LIPUTAN KHUSUS:

Rencana Presiden Suntik Mati PLTU Batu Bara Butuh Peta Jalan


Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Upaya mitigasi emisi gas rumah kaca sampai 2050 perlu kontribusi dari PLTU batu bara on-grid sebesar 68% dan sisanya dari off-grid.

PLTU

Senin, 25 November 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Pemerintah perlu segera menetapkan peta jalan pengakhiran dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara. Menurut Institute for Essential Services Reform (IESR), roadmap ini dibutuhkan sebagai acuan untuk menemukan dan mengembangkan solusi, mengantisipasi risiko, dan mendorong kolaborasi antarlembaga pemerintahan dan institusi finansial.

Diketahui, dalam KTT G20 di Rio de Janeiro, Brasil, pekan lalu, Prabowo mengatakan akan menghentikan operasional pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara dalam 15 tahun ke depan. Prabowo juga optimistis Indonesia bisa mencapai target karbon netral sebelum 2050. Hal ini juga disampaikan saat Prabowo menghadiri forum APEC CEO Summit di Peru seminggu sebelumnya.

 

Menurut Institute for Essential Services Reform (IESR) pada awal November, PLTU batu bara merupakan kontributor emisi signifikan sehingga strategi pengakhiran dini PLTU batu bara akan mempercepat pengurangan emisi. Peraturan Presiden (Perpres) 112/2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik sendiri telah membatasi pembangunan PLTU baru, kecuali di sektor industri dan PLTU yang sudah dalam perencanaan.

Analisis IESR menunjukkan agar selaras dengan target pembatasan suhu bumi 1,5 derajat Celcius dalam Persetujuan Paris maka sektor energi perlu mencapai nol emisi pada 2050. Dengan pertimbangan kapasitas, umur aset, serta kebutuhan energi yang berbeda antara PLTU batu bara dalam jaringan PLN (on grid) yang lebih tua, dengan PLTU di luar jaringan (captive) yang lebih muda, maka upaya mitigasi emisi sampai 2050 perlu dikontribusikan dari PLTU batu bara on-grid mencapai 68% dan sisanya dari off-grid

Penampakan PLTU Suralaya di Cilegon, Banten dari udara. Sektor energi, seperti industri kelistrikan yang menggunakan batu bara serta pemanfaatan hutan dan penggunaan lahan (FOLU) merupakan sektor penyumbang emisi terbesar Indonesia. Dok Kasan Kurdi/Greenpeace

Manajer Program Transformasi Sistem Energi IESR, Deon Arinaldo, menyebut Pemerintah Indonesia masih berfokus pada pemanfaatan amonia dan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (carbon capture storage, CCS) mitigasi emisi PLTU batu bara. Deon menilai strategi tersebut perlu mempertimbangkan potensi kenaikan biaya listrik, keterbatasan kematangan teknologi CCS dalam penyerapan karbon, serta persaingannya dengan kebutuhan lain (ammonia untuk kebutuhan industri).

“Sebagian besar PLTU on-grid saat ini berumur sekitar 20 tahun, sedangkan PLTU captive rata-rata berumur sekitar 10 tahun. Oleh karena itu, strategi intervensi lebih mudah diterapkan pada PLTU on-grid,” kata Deon, dalam paparannya pada sesi “Unlocking the Indonesia Coal Retirement Roadmap” di Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2024 pada 5 November 2024.

Lebih lanjut Deon menuturkan, berdasarkan analisis IESR, strategi pengakhiran dini PLTU batu bara untuk on-grid dan captive harus berbeda. Untuk PLTU on-grid, perlu dipertimbangkan kapasitas dan stabilitas listrik (aspek teknis) serta ketersediaan investasi. Sebagian PLTU on-grid bisa dihentikan operasinya, sementara sisanya dioperasikan secara fleksibel.

“Untuk PLTU captive/off-grid yang bisa digantikan energi terbarukan mencapai 26 persen dan sisanya dapat menggunakan bahan bakar bersih sebagai solusi sementara hingga solusi jangka panjang, seperti integrasi dengan jaringan PLN, tersedia,” ujarnya.

IESR, imbuhnya, mendorong pemerintah untuk segera menetapkan peta jalan pengakhiran dini PLTU batu bara dengan mempertimbangkan, yang pertama, memastikan komitmen politik dan kepemimpinan kuat yang dipimpin langsung oleh presiden karena pengakhiran PLTU belum pernah diterapkan di Indonesia. Kedua, solusi yang beragam untuk memitigasi dan mendistribusi potensi dampak negatif pada berbagai aktor seperti PLN, pemilik PLTU dan pekerja.

Ketiga, memperjelas kebutuhan pendanaan dan target PLTU yang memerlukan bantuan dana dari pemerintah Indonesia dan internasional terutama untuk eksekusinya. Keempat, memperkuat kolaborasi antara pemerintah, institusi keuangan, dan swasta untuk menemukan solusi inovatif.

“Penerapan peta jalan pengakhiran dini PLTU dan implementasinya di Indonesia membutuhkan panduan komitmen yang besar, bahkan kepemimpinan tertinggi yakni presiden republik Indonesia, dapat memberikan penugasan yang jelas agar menjadi prioritas serta dasar kolaborasi antara kementerian terkait dengan aktor utama lainnya,” ucap Deon.

Soal pembiayaan, IESR menganalisis untuk mempercepat transisi energi diperlukan investasi sekitar USD20-40 miliar per tahunnya hingga 2050. Sementara, rata-rata investasi publik untuk energi terbarukan per tahunnya di bawah USD2 miliar dalam periode 2017-2023. Pada 2022, pembiayaan energi terbarukan dari swasta terpantau meningkat di angka Rp26 triliun atau USD1,7 miliar pada 2022.

Analis Keuangan dan Ekonomi IESR, Putra Maswan,  menyebut bahwa pendanaan publik sangat penting untuk menarik pendanaan swasta yang masih menghadapi risiko tinggi karena transisi energi merupakan pasar baru. Selain itu, ia menambahkan, IESR telah melakukan evaluasi terhadap Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 103/2023 sebagai dasar alokasi APBN untuk mendukung pengakhiran operasi PLTU lebih awal.

“Hasilnya, PMK ini dinilai ‘kuat’ dalam aspek hukum, namun berada di kategori ‘sedang’ untuk tata kelola, sumber pendanaan, serta kerangka pemantauan dan evaluasi,” ujar Putra. 

Untuk memperjelas tata kelola PMK No. 103/2023, IESR merekomendasikan empat hal. Pertama, peraturan ini harus memberikan panduan jelas terkait implikasi anggaran. Kedua, pemerintah perlu meningkatkan transparansi publik untuk Platform Transisi Energi. Ketiga, pemerintah harus memperkuat kerangka regulasi pasar. Keempat, mendukung pengembangan kapasitas kelembagaan.