LIPUTAN KHUSUS:
Pidato Prabowo Nihil Penanganan Krisis Iklim
Penulis : Aryo Bhawono
Kondisi politik minim oposisi juga akan menjauhkan Indonesia dalam penanganan krisis iklim.
Iklim
Senin, 21 Oktober 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Presiden Prabowo Subianto dinilai tak menyampaikan soal penanganan krisis iklim pada pidato pelantikannya sebagai Presiden masa periode 2024-2029. Demi penaggulangan krisis iklim ini, kelompok pegiat lingkungan menyatakan akan terus bersuara demi menyetop pembangunan berwatak ekstraktif yang merusak lingkungan hidup, melanggar HAM, dan merugikan masyarakat.
Prabowo Subianto dilantik menjadi Presiden RI periode 2024-2029 pada Minggu (20/10/2024). Namun sayangnya penyelesaian krisis iklim sama sekali tak terucap dalam pidatonya. Bahkan isi pidatonya mengindikasikan untuk menggenjot industri ekstraktif dan proyek pembangunan yang justru merusak keseimbangan sosial, ekologi, dan lingkungan hidup.
“Kita diberi karunia oleh Tuhan. Tanaman-tanaman yang membuat kita bisa tidak tergantung dengan bangsa lain. Tanaman-tanaman seperti kelapa sawit bisa menghasilkan solar dan bensin. Kita juga punya singkong, tebu, sagu, jagung, dan lain-lain. Kita juga punya energi bawah tanah, geothermal yang cukup. Kita punya batu bara yang sangat banyak. Kita punya energi dari air yang sangat besar. Pemerintah yang saya pimpin nanti akan fokus untuk mencapai swasembada energi,” ucap Prabowo dalam pidatonya.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Zenzi Suhadi, menyebutkan lembaganya mencatat selama 10 tahun terakhir, pemerintahan Joko Widodo mengorkestrasi program pembangunan yang kental dengan perampasan ruang hidup, konflik agraria, perusakan dan penghancuran lingkungan hidup, ekosistem esensial, serta keanekaragaman hayati.
Kebijakan ekonomi yang bertumpu pada industri ekstraktif menunjukkan ketidakpedulian pemerintahan sebelumnya terhadap krisis iklim yang semakin memburuk. Kondisi ini tidak boleh dilanjutkan oleh Prabowo-Gibran.
Sejumlah pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) dan Kawasan Pariwisata Strategis Nasional (KPSN) pun telah menyumbang deforestasi, melahirkan perampasan dan penggusuran ruang hidup dan sumber penghidupan, serta kriminalisasi terhadap rakyat di berbagai wilayah di Indonesia.
“Proyek-proyek pembangunan yang sarat penghancuran sistem keseimbangan sosial, ekologi serta lingkungan hidup itu akan jadi gambaran ke depan dalam pemerintahan baru,” kata dia dalam pernyataan sikap Aliansi Rakyat untuk RUU Keadilan Iklim (ARUKI).
Saat ini kelompok rentan harus menanggung dan menghadapi bahaya dan ancaman kerusakan dan kehilangan akibat krisis iklim, pelibatan secara setara dan partisipasi bermakna kelompok rentan dalam seluruh agenda pembangunan ekonomi maupun program serta aksi-aksi iklim justru diabaikan.
Peneliti Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Syaharani, menyebutkan pemerintahan Prabowo cenderung memilih melanjutkan program serta proyek-proyek yang kental dengan realitas climate washing dan greenwashing, padahal faktanya itu adalah solusi salah atasi krisis iklim.
Food estate, blue economy (ekonomi biru), proyek hilirisasi, dan sejumlah proyek lain terbukti hanyalah solusi palsu iklim. Proyek-proyek yang mengatasnamakan aksi iklim, nyatanya hanya menjadi business as usual yang lebih menekankan pada investasi skala besar dan cenderung menambah persoalan dan kerentanan rakyat akibat perubahan iklim, serta semakin menyulitkan rakyat untuk beradaptasi.
