LIPUTAN KHUSUS:

Legasi PSN Jokowi Ancam 8000 KK Nelayan: Surabaya Waterfront Land


Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Nelayan di pesisir Utara Surabaya terancam kehilangan mata pencarian akibat rencana reklamasi pantai seluas 1.184 hektare, yang menyasar Kenjeran sampai Pantai Timur.

Kelautan

Rabu, 23 Oktober 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Ruang hidup nelayan di Surabaya, Jawa Timur (Jatim), terancam perampasan atas ruang laut (ocean grabbing) dalam bentuk reklamasi berkedok proyek strategis nasional (PSN). Diperkirakan ada sekitar 8 ribu kepala keluarga (KK) nelayan terancam akan kehilangan pekerjaan karena proyek peninggalan Rezim Jokowi ini.

Proyek reklamasi dimaksud terpampang dalam Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Permenko) Nomor 6 Tahun 2024 yang berisi 14 PSN baru. Salah satu isi Permenko itu menjelaskan tentang pengembangan kawasan pesisir terpadu Surabaya Waterfront Land (SWL).

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jatim menemukan pengembang utama proyek SWL ini adalah PT Granting Jaya, yang merupakan pengelola Kenjeran Park. Adapun total luasan proyek SWL di pesisir Utara Surabaya yakni 1.184 hektare, yang menyasar Kenjeran sampai Pantai Timur Surabaya.

Direktur Eksekutif Walhi Jatim, Wahyu Eka Styawan, mengatakan proyek SWL terbagi menjadi 4 blok, meliputi blok A seluas 84 hektare, blok B 120 hektare, blok C 380 hektare, dan blok D 500 hektare. Luasan 1.080 hektare dari 1.184 hektare yang direncanakan, akan dibuat pulau buatan.

Para nelayan Surabaya menyampaikan penolakannya atas rencana reklamasi pantai utara Surabaya. Foto: Tunas Hijau

"Dalam proses reklamasi juga membutuhkan material tambang berupa pasir atau sejenisnya dalam jumlah sangat besar. Setiap 1 hektare reklamasi membutuhkan 632.911 meter kubik pasir. Dapat dibayangkan jika menguruk laut seluas 1.080 hektare itu berapa total meter kubik pasir yang dibutuhkan," kata Wahyu, Selasa (22/10/2024).

Hal tersebut, lanjut Wahyu, berpotensi dalam meningkatkan praktik penambangan pasir darat seperti di Penanggungan-Pasuruan yang mencemari udara karena melepaskan debu dalam jumlah besar, begitu pula dengan pengerukan pasir laut untuk menyokong kebutuhan reklamasi.

Wahyu mengatakan, wacana proyek tersebut menuai aksi penolakan keras dari masyarakat pesisir Surabaya, yang merupakan nelayan, karena dianggap mengancam ekosistem pesisir dan laut. Para nelayan cemas kehilangan zona tangkapan ikan yang dijadikan sebagai tempat reklamasi.

Aktivitas menguruk material pasir, imbuhnya, juga menimbulkan pencemaran air laut secara ekstrem, berdampak buruk pada penurunan kualitas sampai kerusakan ekosistem laut. Hal ini juga membuat ikan-ikan yang hidup tidak mau tinggal lagi dan pergi meninggalkan perairan tersebut.

"Dampak lain dari proyek tersebut juga akan meningkatkan risiko penurunan muka tanah lebih cepat terutama di wilayah pesisir. Hal ini dapat terjadi karena pusat pariwisata dan hunian akan semakin membebani wilayah Pesisir Surabaya Utara," ujarnya.

Wahyu melanjutkan, wilayah tersebut akan semakin rentan dari ancaman banjir rob. Sementara, keberadaan pulau-pulau itu belum tentu menjamin jika wilayah permukiman pesisir akan terbebas dari ancaman tersebut. Di sisi lain habitat mangrove di pantai timur Surabaya yang luasannya terus merosot sejak masa Orde Baru karena akhir-akhir ini ada upaya ekspansi real estate besar kemungkinan akan terancam.

Hal ini, sambung Wahyu, menandakan bahwa reklamasi merupakan cara ampuh untuk merusak ekosistem pesisir dan laut. Dampak tersebut tidak hanya nelayan yang merasakan, warga yang hidup di tengah kota dan jauh dari pesisir juga akan berpotensi terdampak.

