LIPUTAN KHUSUS:

Anak Muda Papua, Ini Hasil Perkalian Hutan x Pilkada 2024


Penulis : Muhammad Ikbal Asra, Koresponden Betahita Papua

Anak-anak muda Papua punya kesempatan memilih pemimpin yang memperjuangkan kelestarian hutan dan hak-hak masyarakat adat, dengan memeriksa rekam jejaknya.

OPINI

Selasa, 26 November 2024

Editor : Yosep Suprayogi

HUTAN alam Papua, yang kaya akan keanekaragaman hayati dan kehidupan masyarakat adat, berada dalam ancaman serius akibat deforestasi, dibuktikan dengan banyaknya perusahaan yang menyerobot tanah masyarakat adat. Hal ini di antaranya dialami Suku Awyu di Papua Selatan dan Suku Moi di Papua Barat Daya.
Generasi muda Papua memiliki kekuatan untuk menghentikan kerusakan hutan pada saat ini. Pada Pilkada Papua 2024, anak-anak muda Papua punya kesempatan untuk memilih pemimpin yang memperjuangkan kelestarian hutan dan hak-hak masyarakat adat, dengan memeriksa rekam jejaknya, program-programnya. Jika ini tak dilakukan, coba bayangkan Papua tanpa hutannya: tanpa satwa endemik, tanpa keindahan alam yang eksotik.
Pilkada 2024 di Tanah Papua bukan hanya pertarungan politik, tapi juga pertarungan melawan kepentingan yang ingin mengeksploitasi sumber daya alam Papua secara ugal-ugalan. Banyak calon pemimpin yang didukung oleh pebisnis yang hanya mengincar keuntungan ekonomi jangka pendek dengan merusak hutan alam Papua. Karenanya pergunakan suara untuk memilih pemimpin yang berpihak pada lingkungan.
Hutan alam Papua adalah benteng terakhir keanekaragaman hayati Indonesia dan dunia. Pemimpin di Pilkada Papua harus menjadikan perlindungan hutan sebagai agenda utama. Hutan ini bukan hanya rumah bagi flora dan fauna, tetapi juga bagi masyarakat adat yang memiliki ikatan spiritual dengan alam. Keberadaan mereka tidak bisa dipisahkan dari tanah dan hutan yang mereka jaga selama berabad-abad.
Sayangnya, banyak elit pejabat Papua yang terjebak dalam pendekatan jangka pendek, mengorbankan lingkungan demi keuntungan pribadi. Hal ini merusak ekosistem yang rentan dan menghancurkan warisan budaya. Kita butuh pemimpin yang memiliki visi keberlanjutan, yang bisa menyeimbangkan pembangunan dengan pelestarian hutan.
Konflik lahan di Papua sering kali muncul karena perusahaan-perusahaan besar mengambil alih tanah adat tanpa persetujuan penuh. Hak masyarakat adat harus dilindungi dan suara mereka harus didengar dalam setiap keputusan yang memengaruhi tanah mereka. Tanpa keterlibatan aktif masyarakat adat, pembangunan di Papua hanya akan memperdalam ketidakadilan dan merusak tatanan sosial.
Kebijakan nasional dan provinsi kerap mengabaikan hak-hak masyarakat adat Papua, sementara perusahaan besar terus memperluas perkebunan di atas lahan mereka. Meski hukum adat mengakui tanah ulayat, sering kali masyarakat adat Papua ditekan untuk menyerahkan tanah mereka melalui intimidasi dan manipulasi.
Dalam Pilkada 2024 di tanah Papua, generasi muda perlu memastikan untuk memilih pemimpin yang berkomitmen pada perlindungan hutan dan masyarakat adat. Hutan Papua bukan sekadar sumber daya alam yang melimpah, ini adalah warisan untuk anak-cucu nantinya. Mari memilih pemimpin yang mampu mengubah arah kebijakan, menjaga hutan, dan memastikan hak-hak masyarakat adat diakui dan dihormati.
