LIPUTAN KHUSUS:

5 Warga Lagi Terancam Kriminalisasi oleh Nikel di Morowali: SLAPP


Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Lima warga Desa Ambunu dipanggil polisi gara-gara memblokade jalan tambang nikel di kawasan PT IHIP, di Morowali, Sulteng.

Tambang

Selasa, 15 Oktober 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP) atau Gugatan Strategis Melawan Partisipasi Publik di sekitar kawasan industri nikel di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah (Sulteng) meningkat. Baru-baru ini, 5 warga Desa Ambunu, Kecamatan Bungku Barat, dipanggil polisi karena terlibat dalam aksi blokade jalan tani yang digunakan angkutan tambang, yang dilakukan oleh masyarakat yang tergabung dalam Aliansi Forum Masyarakat Ambunu Bersatu.

Pengkampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulteng, Wandi mengatakan, pada 10 Oktober 2024, lima warga Ambunu, yakni Abd. Ramadhan A, Hasrun, Moh. Rais Rabbie Ambunu, Makmur Ms., dan Rifiana Ms., mendapat surat panggilan dari Polda Sulteng untuk dimintai keterangan, dengan nomor surat B/989/X2024/Diretkrimsus tertanggal 4 Oktober 2024.

Mereka berlima dimintai keterangan atas dugaan tindakan pidana terganggunya fungsi jalan yang digunakan oleh PT Baoshuo Taman Industri Invesment Grup (BTIIG) berdasarkan peraturan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2024 pasal 63 ayat 1 (junto) pasal 12 ayat 2. Dalam aksi blokade itu Ramadhan dan Hasrun masing-masing merupakan koordinator lapangan (korlap) dan wakil korlap.

"Sebelum itu, lima warga yang tergabung dalam aksi itu, mendapatkan somasi oleh PT BTIIG pada 23 Juni 2024 Nomor: 14/BTIIG-Legal/VI/2024. Perihal tindakan pemalangan yang mengakibatkan berhentinya aktivitas kegiatan usaha PT BTIIG," kata Wandi, Senin (13/10/2024).

Warga Topogaro yang tergabung dalam Aliansi Pemberdayaan Masyarakat Lingkar Industri (APMLI) memblokir jalan PT BTIIG Morowali. Sumber foto: Syafaat Ladanu

Wandi bilang, Walhi Sulteng menilai pemanggilan polisi ini merupakan bentuk strategi yang dilakukan oleh perusahaan untuk membungkam warga agar tidak melakukan protes dengan metode SLAPP. Juga sebagai bentuk untuk memperingatkan warga di desa lainnya untuk tidak berbuat macam-macam.

"Jika dilihat, hampir sebagian besar orang orang yang mendapat panggilan polisi adalah tokoh-tokoh kunci yang cukup kritis memperjuangkan haknya yang dirampas oleh PT BTIIG. Sebelumnya juga lima warga Desa Topogaro dan Desa Tondo dipanggil polisi dan kemudian digugat oleh perusahaan dengan tuntutan Rp14 miliar," ujar Wandi.

Wandi menjelaskan, blokade jalan pada 15 Juni 2024 tersebut sebenarnya dilakukan sebagai bentuk kemarahan warga Desa Ambunu, ketika beredar sebuah video pernyataan Legal Eksternal PT PT Indonesia Huabao Industrial Park (IHIP)--perusahaan pemilik kawasan industri nikel tempat PT BTIIG beroperasi, yang isinya menyampaikan bahwa jalan tani yang sekarang digunakan sebagai jalan hauling adalah milik sah PT BTIIG.

Penggunaan jalan untuk angkutan material tambang ini didasarkan oleh adanya MoU tugar guling aset dengan Bupati Morowali. Sebagai tukarnya PT BTIIG mengerjakan perluasan bandara, MoU ditanda-tangani pada 11 Maret 2024.

Sementara itu, lanjut Wandi, jalan tani yang terhubung dari Topogaro ke Dusun Folili ke Dusun Sigendo dan Desa Ambunu itu jauh sebelumnya sudah digunakan oleh warga dan masih berbentuk jalan tanah setapak untuk ke kebun. Serta akses menuju ke Gua Vavompogaro (situs budaya) bersejarah bagi warga sekitar.

