LIPUTAN KHUSUS:

Tahun Makin Muram untuk Masyarakat Adat: Catahu AMAN


Penulis : Aryo Bhawono

Semua kasus kekerasan di wilayah adat dilakukan secara sistematis, mencerminkan praktik penyangkalan negara terhadap eksistensi Masyarakat Adat.

Masyarakat Adat

Minggu, 22 Desember 2024

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Aliansi masyarakat Adat Nusantara mencatat kriminalisasi, kekerasan, dan perampasan wilayah adat merebak di tahun 2024. Pengabaian terhadap hak masyarakat adat terus dilakukan oleh pemerintah terpilih 2024.

Sekretaris Jenderal AMAN, Rukka Sombolinggi, menilai transisi kekuasaan dari pemerintah Joko Widodo kepada Prabowo Subianto belum membawa perubahan signifikan bagi Masyarakat Adat.  Situasi semakin memburuk dengan bertambahnya perampasan wilayah adat hingga mencapai 2,8 juta hektare. 

Catatan Akhir Tahun (Catahu) AMAN mengungkapkan, kasus kriminalisasi dan kekerasan masyarakat adat marak terjadi pada tahun ini. Setidaknya ada 121 kasus kriminalisasi dan perampasan wilayah adat terjadi di 140 komunitas Masyarakat Adat pada tahun 2024. 

Sementara itu, total luas wilayah adat yang terdampak mencapai 2,8 juta hektare. Rukka mencontohkan beberapa kasus kriminalisasi dan kekerasan yang terjadi cukup mencolok di wilayah adat Sihaporas, Poco Leok, dan Kepulauan Togean. 

Masyarakat adat tuntut janji Jokowi di DPR. Foto: Harry Siswoyo

“Semua kasus kekerasan yang terjadi di wilayah adat dilakukan secara sistematis. Ini mencerminkan praktik ‘penyangkalan negara’ terhadap eksistensi Masyarakat Adat,” kata Rukka dalam acara Media Briefing peluncuran Catatan Akhir Tahun AMAN 2024 di Jakarta pada Kamis, 19 Desember 2024.   

Masyarakat adat masih terus menghadapi minimnya pengakuan hukum dan regulasi yang melindungi hak-hak mereka. Sebaliknya, pemerintah justru melahirkan beberapa kebijakan yang tidak berpihak pada mereka, seperti UU Cipta Kerja, UU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem (KSDAHE), serta proyek pemindahan Ibu Kota Nusantara (IKN). 

Pemerintahan baru dibawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto pun tidak memberi jaminan kehidupan masyarakat adat akan membaik. 

Seharusnya, kata Rukka, transisi kekuasaan di tingkat nasional menjadi momentum perubahan untuk melindungi hak-hak Masyarakat Adat. Namun yang terjadi justru sebaliknya.

“Transisi kekuasaan di negeri ini merupakan kelanjutan dari rezim yang masih mengabaikan hak-hak Masyarakat Adat,” tegasnya.

Kondisi ini semakin diperburuk oleh kebijakan ekonomi yang lebih memprioritaskan investasi dan proyek strategis nasional dari pada Hak Asasi Manusia. Proyek pemindahan IKN misalnya, imbuhnya, menjadi ancaman langsung bagi lebih dari 20.000 warga adat di Kalimantan Timur.

Cabut Kebijakan Diskriminatif

Di sisi lain, kebijakan-kebijakan seperti Peraturan Menteri ATR/BPN No. 14 Tahun 2024 tentang tanah ulayat justru berpotensi mempercepat hilangnya wilayah adat. Deputi II Sekjen AMAN, Erasmus Cahyadi mengatakan minimnya pengakuan terhadap hak-hak Masyarakat Adat telah menyebabkan eskalasi konflik di lapangan. 

“Kami mendesak agar pemerintah segera mencabut kebijakan diskriminatif ini dan memberikan perlindungan hukum yang nyata terhadap wilayah adat,” tandasnya.

Pria yang akrab disapa Eras ini menyatakan transisi kekuasaan dari pemerintahan Joko Widodo ke Prabowo Subianto ini harus dimanfaatkan sebagai momentum untuk merombak paradigma pembangunan yang selama ini mengabaikan hak-hak Masyarakat Adat. Karena itu, kata Eras, AMAN mendesak agar pemerintahan Prabowo Subianto tidak hanya berfokus pada ekonomi dan investasi.

“Kita ingin pemerintahan Prabowo Subianto dapat memastikan perlindungan dan pemenuhan hak-hak Masyarakat Adat demi tercapainya keadilan sosial dan keberlanjutan lingkungan,” tegasnya.

Seluruh kondisi masyarakat adat ini kian diperburuk dengan molornya penuntasan RUU Masyarakat Adat. Beleid ini hingga kini belum juga disahkan oleh DPR dan Pemerintah meski kini kembali masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025. Menurut Rukka, lamban proses legislasi ini menunjukkan kehendak politik negara.