LIPUTAN KHUSUS:
Bengkulu Jadi Sasaran Ekspansi Kebun Kayu
Penulis : Raden Ariyo Wicaksono
Alih fungsi lahan bekas HTR jadi kebun kayu akan mempercepat bencana ekologi dan memicu konflik dengan masyarakat.
Hutan
Rabu, 18 Desember 2024
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Provinsi Bengkulu akan menjadi sasaran ekspansi pembangunan perkebunan kayu (hutan tanaman). Sebab belasan hektare lahan bekas perhutanan sosial hutan tanaman rakyat (HTR) di Kabupaten Kaur, diduga akan diberikan kepada korporasi perkebunan kayu monokultur.
Alih fungsi lahan bekas HTR ini diperkirakan akan mempercepat bencana ekologi, dan menimbulkan konflik karena keberadaannya mengancam sumber penghidupan masyarakat setempat.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Bengkulu, Ibrahim Ritonga, menjelaskan, sejak Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Bengkulu 2023-2043 disahkan, pemerintah daerah memberikan kemudahan dan karpet merah kepada para pemilik modal untuk berinvestasi di Bengkulu.
Pada 2023 lalu, konsesi perhutanan sosial hutan tanaman rakyat (HTR) seluas 18 ribu hektare, yang berada di Kabupaten Kaur, dicabut oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), dan pemerintah daerah diduga akan mengalihkan lahan tersebut kepada perusahaan kebun kayu.
Menurut Ibrahim, selain akan mempercepat bencana ekologi, alih fungsi lahan HTR menjadi kebun kayu monokultur itu dikhawatirkan juga akan mengakibatkan konflik dengan masyarakat. Karena, sebagian besar lahan eks HTR itu merupakan lahan yang dikelola masyarakat setempat dengan menanam berbagai jenis komoditas tanaman hasil hutan bukan kayu.
“Eks HTR itu merupakan wilayah kelola masyarakat, tentunya akan menimbulkan potensi konflik yang akan mengancam sumber penghidupan,” kata Ibrahim, Senin (16/12/2024).
Ibrahim menguraikan, pencabutan HTR ini terjadi dari hasil evaluasi yang dilakukan pemerintah daerah terhadap kinerja dua koperasi pemegang izin HTR. Dua koperasi tersebut yakni Koperasi Kaur Sumber Rejeki, dan Koperasi Usaha Kaur Sejahtera.
Evaluasi itu dilakukan atas rekomendasi Walhi Bengkulu kepada Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK), pada 2017 lalu, setelah organisasi masyarakat sipil itu menemukan bahwa keberadaan dua koperasi itu tidak jelas keberadaannya, termasuk soal kepengurusan maupun rencana kerjanya.
Baru-baru ini, berdasarkan hasil kunjungan lapangan di lokasi bekas HTR, Walhi Bengkulu justru menemukan adanya rencana pembangunan pabrik pengolahan kayu oleh PT Enerport Hijau Nusantara (EHN), yang berlokasi di Desa Parda Suka, Kecamatan Maje.
“Calon investornya dari Jepang. Saat ini perusahaan itu sedang memproses pengurusan PBPH (Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan) di Kementerian Kehutanan, dan lokasinya di bekas lahan dua koperasi itu. Sebagian besar masyarakat di situ belum mengetahui rencana investasi hutan tanaman ini,” ujarnya.
Ibrahim menguraikan, bekas konsesi HTR ini mencakup wilayah 35 desa di 10 kecamatan di Kaur. Dilihat dari status kawasannya, lahan tersebut merupakan lahan kawasan hutan produksi terbatas (HPT), dan hutan produksi tetap (HP) yang menjadi penyangga kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS).
KLHK akan menargetkan arahan pemanfaatan hutan untuk PBPH pada 2024 yang tersebar pada 32 Provinsi dengan total 6.624.665 hektare, yang terdiri dari HL seluas 311.250 hektare, HP/HPT seluas 6.057.280 hektare dan HPK seluas 256.135 hektare. Adapun ploting di Provinsi Bengkulu seluas 54.090 hektare, yang terdiri dari hutan lindung (HL) seluas 1.805 hektare, dan HP/HPT seluas 52.285 hektare.
Rencana pemanfaatan hutan untuk PBPH ini tertuang dalam SK KHLK dengan Nomor: SK13496/MENLHK-PHL/BRPH/HPL.0/12/2023 tentang Peta Arahan Pemanfaatan Hutan Untuk Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan Tahun 2024 yang diterbitkan pada 28 Desember 2023.
Dari kajian yang dilakukan oleh Walhi Bengkulu, berdasarkan dokumen Administrasi Hukum Umum (AHU) PT Enerport Hijau Nusantara merupakan perusahaan swasta nasional yang berkedudukan di Jati Bening, Pondok Gede, Kota Bekasi, Jawa Barat. Saham perusahaan itu dimiliki oleh Ir. Drs. Bahari sebesar Rp1.525.000 sekaligus sebagai direktur perusahaan, dan Mulyadi senilai Rp975.000 yang juga menjabat sebagai komisaris.