Wahyu menuturkan, berdasarkan informasi yang Walhi Jatim himpun, jika reklamasi pulau D dilakukan maka akan berdampak buruk pada penyumbatan 9 saluran air dari seluruh Surabaya, sehingga tidak dapat keluar menuju laut. Dengan kata lain, hal ini membuat Surabaya menjadi semakin rentan dari banjir.

"Kehadiran proyek tersebut tentu menjadi mimpi buruk bagi nelayan. Mereka secara langsung merasakan dampak buruk jika reklamasi itu dilakukan. Lambat laun nelayan terpinggirkan dari ruang pesisir karena geraknya semakin terbatas," ucap Wahyu.

Dari sisi ekonomi, menurut Wahyu, nelayan juga akan mengalami kerugian besar seperti penghasilan semakin menurun karena hasil tangkapan ikan mereka berkurang drastis, bahkan kehilangan mata pencaharian menjadi keniscayaan jika kebebasan atas ruang laut ini dirampas untuk kepentingan reklamasi. Wahyu menyebut, diperkirakan kurang lebih 8 ribu KK nelayan dari 12 kampung pesisir akan kehilangan pekerjaan karena reklamasi.

"Di sini yang pasti mendapatkan keuntungan atas proyek tersebut adalah pemilik modal, bukan nelayan. Sementara itu yang menikmati aneka fasilitas mewah yang mahal nanti bukan nelayan, akan tetapi hanya segelintir orang dengan kemapanan ekonomi yang dapat mengakses ruang tersebut," katanya.

Wahyu mengungkapkan, dalam sebuah jurnal penelitian berjudul “Konflik dan Kontestasi Penataan Ruang Kota Surabaya”, yang dilakukan dengan menggunakan pendekatan sosio-spasial, diterangkan pula bahwa praktik reklamasi di Pantai Kenjeran dengan dalih kebutuhan ruang sepertinya tidak terpisahkan dari stigma terhadap pesisir yang dianggap sebagai kawasan tidak berguna, kosong, dan perlu dibangun supaya bermanfaat. Hal ini dapat dilihat dari rekam jejak proyek yang berlalu di Pantai Kenjeran untuk perluasan perumahan dan apartemen Laguna Indah begitu sarat akan kepentingan pengembang.

Padahal, Wahyu berpendapat, masih ada cara lain untuk memperbaiki kondisi ruang pesisir dan laut Surabaya Utara yang dapat dilakukan selain mengandalkan pembangunan fisik yang menghabiskan biaya besar. Seperti dengan melakukan upaya pemulihan untuk memperbaiki kualitas ekosistem tersebut yang masih tersedia, walaupun tidak dapat mengembalikan kondisi seperti sedia kala dan dalam prosesnya juga menghabiskan waktu cukup lama.

Lebih lanjut Wahyu mengatakan, upaya tersebut dapat menjadi solusi atas keberlanjutan bagi masyarakat pesisir dan nelayan, serta untuk menjawab berbagai tantangan soal isu lingkungan seperti krisis iklim global yang semakin parah dalam beberapa tahun terakhir. Akan tetapi, pemerintah di level pusat dan di level daerah seakan menutup mata atas kondisi pesisir dan laut.

"Dari segi regulasi juga dengan mudah diutak-atik dan diterbitkan oleh pemerintah, selain itu tidak ada keterbukaan atas informasi atau melibatkan masyarakat secara utuh menyangkut proyek reklamasi," ucapnya.

Tidak hanya itu, sambung Wahyu, untuk memenuhi hasrat dalam penguasaan ruang di wilayah pesisir Surabaya Utara juga ada glorifikasi secara berlebihan soal proyek reklamasi di media sosial yang diklaim meningkatkan ekonomi nelayan. Padahal proyek tersebut justru akan berpotensi mempertebal kesenjangan sosial antara Surabaya dan daerah-daerah lain di Jawa Timur, serta mencederai nelayan lokal yang saat ini tidak berkutik oleh wacana reklamasi.

Wahyu menambahkan, penetapan proyek tersebut juga dinilai cacat regulasi oleh sebagian pakar karena melanggar peraturan-peraturan sebelumnya,  seperti Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Jawa Timur Nomor 10 Tahun 2024 tentang Rencana Tata Ruang (RTRW) Provinsi Jawa Timur Tahun 2023-2043, dan Perda Kota Surabaya Nomor 12 Tahun 2014 tentang RTRW Kota Surabaya Tahun 2014-2034.