LIPUTAN KHUSUS:

Langgar Dulu, Izin Kemudian - Modus Korupsi Sawit di KLHK


Penulis : Kennial Laia

Indonesia telah hampir mencapai ambang batas daya dukung lingkungan untuk bisa menanam sawit.

Sawit

Kamis, 10 Oktober 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Tata kelola industri perkebunan kelapa sawit dikritisi pasca mencuatnya dugaan korupsi di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), terkait pengelolaan perkebunan kelapa sawit secara ilegal di dalam kawasan hutan. 

Pada 3 Oktober lalu, Kejaksaan Agung menggeledah sejumlah lokasi di KLHK, termasuk di ruangan sekretariat jenderal; sekretariat satuan pelaksanaan, pengawasan dan pengendalian; direktorat di bidang penerimaan negara bukan pajak; direktorat di bidang pelepasan kawasan hutan; dan direktorat di bidang penegakan hukum dan biro hukum. Dalam operasi ini, Kejaksaan Agung menyita empat boks dokumen serta barang bukti lainnya dalam bentuk elektronik, terutama terkait proses pelepasan kawasan hutan. 

Manajer kampanye hutan dan perkebunan besar Walhi Nasional, Uli Artha Siagian, mengatakan pembukaan kebun sawit di dalam kawasan hutan tanpa izin telah terjadi sejak lama. Namun, kasus-kasus ini cenderung diselesaikan pemerintah melalui proses pelepasan atau perubahan fungsi kawasan hutan untuk mengakomodir pelanggaran yang dilakukan perusahaan. 

“Modus perubahan kawasan hutan untuk mengakomodir pelanggaran jamak dilakukan sejak 2011. Walhi mencatat hingga 2022, sudah ada 8 juta hektare hutan yang dilepaskan. Sebanyak 71% atau 6 juta hektare ditujukan untuk korporasi perkebunan,” kata Uli dalam diskusi publik di Kantor Walhi Nasional, Jakarta, Rabu, 9 Oktober 2024. 

Ilustrasi Sawit Plasma. Foto: Yudi/Auriga

“Artinya, indikasi terjadinya praktik korupsi dalam konteks pengampunan kesalahan, pemutihan, perubahan tata ruang, itu sudah terjadi sangat lama,” ujarnya. 

Menurut Uli, terdapat beberapa revisi peraturan atau kebijakan pemerintah yang memfasilitasi aktivitas ilegal perusahaan di dalam kawasan hutan. Di antaranya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 60/2012 dan PP Nomor 104/2015. Kedua aturan ini memberikan waktu kepada perusahaan yang beraktivitas secara ilegal dalam kawasan hutan untuk mengurus legalitas atau kelengkapan administrasi, masing-masing paling lama enam bulan dan tiga tahun. 

Melalui peraturan ini, perusahaan dapat memperoleh izin pelepasan kawasan hutan asal telah mengurus kelengkapan administrasi. “Perusahaan yang melakukan pelanggaran tidak menerima sanksi ataupun menjalani penegakan hukum,” kata Uli. 

Kebijakan lainnya adalah Undang-Undang Cipta Kerja yang diterbitkan pada 2020. Di dalam regulasi ini terdapat pasal 110a dan 110b yang secara khusus mengatur “pemutihan” kebun sawit di dalam kawasan hutan. Data KLHK menyebut bahwa terdapat 3,31 juta hektare sawit ilegal di dalam kawasan hutan. Luas ini gabungan antara perusahaan maupun yang dikelola oleh sawit rakyat. 

Grahat Nagara, akademisi di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera mengatakan, dua pasal dalam Undang-Undang Cipta Kerja mengakomodir kepentingan pengusaha. Pasalnya, mekanisme penyelesaian untuk sawit rakyat di dalam kawasan telah terdapat dalam peraturan lainnya, seperti Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan dan Undang-Undang Pokok Agraria. 

“Pasal 110a dan 110b ini khusus untuk menjawab pembukaan lahan yang dilakukan secara terorganisir untuk sawit dan tambang. Mereka yang diuntungkan melalui aturan ini adalah pelaku usaha yang terjebak kebijakan,” katanya. 

“Hampir semua respons atas pelanggaran itu tidak berkaitan dengan pemulihan, bahkan sanksinya cuma dua. Sebagian besar ganti kerugian dan pengembalian lahan,” ujarnya. “Artinya, kedua pasal ini tidak melayani rakyat, tidak berdampak pada lingkungan, tidak jelas pelaksanaannya selain meningkatkan moral hazard dan biaya ekonomi sawit.”

Direktur Eksekutif Sawit Watch Achmad Surambo mengatakan, perluasan sawit termasuk di dalam kawasan hutan telah menimbulkan berbagai konflik agraria dan sosial. Lembaga tersebut mencatat terdapat sekitar 1.106 konflik komunitas yang melibatkan 330 perusahaan. Kasus-kasus ini didominasi oleh konflik tenurial sebesar 62,5% dan konflik kemitraan sebesar 9%. 

“Ke depan jika tidak diselesaikan, yang akan terjadi terus-menerus adalah konflik kemitraan. Karena tenurial tidak diselesaikan, maka beralih ke konflik kemitraan. Seperti yang terjadi di Seruyan, Kalimantan Tengah, hingga menelan korban penembakan dan warga luka-luka,” kata Achmad. 

Menurut Achmad, luas sawit yang ada di Indonesia juga telah sangat besar. Berdasarkan catatan Sawit Watch, terdapat sekitar 25,07 juta hektare izin yang telah diberikan, dan 17,3 juta hektare telah ditanami kelapa sawit. “Luas sawit yang ada saat ini sudah cukup, pemerintah tinggal mengembangkan hilirisasi dan meningkatkan produktivitas,” kata Achmad. 

Achmad mendorong pemerintah untuk melakukan moratorium perizinan baru sawit secara permanen, seperti yang pernah dilakukan pada periode 2018-2021. Selain itu, data terbaru juga menunjukkan bahwa Indonesia telah hampir mencapai ambang batas daya dukung lingkungan untuk bisa menanami sawit, yakni di angka 18,1 juta hektare. 

“Karena itu kami mendorong agar model pemutihan seperti ini tidak diteruskan. Karena akan jadi preseden untuk pengampunan berikutnya. Menurut saya  harusnya dipulihkan,” kata Achmad. 

“Terkait kasus yang sedang ditangani oleh Kejaksaan Agung, kami juga berharap ada transparansi, dibuka semua agar publik ikut mengawasi,” katanya.