LIPUTAN KHUSUS:
CO29: Peningkatan Pendanaan Iklim Percuma Jika Tak Tepat Sasaran
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Kualitas dan ketepatan pembiayaan lebih penting daripada kuantitas.
Iklim
Jumat, 15 November 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Bank Dunia berkomitmen meningkatkan pendanaan iklim melalui MDB (Multilateral Development Banks). Namun, Trend Asia menilai kualitas dan ketepatan pembiayaan lebih penting daripada kuantitas. Pendanaan, menurut organisasi masyarakat sipil ini, seharusnya peka pada dampak sosial, minim aspek utang, dan MDB sendiri harus bersih dari energi fosil.
Trend Asia beranggapan, meski pendanaan ditingkatkan, efektivitas pendanaan iklim lebih penting dari sekadar kuantitas. Karena MDB memainkan peran penting dalam pendanaan aksi iklim, mereka harus berfokus pada dua prioritas utama.
Yang pertama, penyelarasan penuh dengan Perjanjian Paris, yang mana semua pendanaan harus sepenuhnya selaras dengan tujuan Perjanjian Paris, yakni beralih dari bahan bakar fosil menuju sumber energi terbarukan. Yang kedua, pendanaan konsesional (di bawah biaya pasar) dan non-utang, pendanaan MDB tidak boleh membebani negara-negara berkembang dengan utang tambahan.
Trend Asia menguraikan, tanggung jawab utama pendanaan iklim terletak pada negara-negara kaya yang telah berkontribusi paling besar terhadap krisis iklim. Mereka harus meningkatkan upaya untuk memenuhi kewajiban mereka.
Menurut Trend Asia, butuh pendanaan iklim triliunan dolar di negara-negara di belahan bumi selatan untuk mengatasi krisis iklim, mengeluarkan masyarakat dari kemiskinan, serta mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Pendanaan berbentuk utang juga harus dihindari, mengingat banyak negara yang telah menghadapi krisis utang.
Masalahnya, riset yang dikeluarkan oleh Recourse, Trend Asia, dan 17 organisasi lain menunjukkan bahwa pendanaan MDB sejauh ini belum mengalir ke proyek-proyek yang tepat. Eropa menerima hampir separuh (44%) pendanaan, sementara Asia-Pasifik hanya mendapat 21% dan Afrika Sub-Sahara memperoleh kurang dari 14%.
Pendanaan juga masih dicurahkan pada proyek bermasalah, termasuk proyek beremisi tinggi dan berpolusi seperti pembakaran sampah, tenaga air skala besar, pertambangan mineral kritis, hidrogen, dan PLTU batu bara “captive” untuk industri. Pendanaan umumnya berbentuk pinjaman (70%), bukan hibah (4%), yang akan menambah beban negara yang sudah terjerat utang.
Pendanaan PLTA skala besar minim menimbang aspek keadilan sosial
Dalam konteks Indonesia, Bank Dunia atau World Bank (WB) dan Asian Development Bank (ADB) memiliki sejarah membiayai mega bendungan pembangkit air yang masih menyisakan kerugian masyarakat hingga saat ini. Sebagai bagian dari MDB, kedua bank pembangunan tersebut masih sangat aktif mendanai proyek-proyek skala besar lain di banyak tempat di Indonesia.
WB mendanai dan mendukung bantuan teknis Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Kedungombo dan Gajah Mungkur di Pulau Jawa, sementara ADB mendanai dan mendukung megaproyek PLTA Maninjau dan Singkarak di Pulau Sumatera. PLTA sering dibangun tanpa keterlibatan penuh masyarakat sekitar, sehingga menimbulkan kerugian berlapis dan diprotes hingga beberapa generasi. Hal ini terjadi di PLTA Jatigede yang sempat didanai WB sebelum dilepas karena masalah yang berlarut-larut.