Hutan alam Papua, yang menyimpan salah satu cadangan karbon terbesar di dunia, berperan penting dalam mitigasi perubahan iklim. Pemimpin Papua harus memiliki rencana konkret untuk menjaga hutan ini. Hutan alam Papua adalah paru-paru dunia yang perlu dijaga bukan hanya untuk masyarakat lokal, tetapi untuk keseimbangan ekosistem global.
Pilkada 2024 adalah momen penting. Jangan biarkan hutan alam Papua dihancurkan demi keuntungan sesaat. Tanah Papua berhak untuk dijaga dan dilestarikan. Masa depan hutan dan masyarakat adat Papua ada di tangan kalian.
Dalam Laporan Greenpeace berjudul "Stop Baku Tipu: Sisi Gelap Perizinan di Tanah Papua", Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Rezim Jokowi, di bawah Menteri Siti Nurbaya, disebut telah melepas 164.315 ha kawasan hutan kepada delapan perusahaan dari lima grup perusahaan di Provinsi Papua, dan 104.046 ha kepada enam perusahaan dari empat grup perusahaan di Provinsi Papua Barat.
Salah satu pelepasan ini, kepada PT Prima Sarana Graha, terjadi pada 2019, setelah moratorium sawit diberlakukan, dengan memanfaatkan pengecualian moratorium sawit bagi permohonan yang sudah diproses. Pelepasan hutan di Tanah Papua pada masa kerja Menteri Siti Nurbaya ini ditandai dengan jenis penyimpangan yang sama seperti dalam masa pendahulunya, yaitu sama-sama melanggar peraturan pemerintah tentang prosedur pelepasan kawasan hutan dan perlindungan lahan gambut, atau pada lahan yang telah diberikan perlindungan karena nilainya secara ekologis penting, atau kepada perusahaan yang memiliki konflik yang belum terselesaikan dengan masyarakat adat setempat.
Perkebunan menjadi penyebab utama hilangnya hutan skala besar di Tanah Papua. Menurut analisis Center for International Forestry Research (CIFOR), seluas 168.471 ha hutan di Provinsi Papua telah dikonversi menjadi perkebunan antara tahun 2000 dan 2019.85 Namun, meski ini angka yang mengkhawatirkan, angkanya bisa dengan mudah lebih tinggi--nyatanya kawasan hutan yang sangat luas di provinsi ini masih terancam karena adanya izin yang masih aktif.
Sejak tahun 2000, luas tanah yang dilepaskan dari kawasan hutan untuk perkebunan di Provinsi Papua mencapai hampir satu juta hektar (951.771 ha), lebih dari satu setengah kali luas pulau Bali. Mayoritas lahan tersebut saat ini masih berupa hutan. Analisis Greenpeace menunjukkan bahwa di seluruh Provinsi Papua hutan seluas 685.388 ha masih berada dalam konsesi yang dilepaskan dari kawasan hutan sejak tahun 2000. Dari total hutan yang tersisa ini, 447.073 ha diklasifikasikan sebagai hutan primer pada peta tutupan lahan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) 2019. Konsesi ini juga termasuk 108.032 ha (sebagian besar hutan) lahan gambut, yang sebagian besar juga belum dikembangkan.
Pilkada 2024 adalah momen penting untuk memproteksi hutan alam Papua yang tersisa. Jangan biarkan hutan alam Papua dihancurkan demi keuntungan sesaat. Tanah Papua berhak untuk dijaga dan dilestarikan. Masa depan hutan dan masyarakat adat Papua ada di tangan generasi muda. Kita usahakan pemimpin di tanah Papua prolingkungan.

Masyarakat adat suku Awyu berjalan melewati hutan di area Kali Wosu Wanggaban, Papua, yang telah dibuka di dalam konsesi PT IAL. Dok. Yayasan Pusaka