LIPUTAN KHUSUS:
Cetak Sawah Baru di Kalteng x Target Iklim: Kritik
Penulis : Kennial Laia
Hampir seluas Bali, area untuk sawah baru Kalteng juga mengancam habitat orang utan.
Lingkungan
Senin, 02 Desember 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Rencana pemerintah membuka lahan untuk cetak sawah baru di Kalimantan Tengah menuai kritik. Menurut Satya Bumi, organisasi advokasi lingkungan, langkah ini kontraproduktif di tengah banyaknya kegagalan proyek food estate yang menyebabkan ribuan hektare sawah di provinsi tersebut terbengkalai dan beralih fungsi menjadi kebun sawit.
Sebelumnya pemerintah mengumumkan pengadaan 1.000 ekskavator dari Tiongkok untuk program cetak sawah baru di Kalimantan Tengah, dengan luas 400.000 hektare atau hampir setara dengan Pulau Bali. Kabupaten yang disasar di antaranya Katingan, Kapuas, Pulang Pisau, dan Palangka Raya. Pemerintah pun menyebutkan bahwa akan memanfaatkan Blok B dan Blok C lahan eks-PLG seluas 15.000 Ha, khususnya di daerah irigasi rawa di Dadahup, Kabupaten Kapuas.
Direktur Eksekutif Satya Bumi Andi Muttaqien mengatakan, kebijakan ini harus didasarkan pada kajian ilmiah yang menyeluruh dan melibatkan partisipasi masyarakat. “Ketahanan pangan penting, tetapi mencapainya dengan cara merusak lingkungan adalah langkah yang keliru,” kata Andi, Jumat, 29 November 2024.
“Kebijakan berbasis keberlanjutan yang melindungi lingkungan, memperkuat kemandirian pangan, dan menghormati hak-hak masyarakat adalah jalan yang harus diambil. Kebijakan yang terburu-buru dan tidak mempertimbangkan dampak jangka panjang hanya akan merugikan kita semua,” ujarnya.
Program cetak sawah baru ini masuk ke dalam rencana 2,4 juta hektare food estate yang akan dikembangkan administrasi Presiden Prabowo Subianto lima tahun ke depan. Menurut Andi, menilai rencana ini berpotensi mengganggu keanekaragaman hayati dan keseimbangan ekosistem alami, termasuk hutan, rawa, dan lahan gambut. Satya Bumi mencatat, seluas 232.596 Ha (15,71%) areal eks-PLG merupakan hutan konservasi dan seluas 581.002 Ha (39,23%) merupakan hutan lindung yang menjadi habitat bagi orangutan Kalimantan, dan beresiko terancam jika proyek ini dilanjutkan.
Andi mengatakan, keputusan memperluas food estate akan menimbulkan kerusakan lingkungan dan kontras dengan target pemerintah mengurangi emisi karbon. Pada COP29 di Baku, Azerbaijan, tiga minggu lalu, utusan khusus presiden Hashim Djojohadikusumo berjanji bahwa pemerintah akan merestorasi 12 juta hektare hutan yang terdegradasi untuk produksi pangan dan penurunan karbon.
Andi mengatakan, penggunaan 1.000 ekskavator akan secara signifikan mempercepat kerusakan hutan dan lahan gambut. Proses penggalian dan pembukaan lahan akan mengurangi kemampuan lahan untuk menyerap dan menyimpan karbon, meningkatkan emisi gas rumah kaca, serta mengancam keanekaragaman hayati di kawasan tersebut.
Andi mengatakan, pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan di era Presiden Prabowo akan menghasilkan emisi karbon yang besar. Di antaranya proyek hilirisasi nikel yang menghancurkan hutan di Sulawesi dan Maluku, pembangunan food estate di Papua yang mengancam lebih dari 2 juta hektare hutan, serta proyek cetak sawah baru di Kalimantan Tengah yang akan membuka 2,4 juta hektar lahan.
“Jika tren ini terus berlanjut, eksploitasi lingkungan yang masif akan menjadi warisan yang merusak bagi generasi mendatang,” kata Andi.
Program cetak sawah baru juga dikhawatirkan akan menyerobot lahan yang secara adat dikelola oleh masyarakat lokal. “Tanpa konsultasi yang bermakna dan penghormatan terhadap hak-hak masyarakat, program ini berisiko memicu konflik agraria, pelanggaran HAM, dan ketegangan sosial yang berkepanjangan,” kata Andi.
“Konflik laten di bekas food estate di Desa Tawai Baru, Gunung Mas, masih membekas hingga kini. Masyarakat mengaku tidak mendapatkan kompensasi, tidak adanya proses konsultasi yang bermakna, dan penurunan pendapatan harian,” ujarnya.