LIPUTAN KHUSUS:
Sawit Diputihkan, KLHK Dihitamkan
Penulis : Aryo Bhawono
Kejaksaan juga diminta memeriksa korporasi yang memanfaatkan kebijakan pemutihan sawit dalam kawasan hutan.
Hukum
Sabtu, 05 Oktober 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Kejaksaan Agung melakukan penggeledahan Kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan terkait dugaan suap korupsi dalam tata kelola perkebunan sawit tahun 2016-2024. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menyebutkan tata kelola perkebunan sawit melalui program pemutihan sawit dalam kawasan hutan ini menyisakan banyak celah korupsi.
Penyidik Kejaksaan Agung melakukan penggeledahan di KLHK pada Kamis (3/10/2024). Informasi yang dihimpun menyebutkan penggeledahan dilakukan di beberapa ruangan, di antaranya Ruang Kerja Sub Direktorat Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan hingga ruang Sekjen KLHK.
Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional, Uli Arta Siagian menyebutkan tata kelola perkebunan sawit tahun 2016-2024 ditengarai berkaitan dengan proses pemutihan sawit dalam kawasan hutan melalui pasal 110 A UU No 6 Tahun 2023 Tentang Cipta Kerja. Sejak awal proses pemutihan ini menyisakan celah praktik korupsi.
“Salah satu celah itu adalah tenggat penyelesaiannya hingga 2 November 2023 yang sarat akan kepentingan transaksional politik,” ucap Uli.
Pemutihan sawit ini merupakan program pengampunan bagi perusahaan sawit yang beraktivitas dalam kawasan hutan tanpa izin. Mereka yang seharusnya dikenai pidana membayar denda meski telah melakukan deforestasi.
UU Cipta Kerja sendiri memberikan waktu kepada pemerintah untuk menyelesaikan pemutihan hingga 2 November 2023. Tetapi pada waktu yang ditentukan oleh perundangan itu, pemerintah justru menyebutkan tanggal tersebut bukan batas penyelesaian namun hanya batas terakhir pendaftaran.
Pemutihan semacam ini sudah dilakukan oleh Kementerian Kehutanan, yang saat ini bernama KLHK, melalui PP Nomor 60 Tahun 2012 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan serta PP Nomor 104 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan.
Kedua peraturan ini memberikan waktu kepada korporasi yang beraktivitas dalam kawasan hutan untuk mengurus kelengkapan administrasi paling lama 6 (enam) bulan untuk PP Nomor 60 Tahun 2012 dan 3 tahun untuk PP 104 Tahun 2015. Korporasi-korporasi yang beraktivitas ilegal dalam kawasan hutan dapat beraktivitas secara legal dengan mendapatkan izin pelepasan kawasan hutan jika mengurus seluruh administrasi yang ditentukan.
Namun alih-alih melakukan penegakan hukum terhadap korporasi-korporasi tersebut, pemerintah justru menerbitkan pasal 110 A dan 110 B dalam Undang-undang Cipta Kerja.
Uli menyebutkan proses pemutihan sawit dan basis data perkebunan dalam kawasan hutan melalui pasal 110A dan 110B ini juga sangat tertutup. KLHK tidak membuka informasi untuk menghitung luasan konsesi, berapa luas hutan yang ditanami sawit, dan berapa luas tutupan hutan sebelum dibuka menjadi perkebunan, itu berasal dari data yang mana dan milik siapa.
“Apakah data yang dimiliki KLHK sendiri, ataukah data laporan mandiri yang diberikan perusahaan. Jika menggunakan laporan mandiri perusahaan sebagai lampiran dari proses pendaftaran, tidak diketahui juga apakah dilakukan proses pemeriksaan data tersebut,” kata dia.
Selain itu, dalam perjalanannya KLHK tiba-tiba menerbitkan SK Menteri LHK Nomor SK.661 yang merupakan penyederhanaan formula perhitungan kewajiban Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) provisi Sumber Daya Hutan dan Dana Reboisasi (PSDH-DR) yang seharusnya dibayarkan perusahaan dalam proses pemutihan. PSDH-DR tidak memperhatikan jenis kayu dari kawasan hutan yang diputihkan. Rumus ini menaksir volume kayu dikali potensi kayu dan luas areal terbangun.
“Jika dibandingkan dengan Perhitungan PSDH berdasarkan potensi tegakan yang mengacu pada neraca sumber daya hutan tahun 2022 terhadap jenis tutupan dan status kawasan hutan yang dilihat berdasarkan data tutupan tahun 2000, perhitungan melalui SK.661 ini jauh lebih sedikit, dan sangat meringankan perusahaan,” ucapnya.
Hingga 4 Oktober 2023 lalu, berdasarkan data KLHK, luas indikatif perkebunan sawit yang terbangun dalam kawasan hutan tanpa perizinan di bidang kehutanan totalnya seluas 1.679.797 hektare. Luasan tersebut terdiri dari 1.679 unit kebun. Angka-angka itu hasil akumulasi inventarisasi data sawit dalam kawasan hutan yang tercantum dalam SK datin tahap 1-15 yang ditetapkan Menteri LHK.
Sebanyak 1.263 unit kebun terindikasi milik perusahaan atau korporasi dengan luas 1.473.946,08 ha. Sedangkan 1.132 unit kebun di antaranya telah dinyatakan melengkapi persyaratan untuk permohonan penyelesaiannya dengan total luasan 1.374.322,8 ha.
Sebanyak 969 unit dengan luas 867.313,22 ha penyelesaiannya ditetapkan menggunakan mekanisme Pasal 110A/Pasal 110B Undang-Undang CiptaKerja, dan 162 unit kebun seluas 507.009,58 ha diselesaikan menggunakan Pasal 110A.
Khusus penyelesaian menggunakan mekanisme Pasal 110A, sebanyak 78 unit sudah mendapatkan SK Penetapan Batas Pelepasan Kawasan Hutan atau Penetapan Areal Kerja, 29 unit sudah mendapatkan SK Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan, dan sisanya 55 unit dalam proses oleh Tim Terpadu.
Sedangkan inventarisasi yang dilakukan terhadap kebun masyarakat hanya 297 unit dengan luas 106.196,90 hektare, dan 119 unit kebun milik koperasi seluas 99.654,47 hektare. Tak ada kemajuan dari proses pemutihan sawit rakyat, sebab pemerintah lebih mengutamakan memroses kebun milik korporasi.
Setidaknya ada 10 besar grup sawit yang dapat pemutihan. Mereka ini sepuluh grup korporasi besar yang menanam sawit dalam kawasan hutan. Mereka adalah Sinar Mas, Wilmar, Musim Mas, Goodhope, Citra Borneo Indah, Genting, Bumitama, Sime Darby, Perkebunan Nusantara, dan Rajawali/Eagle High.
Menurutnya perkebunan sawit dalam kawasan hutan ini, bukan hanya menyebabkan deforestasi. Kerusakan dan bencana lingkungan menyusul kemudian seperti, hilangnya keanekaragaman hayati, rusaknya fungsi hidrologis, pelepasan emisi, kerugian negara dan perekonomian negara, konflik serta intimidasi kepada masyarakat.
Meski terlambat namun tindakan kejaksaan ini perlu diapresiasi dan didukung. Selanjutnya, menjadi penting bagi Kejaksaan juga memeriksa korporasi-korporasi yang terlibat dalam proses pemutihan sawit dalam kawasan hutan,” ungkap Uli.