“Proyek geothermal, pengelolaan hasil sedimentasi di laut, Carbon Capture, Utilization, and Storage (CCUS), PLTA, kendaraan listrik dan berbagai proyek transisi energi lainnya, justru memperluas kerusakan lingkungan, merusak hutan, bencana, melanggar HAM dan kerugian bagi rakyat.” ucapnya.
Berbagai konflik yang terjadi akibat proyek-proyek solusi palsu tersebut juga meningkatkan risiko perempuan menjadi korban kekerasan. Krisis iklim hari ini telah melahirkan pemiskinan berwajah perempuan.
Ketua Badan Eksekutif Solidaritas Perempuan, Armayanti Sanusi, menyebutkan catatan kritis solidaritas perempuan menemukan fakta bahwa, berbagai kebijakan iklim melalui proyek energi geotermal di Poco Leok, Nusa Tenggara Timur, Gunung Rajabasa Lampung, hingga Pembangkit Listrik tenaga Air (PLTA) Poso Energi di Sulawesi Tengah telah memperluas diskriminasi dan marginalisasi terhadap perempuan.
Penghancuran ruang kelola perempuan dan peminggiran peran perempuan di dalam pengelolaan sumberdaya alam mengorbankan perempuan dan menciptakan pemiskinan struktural.
“Saat perempuan dan masyarakat memperjuangkan ruang kelola mereka justru dikriminalisasi, diintimidasi bahkan melakukan kekerasan yang menyasar perempuan,” ujarnya.
Direktur Yayasan Penguatan Lingkar Belajar Komunitas Lokal (Pikul), Torry Kuswardono, menyebutkan kondisi politik minim oposisi kali ini akan menjauhkan Indonesia dalam penanganan krisis iklim. Padahal selama ini krisis iklim mendudukkan kelompok rentan meliputi disabilitas, nelayan kecil dan tradisional, buruh tani, perempuan, masyarakat adat, kelompok miskin perkotaan, serta buruh, mengalami kehilangan, kerusakan, dan beban berlapis akibat krisis iklim.
Aksi damai Greenpeace Indonesia menjelang pelantikan Prabowo Gibran sebagai Presiden-Wakil Presiden RI 2024-2029. Foto: Greenpeace Indonesia
Terpisah, pada Jumat lalu (18/10/2024), Greenpeace Indonesia menggelar aksi damai kreatif berupa proyeksi video di bilangan Jakarta Pusat. Mereka mengajak publik untuk terus bersuara demi penyelamatan dan pemulihan lingkungan, demokrasi, dan HAM.
Greenpeace Indonesia menampilkan proyeksi video yang menunjukkan peta Indonesia dengan titik-titik lokasi terjadinya perusakan lingkungan. Deforestasi, perampasan hutan dan wilayah masyarakat adat, kebakaran hutan dan lahan gambut, pertambangan—mulai dari nikel, emas, batu bara, hingga pasir laut—serta pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara industri terlacak di seantero Indonesia.
Ketua Kelompok Kerja Politik Greenpeace Indonesia, Khalisah Khalid, menyebutkan meski tak bisa banyak berharap, masyarakat sipil perlu terus mengawasi pemerintahan Prabowo-Gibran.
“Kita perlu terus bersuara agar mereka menghentikan watak pembangunan ekstraktif yang merusak lingkungan hidup, melanggar HAM, dan merugikan masyarakat,” kata dia.
Greenpeace Indonesia mencatat selama satu dekade pemerintahan Presiden Jokowi, proyek-proyek berlabel hijau yang dijalankan pemerintahan sarat pelanggaran ekologis dan ketidakadilan, seperti yang terjadi di Pulau Rempang, Kepulauan Riau, dan Kalimantan Utara.
Kabinet yang dibentuk Prabowo-pun juga diduduki oleh orang-orang yang selama ini memiliki rekam jejak bermasalah dalam kebijakan lingkungan. Ada sejumlah nama lain dalam bursa kandidat anggota kabinet Prabowo yang juga ditengarai memiliki konflik kepentingan dalam pengelolaan sumber daya alam.