LIPUTAN KHUSUS:
Rumah Plastik di Holtekamp
Penulis : Wangi Tafakkur dan Mega Puspita Sari, PAPUA SISTA LEADERSHIP
Ini kisah semilir angin pantai di ujung timur Indonesia dan debu batu bara yang mengotorinya.
PLTU
Kamis, 14 November 2024
Editor : Yosep Suprayogi
PANTAI Holtekamp yang sering digunakan sebagai sarana untuk sekedar melepas penat menjadi destinasi wisata dengan pemandangan laut yang tenang dan memanjakan pengunjung. Tidak mengherankan jika banyak masyarakat di Kota Jayapura yang menjadikan Pantai Holtekamp sebagai salah satu tujuan wisata ketika berlibur.
Tetapi di balik ketenangan yang diberikan oleh Pantai Holtekamp, terdapat berbagai macam permasalahan sosial yang belum banyak diketahui.
Walau tampak megah dan fungsional, bangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang ada di ujung pantai Holtekamp menyimpan kontradiksi, yaitu soal dampak buruk pada kelestarian alam dan keberlangsungan hidup masyarakat sekitarnya.
Kampung Holtekamp terbagi dalam 3 rukun warga (RW). Lokasi pemukiman RW 1 dan RW 2 terletak lebih jauh ketimbang RW 3, yang berdekatan langsung dengan lokasi PLTU. Masyarakat kampung yang terdiri dari 119 kepala keluarga ini berasal dari beragam suku, mulai dari Serui, Ambon, Biak, Jawa, Sorong, Sarmi, bahkan dari Tanah Merah. Sedangkan masyarakat asli berasal dari Skouw, marganya Patipeme.
Bermukim tepat di sebelah PLTU membuat masyarakat setempat perlahan-lahan merasakan imbas dari aktivitas pembakaran PLTU. Serupa dengan membakar sampah, yang akan menghasilkan banyak partikel berupa debu. Bedanya, yang ini jauh lebih berbahaya. Debu berwarna pekat kehitaman itu mengancam hidup manusia.
Debu yang dihasilkan dari pembakaran batu bara sebagai bahan utama PLTU menimbulkan berbagai macam masalah kesehatan terhadap masyarakat Kampung Holtekamp. Masyarakat sudah mengeluhkan rasa sakit pada organ pernapasan dan gatal-gatal pada kulit. Ibu hamil dan anak-anak berpotensi mengalami risiko berlipat.
Partikel debu yang beterbangan bak salju tebal, yang dapat menutupi area rumah warga. Mereka mengadu.
“Kalau kita sapu teras rumah tuh debu hitam full,” ujar Theresia (bukan nama sebenarnya) yang tinggal bersebelahan dengan PLTU.
Bukan hanya di teras rumah saja, debu-debu ini melekat pada sisi bangunan dan perlengkapan rumah tangga, seperti dalam tong penampungan air. Masyarakat harus menunggu sampai debu batu bara mengendap ke dasar bak penampungan, sehingga kemudian air dapat digunakan.
“Sekarang ini kita sudah tra bisa tadah air hujan buat pake lagi, karena debu batu bara su ada dimana-mana, bahkan tong pu genteng rumah juga sampai su hitam, jadi kalau tampung air juga sama saja kotor,” ujar warga lainnya, Mama Tinarma.
Selain mengganggu kesehatan dan aktivitas keseharian, masyarakat setempat juga merasakan perubahan lain yang disebabkan oleh PLTU. Mereka menilai bahwa kehadiran PLTU pelan-pelan mengurangi sumber mata pencaharian mereka di laut, sebab sebagian masyarakat menggantungkan hidup dengan mencari hasil laut, seperti ikan dan kerang untuk dijual dan dikonsumsi. Namun seiring berjalannya waktu, mereka mengamati proses pembuangan limbah kotor dari PLTU yang mengalir bebas ke laut sehingga membuat mereka semakin khawatir dan takut efek berkepanjangan jika mengkonsumsi hasil laut dari setempat. Mereka lantas memilih untuk membeli ikan yang dipasarkan di Hamadi.
Para nelayan ikut menderita, karena semakin susah mendapatkan ikan dan kerang. Tidak seperti sebelum PLTU dibangun, lebih mudah. Jika sudah seperti ini, maka mereka harus berlayar lebih jauh untuk mendapatkan hasil tangkapan.
“Dulu itu kalau Mama mau cari ikan deng bia (kerang) gampang saja, biar di pinggir pantai sini juga bisa dapat ikan berenang atau dayung sedikit saja langsung dapat, tapi sekarang mama dong harus dayung sampai ke tengah laut dari pagi sampe sore. Itu pun kadang trada ikan sama sekali, ikan dong su kabur,” ujar mama Tinarma, yang masih mencari ikan di laut.
Menyadari dampak dari debu batu bara yang berbahaya, warga mencari berbagai upaya dalam menghadapi situasi ini. Ada rumah yang terpaksa ditutup plastik. Ada warga yang tak membiarkan barang-barang dalam keadaan terbuka, meski di dalam rumah.