"Di Desa Ambunu jalan tersebut sudah terdapat bangunan gudang penyimpanan ore nikel dan gerbang milik PT BTIIG, sehingga warga harus memutar sejauh 3-4 km untuk pergi ke kebunnya. Sebelum ada bangunan biasanya warga hanya menempuh jarak satu kilometer saja," katanya.

Menurut Wandi, klaim sepihak penguasaan jalan desa itu tidak hanya terjadi di Desa Topogaro, Desa Tondo, dan Desa Ambunu saja, akan tetapi juga di Desa Wosu, Desa Umpanga, dan Desa Larebonu. Berdasarkan MoU pada 11 Maret 2024 dalam point (b) menjadi milik PT IHIP yang diuraikan dalam 10 pasal perjanjian.

Wandi menerangkan, kawasan IHIP yang terletak di Kecamatan Bungku Barat, Morowali, merupakan kawasan industri yang dikendalikan penuh oleh PT Zhensi Holding Grup dengan wajah Bahosua Taman Industri Invesment Grup (BTIIG). Komposisi sahamnya terdiri dari Zhensi Indonesia Industrial Park 51%, Beijing Shengyue Oriental Invesment Co., Ltd 10,28%, PT Kejayaan Emas Persada 27,45%, dan PT Himalaya Global Investment 11,27%. Nilai investasinya sebesar Rp14 triliun, untuk produksi blok besi nikel dan nikel hidroksida, merupakan bahan baku penting untuk stainless steel serta baterai energi baru kelas atas.

Saat ini, imbuh Wandi, ada dua tenant yang akan beroperasi di dalam kawasan PT IHIP, yaitu PT Shousi Indonesia Invesment Grup dan PT Beishi Indonesia Invesmnet Grup, kedua perusahaan tersebut memiliki relasi bisnis dengan Zhensi Holding Grup dan orang-orang yang sama berada dalam struktur penting di PT BTIIG.

Kawasan PT IHIP ini memiliki luas sebesar 20.000 hektare, mencakup wilayah di Desa Wata, Desa Tondo, Desa Ambunu, Desa Topogaro, Desa Upanga, Desa Larebonu dan Desa Wosu. Pembangunan kawasan industri ini dilakukan dengan dua tahap. Tahap pertama yang sedang berjalan di Desa Tondo, Desa Topogaro dan Desa Ambunu. Pembagunan kawasan ini sebagai bagian dari zona percontohan kerja sama internasional berkualitas tinggi di bawah “One Belt, One Road Inisiative”.

Lebih jauh Wandi menguraikan, menurut catatan Walhi Sulteng, dalam rentang Juni-Oktober 2024, ada 15 orang warga di lingkar industri nikel yang berurusan dengan kepolisian dan upaya hukum lainnya. PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), 7 orang dan PT IHIP 8 orang.

Pemanggilan oleh polisi tersebut terjadi setelah warga melakukan protes atas masalah yang di timbulkan oleh perusahaan seperti dampak lingkungan akibat pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) captive PT IMIP di Desa Labota dan masalah penggunaan jalan di Desa Topogaro, Desa Tondo, dan Desa Ambunu, oleh PT BTIIG.

"Pasal yang digunakan dalam pemanggilan warga, rata-rata menggunakan Pasal 162 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba). Menganggap bahwa gerakan yang dilakukan oleh masyarakat mengganggu atau merintangi aktivitas perusahaan," ujar Wandi.

Wandi berpendapat, pemerintah tampak gagal melindungi dan menjamin kesejahteraan masyarakat dan pekerja di tengah-tengah kepungan industri nikel dengan agenda hilirisasi. Justru malah memfasilitasi kepentingan industri nikel dengan berbagai kebijakan-kebijakannya.

"Ke depannya akan banyak warga berurusan dengan polisi akibat melakukan protes terhadap dampak lingkungan dan sengketa agraria yang tidak pernah selesai. Maka seterusnya akan menjadi korban," katanya.

Walhi Sulteng, sambung Wandi, mendesak pemerintah untuk menghentikan upaya pembungkaman warga yang dilakukan oleh PT BTIIG dan PT IMIP. Kemudian meminta agar segera dilakukan audit dan pengawasan ketat terhadap aktivitas industri nikel untuk melindungi warga dari ancaman dampak lingkungan dan keselamatan pekerja.