LIPUTAN KHUSUS:
Selaras Dulu, Lalu Akses Dana Transisi Energi
Penulis : Kennial Laia
Percepatan transisi energi di Indonesia membutuhkan banyak sumber pendanaan dari sektor publik dan swasta.
Perubahan Iklim
Kamis, 05 Desember 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Pemerintah Indonesia harus memperkuat kebijakan iklim dan pendanaan untuk transisi energi pasca-COP29 di Baku, Azerbaijan. Menurut Institute for Essential Services Reform (IESR), hal ini penting mengingat konferensi tersebut melahirkan beberapa kesepakatan pembiayaan iklim yang dapat diakses negara berkembang.
Kesepakatan tersebut di antaranya Tujuan Kolektif Baru yang Kuantitatif dalam Pendanaan Iklim (NCQG), yang memobilisasi pendanaan iklim sebesar USD 300 miliar per tahun pada 2035 untuk mendukung negara berkembang dalam mitigasi dan adaptasi iklim. Angka ini jauh di bawah target USD 1,3 triliun yang seharusnya dibayarkan negara maju sebagai penghasil emisi terbanyak.
Adapun kesepakatan pendanaan lainnya termasuk Bank Pembangunan Multilateral (MDB) sebesar USD 170 miliar per tahun pada 2030, di mana sebanyak USD 120 miliar ditujukan untuk negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah. Terdapat pula janji Dana Kerugian dan Kerusakan (Loss and Damage Funds) yang akan didistribusikan pada 2025 dengan total melebihi USD 730 juta.
Manajer Program Diplomasi Iklim dan Energi IESR, Arief Rosadi mengatakan, Indonesia dapat memanfaatkan potensi pendanaan ini dengan menyelaraskan komitmen iklimnya dengan kebijakan nasional yang mendukung transisi ke energi terbarukan. Menurutnya sektor energi merupakan sektor pengemisi terbesar kedua di Indonesia setelah tata guna lahan dan kehutanan.
Arief mengatakan, transisi penuh ke energi terbarukan diikuti pensiun dini PLTU batu bara pada 2040 krusial untuk menurunkan emisi dari sektor energi dan mencapai net zero emission (NZE) pada 2050. Komitmen pensiun dini PLTU batu bara pada 15 tahun ke depan ini juga telah diungkapkan oleh Presiden Prabowo di KTT G20.
Percepatan transisi energi ini memerlukan investasi sebesar USD 20–40 miliar per tahun hingga 2050. “Namun, rata-rata investasi publik untuk energi terbarukan hanya di bawah USD 2 miliar per tahun pada periode 2017–2023. Pada 2022, pembiayaan dari sektor swasta meningkat hingga Rp26 triliun atau sekitar USD 1,7 miliar,” kata Arief, Rabu, 4 Desember 2024.
Staf Program Transisi Berkeadilan IESR Muhammad Aulia Anis mengatakan, kesenjangan pendanaan yang besar ini memerlukan lebih banyak sumber pembiayaan dari sektor publik dan swasta.
Menurutnya, IESR telah mengevaluasi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 103/2023, yang menjadi dasar alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk mendukung percepatan penghentian operasional pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara.
Aulia mengatakan, meskipun aturan tersebut masuk dalam kategori "kuat" dari segi aspek hukum, aspek tata kelola, sumber pendanaan, kerangka pemantauan, dan evaluasinya masih tergolong "sedang."
“Untuk meningkatkan efektivitas tata kelola, IESR mendorong pemerintah untuk memberikan panduan dan target anggaran yang lebih jelas, meningkatkan transparansi publik terkait platform transisi energi, memperkuat kerangka regulasi pasar, dan mendukung pengembangan kapasitas kelembagaan,” kata Aulia.
COP29 juga menyepakati mekanisme untuk implementasi pasar karbon internasional melalui Paris Agreement Credit Mechanism (PACM) sesuai Pasal 6 Perjanjian Paris. Mekanisme ini memungkinkan perdagangan karbon antara perusahaan dari suatu negara dengan unit kredit karbon dari negara lain dengan memenuhi standar tertentu.
Selain itu, mekanisme ini memasukkan perlindungan wajib (mandatory safeguards) untuk lingkungan hidup dan hak asasi manusia yang akan diawasi oleh Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) (WEF, 2024). Aturan yang jelas dalam penerapan pasar karbon diperkirakan akan menghasilkan aliran keuangan sebesar USD 1 triliun per tahun pada 2050 secara global merujuk laporan International Emission Trading Association (IETA) 2024. Namun, Arief menekankan pentingnya pandangan kritis terhadap keefektifan pasar karbon dalam mengurangi emisi secara nyata dan signifikan.
Meskipun menghasilkan sejumlah kesepakatan, hasil COP29 dinilai tidak sesuai harapan. Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa memandang proses dan hasil COP-29 mengecewakan banyak pihak dan mengikis kepercayaan terhadap proses multilateral. Menurutnya, upaya membatasi suhu bumi di 1,5 derajat Celcius merupakan masalah global yang memerlukan kerjasama internasional yang kuat.
“Dukungan pendanaan, alih teknologi dan pengembangan kapasitas untuk negara berkembang dari negara maju menjadi faktor penting bagi peningkatan dan pencapaian aksi mitigasi dan adaptasi krisis iklim yang ambisius di negara berkembang. COP-29 seharusnya dapat menjamin tersedianya pendanaan yang memadai dan efektif bagi negara berkembang, seperti Indonesia,” kata Fabby.