Theresia, misalnya, harus membeli kain lebar untuk menutupi seluruh peralatan makan agar tidak terkena debu batu bara. “Ini kita taruh barang di sini, kita tutup. Tapi sebentar pas kita kas oles tangan sedikit pasti su kelihatan berdebu, makanya kalo mau pakai barang kita cuci lagi dulu,” katanya sambil menunjuk salah satu panci yang sedang digantung dan diselimuti oleh abu.
Jelaga batu bara di PLTU Holtekamp, Jayapura (Wangi Tafakur, PD Institute)
PLTU Holtekamp
PLTU Holtekamp diketahui mulai beroperasi sejak tahun 2011 silam sampai sekarang. PLTU yang berkapasitas 2 x 10 Megawatt (MW) ini menghabiskan batu bara 10.000 metrik ton, setara dengan 10.000.000 kilogram, per bulannya. Bukan hanya letaknya yang berada tepat di tepi bibir pantai, PLTU ini dibangun berdekatan dengan pemukiman masyarakat Kampung Holtekamp, terkhususnya di RW 3. Letaknya yang hanya berjarak sekitar 200-300 meter dari rumah warga. Tak ayal, setiap hari mereka terus menatap dan menghirup partikel debu batu bara yang keluar melalui cerobong PLTU.
Meskipun di awal pembangunan pihak pemerintah kota dan pihak PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) memberikan sosialisasi tentang rencana pembangunan sebuah PLTU di Kampung Holtekamp, sebagian masyarakat tidak mengetahuinya. Mereka sekedar mendengar informasi dari mulut ke mulut.
“Cuma pas kita tinggal kita lihat, ohh itu ada pembangunan,” ujar mama Marlina (bukan nama sebenarnya).
Ferry A. Mansi, Sekretaris Kampung Holtekamp, membenarkan bahwa pihak PLTU mengadakan sosialisasi untuk proses pembangunan PLTU, namun pihak berwenang luput menjelaskan dampak yang akan dihasilkan dari PLTU. Hal ini membuat masyarakat mempertanyakan dampak yang ditimbulkan dari pembuangan limbah yang dialirkan langsung ke laut dan partikel debu dari pembakaran batu bara yang mengudara bebas.
Indonesia ikut meratifikasi perjanjian internasional untuk energi terbarukan, yaitu Paris Agreement melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016. Namun sampai saat ini PLN masih menggunakan batu bara sebagai bahan utama dalam proses menghasilkan sumber energi, bahkan masih menjadi andalan negara dalam memenuhi kebutuhan energi. Hal tersebut disampaikan oleh Ketua Umum Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI) yakni Arthur Simatupang dalam wawancara dengan CNBC Indonesia. Menurutnya, harga listrik dari Energi Baru Terbarukan (EBT) saat ini belum bisa menyaingi harga listrik dari PLTU berbasis batu bara yang terbilang lebih murah. Akan tetapi, bahan yang diandalkan tersebut justru membawa bencana yang harus ditanggung oleh masyarakat di Kampung Holtekamp.
Dalam liputan khusus dari Betahita.id (2021), dijelaskan bahwa batu bara mengandung berbagai jenis unsur racun, termasuk logam berat dan radioaktif. Hasil dari pembakaran batu bara PLTU bisa menghasilkan Fly Ash dan Bottom Ash (FABA) atau abu padat, dan ketika batu bara dibakar maka racun yang terkandung di dalam batu bara akan terkonsentrasi pada hasil pembakarannya, berupa abu terbang dan abu padat.
Polusi dan FABA yang dihasilkan dapat mencemari lingkungan secara keseluruhan, termasuk laut. Hal ini mengancam segala macam ekosistem di perairan dan ketersediaan air bersih. Polutan berbahaya seperti arsenik dan bahan kimia beracun lainnya tidak dapat larut dan mengendap dalam air dan tanah sehingga amat beresiko mengancam kesehatan masyarakat.
Berbanding terbalik dengan melihat dampak yang dihasilkan dari FABA batu bara ini. Dalam siaran pers yang disampaikan, PT PLN mengakui bahwa pihak PLN juga telah melakukan pengelolaan dan pemanfaatan abu padat di PLTU Holtekamp di Jayapura, Papua. Sepanjang tahun 2023 hingga Mei 2024, sebanyak 13.943 ton berhasil diolah menjadi bahan baku bangunan.
Adanya PLTU bisa memberikan dampak positif berupa akses lapangan pekerjaan dan tersedianya aliran listrik untuk masyarakat. Namun, sama halnya dengan banyak sumber energi tak terbarukan lainnya, justru penggunaan industri berbahan batu bara memiliki dampak negatif yang signifikan dan berbahaya, berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat sekitar.
Meskipun pada awalnya tidak mendapatkan sosialisasi mengenai bahaya serta dampak dari PLTU ini, namun seiring berjalannya waktu masyarakat setempat bisa melihat dan merasakan langsung dampak-dampak signifikan ini. Tinarma, yang sudah cukup lama menetap di Kampung Holtekamp merasakan langsung dampak yang ditimbulkan dari PLTU.
