), pengampunan keterlanjuran bisnis ilegal kehutanan, tambang dan sawit," ujar Dewi.

Selain itu, lanjut Dewi, kebijakan kawasan hutan dengan pengelolaan khusus (KHDPK), food estate, impor pangan, hak pengelolaan (HPL), hak guna usaha (HGU) 190 tahun dan hak guna bangunan (HGB) 180 tahun di Ibu Kota Nusantara (IKN), perhutanan sosial (PS) dan kebijakan distribusi manfaat (perkebunan sosial) di wilayah-wilayah konflik akibat klaim PTPN dan suburnya praktik korupsi agraria-mafia tanah, juga semakin meminggirkan kehidupan kaum tani, nelayan, masyarakat adat dan masyarakat pedesaan lainnya.

Terakhir, yang kelima, selain lemahnya komitmen pimpinan DPR terhadap agenda ini, secara teknis, persoalan klasik kelembagaan yang telah berlangsung sejak Orde Baru menjadi salah satu hambatan kinerja monitoring dan evaluasi yang dilakukan DPR RI selama ini.

Terutama mengenai terpisah-pisahnya pembagian komisi yang memantau Kementerian/Lembaga di bidang agraria, seperti Kementerian ATR/BPN, Kementerian LHK, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Pertanian, Kementerian Desa PDTT, dan Badan Geospasial. Situasi ini membuat kordinasi pengawasan lintas komisi dan K/L melambat dan melemah.

"Atas catatan kritis di atas, kami mengingatkan seluruh Anggota DPR RI dan DPD RI terpilih ke depan secara serius dan konsekuen bekerja untuk mengedepankan kepentingan rakyat dan agenda reforma agraria," ucap Dewi.

"DPR RI dan DPD RI sudah selayaknya mengembalikan mukanya sebagai wakil rakyat yang memiliki peran strategis dalam pembentukan hukum, anggaran pembangunan dan mengawasi kinerja pemerintahan sesuai dengan mandat UUPA 1960," imbuhnya.

Dewi melanjutkan, atas catatan kritis tersebut, KPA menyampaikan beberapa tuntutan kepada DPR RI dan DPD RI yang dilantik 1 Oktober 2024. KPA menuntut agar anggota parlemen secara serius dan konsekuen melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap kinerja pemerintahan dalam pelaksanaan agenda reforma agraria sesuai mandat UUPA 1960 dan TAP MPR RI No.IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Sumber Daya Alam.

Kemudian secara intens membuka partisipasi publik yang lebih bermakna melalui Rapat Dengar Pendapat (RDP) dan pertemuan semacamnya untuk mengurai persoalan konflik agraria yang terjadi di berbagai wilayah.

Selanjutnya, mengevaluasi dan mencabut regulasi anti petani dan agenda reforma agraria seperti UU Cipta Kerja dan produk hukum turunannya yang terkait dengan Bank Tanah, food estate, PSN, IKN, KEK, KSPN, HPL, forest amnesty, KHDPK, dan lain sebagainya, serta menghentikan segala jenis kejahatan agraria yang telah berlangsung, sehingga ke depan konstitusi dapat diselamatkan, demokrasi ditegakkan, dan reforma agraria sejati dapat diwujudkan

"Memperbaiki kebijakan pembentukan undang-undang yang menjamin keterlibatan petani dan organisasi gerakan reforma agraria dalam seluruh tahapannya," ujarnya.

Berikutnya, mendorong, menyusun dan mengesahkan RUU Reforma Agraria serta RUU Masyarakat Adat sebagai penguat cita-cita UUPA, sekaligus landasan hukum bagi pelaksanaan redistribusi tanah, penyelesaian konflik agraria, pengakuan wilayah adat, perombakan monopoli tanah, dan pembangunan pertanian, pangan serta pedesaan dalam kerangka reforma agraria.

Yang terakhir, perlunya perombakan yang mendasar dan sistematis, terutama penyatuan K/L yang mengurusi persoalan di bidang agraria dalam satu komisi sehingga membuat kordinasi pengawasan dan evaluasi menjadi cepat dan efektif dalam satu pintu pengawasan.