PLTA Jatigede yang berlokasi di Kabupaten Sumedang, Jawa barat dibangun dari 1984 dan masih juga belum beroperasi hingga kini. Pembangkit ini telah menghilangkan kebudayaan asli Sumedang dan menghilangkan mata pencaharian warga sebagai petani tanpa ada relokasi tempat tinggal maupun penggantian pekerjaan.
Juru Kampanye Energi Terbarukan dari Trend Asia, Beyrra Triasdian, pembangunan PLTA skala besar seperti Jatigede, yang disebut solusi energi terbarukan, masih menyisakan tanda tanya besar. Apakah pendanaan iklim ini hanya mengedepankan keuntungan bisnis semata tanpa menyertakan masyarakat sebagai bagian dari korban bencana iklim?
“Obsesi MDB pada proyek skala besar dapat mengancam masyarakat dan merusak lingkungan. Seharusnya, pelibatan publik dikedepankan agar pendanaan energi benar-benar ditujukan untuk masyarakat dan bukan untuk keuntungan,” kata Beyrra, dalam sebuah rilis, Kamis (14/11/2024).
MDB belum berkomitmen lepas dari energi fosil
Setiap tahun, MDB rata-rata menyalurkan dana sejumlah USD2.5 miliar untuk proyek-proyek bahan bakar fosil sejak 2021 hingga 2023. MDB seharusnya lebih menegakkan komitmen mereka untuk mendorong energi bersih dan terbarukan. Jejak keterlibatan Grup Bank Dunia dalam pembiayaan PLTU ‘captive’ untuk industri dapat ditemukan di Kawasan Industri Pulau Obi melalui gurita bisnis milik Harita Group–PT Trimegah Bangun Persada (PT TBP).
International Finance Corporation (IFC), anak usaha Bank Dunia, terlibat dalam pembiayaan kawasan tersebut, yang akan menyebabkan penghancuran di Pulau Obi. Melalui perantara keuangan, yaitu OCBC NISP , DBS Bank, dan Hana Bank, IFC memberikan sejumlah pinjaman kepada beberapa anak usaha PT TBP yang akan dipergunakan untuk pembangunan fasilitas penunjang pengembangan kawasan di masing-masing anak perusahaan seperti penambahan kapasitas smelter, tambahan modal, hingga penambahan pembangkit listrik tenaga batu bara (PLTU).
Keterlibatan grup Bank Dunia ini, menurut Trend Asia, tidak sejalan dengan komitmen mereka yang akan berhenti dalam pembiayaan batu bara. Selain itu, pengembangan kawasan secara masif ini telah mengakibatkan dampak kerusakan ekosistem laut, mencemari sumber mata air, polusi udara, mengancam keanekaragaman hayati, sengketa lahan, hingga penggusuran lahan paksa.
”Celah dalam pembiayaan energi kotor oleh grup Bank Dunia seperti yang dilakukan di Pulau Obi harus segera ditutup. Mereka tidak bisa menunggangi agenda transisi energi dan dekarbonisasi dengan pembiayaan yang sejatinya justru menggagalkan upaya Indonesia untuk bertransformasi dengan energi terbarukan dan menambah dampak krisis iklim kepada masyarakat,” ujar Novita Indri, Juru Kampanye Energi Fosil dari Trend Asia.
Sebelumnya, di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Iklim PBB atau Conference of the Parties (COP) of the UNFCCC—disebut COP29—yang digelar di Baku, Azerbaijan, Presiden Bank Dunia Ajay Banga mengumumkan komitmen besar untuk meningkatkan pendanaan iklim melalui Bank Pembangunan Multilateral (Multilateral Development Banks- MDB) bagi negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah, dengan target total USD120 miliar pada 2030.
Banga juga bergabung dengan seruan global untuk Tujuan Pendanaan Iklim (New Collective Quantified Goal-NCQG) guna memastikan bahwa negara-negara menerima sumber daya yang memadai untuk mengatasi meningkatnya biaya krisis iklim.