“Dulu pikir bagus, ini dibangun untuk kepentingan untuk seluruh Papua, jadi orang senang kalo ada PLTU dekat ini kita tidak susah dengan lampu. Ternyata begini lama-kelamaan mulai lihat dampaknya jelek sekali, kurang bagus untuk masyarakat,” ujar Tinarma.
Harapan Warga
"Mending perusahaan ini tutup saja sudah, daripada kita yang terus-terusan menderita begini," salah seorang warga yang tinggal tepat di seberang PLTU mengungkapkan keluhannya. Dampak negatif yang telah dirasakan masyarakat, ujarnya, perlahan-lahan membuat mereka jenuh akan keberadaan PLTU. Sebagian dari mereka juga justru berharap bahwa PLTU ini segera dipindahkan ke tempat lain atau bahkan ditutup saja.
Dari berbagai macam dampak kerugian yang terus-menerus dirasakan oleh masyarakat, tampak jelas bahwa mereka memiliki harapan yang besar untuk perbaikan di masa depan.
Rasa frustasi dan ketidakpuasan tidak hanya disebabkan oleh operasional dari PLTU, tetapi juga oleh ketidakpedulian pihak perusahaan dalam menanggapi keluhan yang telah diajukan oleh warga selama ini. Masyarakat merasa sangat kecewa karena PLTU tampaknya tidak memberikan tindak lanjut yang memadai untuk menangani masalah yang mereka laporkan. Mereka menilai bahwa jika sebuah perusahaan ingin beroperasi, mereka seharusnya ikut memperhatikan dampak buruk yang ditimbulkan terhadap masyarakat sekitar. Selama ini, pihak PLTU dinilai tidak memberikan perhatian khusus yang cukup dan tindakan yang diambil dirasa tidak memadai. Dari berbagai macam kerugian yang terjadi secara berkelanjutan bagi masyarakat, tentunya banyak harapan lebih baik untuk kedepannya.
“Kalau dong mau bangun perusahaan berarti dong harus perhatikan masyarakat yang kena dampak buruk dari PLTU ini,” kata Mama Marlina.
Pihak PLTU dan pihak pemerintahan setempat bekerja sama dalam memberikan akses pemeriksaan kesehatan gratis setiap 3-6 bulan, namun masyarakat setempat merasa bahwa pemeriksaan tersebut kurang maksimal. Sebab, hanya meliputi pemeriksaan dasar, seperti tes malaria, kolesterol, batuk, dan pilek. Pemeriksaan dasar ini tidak kontekstual dengan situasi di Holtekamp, masyarakat butuh lebih lanjut.
Mereka berpendapat, seharusnya pemeriksaan kesehatan juga harus dilakukan mendalam dan fokus pada bagian tubuh yang paling terkena dampaknya, seperti pada sistem pernapasan dan gangguan kulit, untuk memastikan bahwa masalah kesehatan yang timbul benar-benar terdeteksi dan ditangani dengan baik. Kekecewaan ini mencerminkan ketidakpuasan mendalam dari masyarakat yang merasa hak dan kesejahteraan mereka tidak diperhatikan secara serius.
Sebagian masyarakat Kampung Holtekamp memiliki harapan lainnya.
“Tidak apa-apa kalau misalnya perusahaan mau tetap beroperasi, tetapi mereka harus bisa cepat tanggap untuk merespon keluhan masyarakat yang dihasilkan dari dampak buruk PLTU itu,” ungkap mama Marlina.
Sebagai upaya dari pihak PLTU untuk memperhatikan kesejahteraan warga yang tinggal di sekitar area, pihak PLTU memberikan program bantuan. Salah satu bentuk bantuan yang diberikan adalah distribusi 10 galon air bersih kepada warga, yang dilakukan secara rutin setiap tiga bulan sekali melalui Bamuskam. Bantuan ini bertujuan untuk memastikan kebutuhan air bersih warga tetap terpenuhi. Namun bantuan 10 galon air bersih dinilai masih kurang cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Mereka harus membeli lagi air bersih secara pribadi.
Masyarakat Kampung Holtekamp telah mencoba berbagai cara untuk menyesuaikan diri dengan situasi ini. Akan tetapi langkah pemerintah serta pihak PLTU masih bersifat sementara dan belum menyentuh akar masalah yang sebenarnya. Masyarakat berharap bahwa ada tindakan lebih konkret dan menyeluruh untuk melindungi mereka dari bahaya yang terus-menerus mengancam. Mereka berharap ada solusi yang adil dan berkelanjutan tanpa mengorbankan hak-hak dan kehidupan di wilayah Holtekamp.
*) Papua Sista Leadership adalah platform jaringan kepemimpinan bagi perempuan muda Papua yang diinisiasi Papua Democratic Institute (PD-Institute) dan didukung oleh Yayasan Humanis.