LIPUTAN KHUSUS:

COP29: Menyigi Komitmen Indonesia


Penulis : Syahrul Fitra, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia

Hashim Djojohadikusumo, Ketua Delegasi Indonesia pada COP29 di Baku, membuka Paviliun Indonesia dengan pidato yang meyakinkan. Namun, bagaimana realitas di lapangan?

OPINI

Rabu, 13 November 2024

Editor : Yosep Suprayogi

DALAM pidato pembukaannya, Hashim memperkenalkan diri sebagai saudara Presiden Prabowo yang ditunjuk khusus untuk mewakili Indonesia karena komitmen dan semangatnya di bidang lingkungan. Pendekatan personal ini efektif mendekatkan pembicara dengan pendengar dan menarik perhatian. 

Presiden tampaknya tidak salah memilih Ketua Delegasi. Pidato Hashim lebih berbobot dibandingkan dua menteri sebelumnya yang tampak kurang menguasai materi. Namun, perlu dicatat, penunjukkan Hashim ada bentuk nyata nepotisme. Padahal, Presiden bisa saja memilih pihak lain yang tidak berkerabat dengan dia.


Sebagai Utusan Khusus Presiden untuk COP29, Hashim menegaskan keseriusan Indonesia dalam mendukung berbagai komitmen yang telah disepakati sebelumnya. Di antara komitmen tersebut—termasuk energi, penyimpanan karbon, dan reforestasi—terdapat pernyataan yang jarang disampaikan pemerintah dalam pidato-pidato sebelumnya.

Hashim menegaskan bahwa Indonesia tidak akan menerapkan pendekatan monokultur dalam kegiatan pemulihan lingkungan, melainkan akan melibatkan ratusan hingga ribuan spesies tanaman. Ia juga menekankan pentingnya satwa liar, termasuk untuk mendukung kebutuhan pangan. Hashim berkata, "Populasi satwa liar yang sehat di dalam hutan penting dan diperlukan untuk keberlanjutan hutan. Ketika Anda melihat hutan tanpa satwa liar, Anda tahu bahwa Anda sedang melihat hutan yang mati, hutan yang sekarat." Pernyataan ini sangat menjanjikan.

Bendera KTT iklim COP29, yang digelar di Baku, Azerbaijan, 11-22 November 2024. Dok. Baku Network

Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang luar biasa, namun banyak spesies tumbuhan dan satwa liar yang kini terancam punah. Menurut data International Union for Conservation of Nature (IUCN) tahun 2021, Indonesia memiliki 170 spesies flora dan 189 spesies fauna yang berstatus Kritis Terancam Punah (Critically Endangered). Dari 189 fauna tersebut, 26 spesies merupakan mamalia, 29 spesies burung, 11 spesies reptil, dan 3 spesies amfibi. ​​

Selain itu, laporan dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa jumlah satwa terancam punah di Indonesia mencapai 1.217 spesies hingga 4 Oktober 2022. Jumlah ini setara dengan 2,94% dari total hewan terancam punah di dunia yang sebanyak 41.338 spesies. Dari jumlah tersebut, terdapat 366 spesies ikan di Indonesia yang terancam mengalami kepunahan. ​​

Nampak ekskavator sedang beraktivitas di kawasan ektensi food estate Desa Palingkau Jaya, Kapuas.

Sementara itu, laju deforestasi di Indonesia masih tinggi dari tahun ke tahun dan semakin mengkhawatirkan jika kita melihat potensi atau rencana deforestasi yang ada. Setiap tahun, lebih dari dua ratus ribu hektare hutan alam hilang. Ada jutaan hektare lagi di dalam area konsesi sawit dan akasia yang dapat dibabat kapan saja. Bahkan, beberapa perusahaan yang terlibat berkelindan dengan orang-orang di lingkar Presiden, termasuk Hashim.

Dua sektor tersebut telah lama menjadi ancaman bagi hutan alam. Jika Utusan Khusus Presiden menyatakan bahwa pemerintah menawarkan solusi baru, pendekatan baru yang merusak pun juga muncul: proyek ketahanan pangan skala besar yang disebut food estate. Proyek ini telah menghancurkan puluhan hingga ratusan ribu hektare hutan alam yang menjadi habitat satwa liar dan ruang hidup masyarakat adat, baik di Kalimantan maupun Papua. Dan terdapat jutaan hektar lagi yang direncanakan untuk dihancurkan.

Pemerintah tentu memahami konsekuensi lingkungan dan sosial dari proyek ini. Berulang kali, Ketua Delegasi Indonesia untuk COP29 menyebut ilmu pengetahuan sebagai acuan. Bukti ilmiah yang ada menunjukkan bahaya dari pertanian atau industri pangan skala besar terhadap iklim dan biodiversitas. Bahkan, IPCC menyebut sektor pertanian menyumbang sekitar 10-12% dari emisi global. 

Bahkan sebelum jadi Presiden, Prabowo telah memimpin satu proyek pangan yang merusak hutan dan gagal di Kalimantan Tengah. Proyek ini juga membawa petaka bagi penduduk lokal, karena mengakibatkan banjir. Peristiwa yang tidak pernah terjadi sebelumnya.

Kehadiran di konferensi iklim tahunan bukan forum untuk promosi. Kita menghadapi krisis yang membahayakan planet ini. Situasi di lapangan semakin nyata: banjir, kekeringan, kebakaran, dan cuaca ekstrem yang sebelumnya jarang terjadi kini menjadi kenyataan.

Proyek pangan skala besar yang diusung pemerintah hanya akan mempercepat hilangnya hutan alam yang beralih fungsi menjadi perkebunan monokultur. Di Papua, lahan yang dibuka untuk proyek pangan direncanakan juga untuk kebun sawit dan tebu. Hal ini jelas tidak sejalan dengan pernyataan yang disampaikan di Paviliun Indonesia di Baku, Azerbaijan.

Dengan teknologi saat ini, kita dengan mudah dapat melihat luasnya hutan yang hilang di Papua atau daerah lainnya untuk proyek pangan ini. 

Bukan berarti kita tidak butuh kemandirian pangan, tetapi pendekatan yang berbahaya ini harus dihindari dan dihentikan. 

Kerentanan pangan, bahkan krisis pangan, terjadi karena perubahan iklim dan ekosistem akibat pemanasan global. Banyak komoditas yang sebelumnya tumbuh subur di suatu wilayah kini membutuhkan intervensi pupuk kimia dalam jumlah besar. Di sisi lain, pupuk kimia berdampak buruk pada ekosistem dan iklim karena melepaskan gas metana dalam jumlah besar.

Siklus ini akan terus berulang dan memburuk jika pertanian skala besar tetap dipilih sebagai solusi. Indonesia memiliki pengetahuan bertani yang lebih ramah lingkungan. Banyak komoditas lokal yang bisa tumbuh tanpa pupuk kimia. Sayangnya, solusi berbasis pengetahuan lokal dan keragaman pangan ini belum banyak dilirik pemerintah.

Kita tidak cukup hanya berwacana di forum global. Dibutuhkan komitmen konkret. Masih ada waktu bagi pemerintah untuk meninjau ulang proyek-proyek yang sedang atau akan dijalankan.​​

Solidaritas Merauke yang terdiri dari perwakilan warga Merauke dan beberapa kelompok masyarakat sipil.