LIPUTAN KHUSUS:
Isu Papua Butuh Empati Seluruh Masyarakat Indonesia: Greenpeace
Penulis : Muhammad Ikbal Asra, PAPUA
Greenpeace Indonesia menilai empati masyarakat Indonesia terhadap isu-isu yang dihadapi oleh masyarakat Papua masih perlu ditingkatkan.
Masyarakat Adat
Selasa, 14 Januari 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Greenpeace Indonesia menilai empati masyarakat Indonesia terhadap isu-isu yang dihadapi oleh masyarakat Papua masih perlu ditingkatkan, termasuk untuk isu perampasan tanah adat oleh korporasi besar. Di antaranya melalui program seperti kampanye #AllEyesonPapua.
Kampanye #AllEyesonPapua, yang ramai di berbagai platform media sosial seperti Instagram, WhatsApp, dan X (dulu Twitter), menurut Greenpeace, telah memberikan dampak positif dengan meningkatkan kesadaran publik mengenai kondisi hutan Papua.
Menurut Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Sekar Banjaran Aji, selama ini masyarakat Indonesia kurang peduli terhadap isu-isu yang terjadi di Papua. Kasus perampasan tanah adat oleh perusahaan kelapa sawit, seperti yang dialami oleh Suku Awyu dan Suku Moi, menjadi contoh nyata betapa pentingnya mengangkat kesadaran publik tentang ancaman yang dihadapi masyarakat adat. "Kampanye ini bertujuan mengingatkan masyarakat Indonesia bahwa Papua bukanlah tanah kosong. Hutan Papua adalah rumah bagi masyarakat adat yang kini terancam akibat deforestasi dan ekspansi korporasi," ujar Sekar dalam wawancara untuk Refleksi 2024 di Tanah Papua melalui aplikasi zoom, Selasa malam, 7 Januari 2025.
Salah satu pencapaian yang patut dicatat pada 2024, kata Sekar lagi, adalah pengakuan wilayah adat Knasaimos seluas 97.441 hektare oleh Bupati Sorong Selatan, yang membentang di dua distrik: Saifi dan Seremuk. "Setelah perjuangan panjang hampir dua dekade, masyarakat adat Knasaimos akhirnya mendapatkan pengakuan yang mereka perjuangkan," kata Sekar.
Greenpeace Indonesia mencatat, sepanjang 2001-2023, hutan Papua mengalami deforestasi seluas 722.256,2 hektare, menyisakan 84.594.197,1 hektare hutan yang tersisa. Pembagian per provinsi menunjukkan kerusakan yang sangat luas:
- Papua Selatan: Kehilangan hutan 196.650 hektare, tersisa 6.937.148,4 hektare
- Papua Barat: Kehilangan hutan 145.439,8 hektare, tersisa 5.078.476,9 hektare
- Papua: Kehilangan hutan 112.098,6 hektare, tersisa 7.097.357,9 hektare
- Papua Tengah: Kehilangan hutan 99.202,6 hektare, tersisa 4.719.881,1 hektare
- Papua Barat Daya: Kehilangan hutan 93.921,1 hektare, tersisa 3.303.174,2 hektare
- Papua Pegunungan: Kehilangan hutan 74.944 hektare, tersisa 4.754.019,5 hektare
Dalam wawancara yang sama, Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Arie Rompas, menyampaikan untuk data tutupan lahan di tahun 2024 belum ada. "Namun kemungkinan (ada bukaan lahan baru) khususnya di Papua Selatan karena ada Proyek Food Estate, meskipun angkanya belum signifikan karena masih bangun jalan,” ujarnya.
Arie mengkritik kebijakan penambahan Daerah Otonomi Baru (DOB) di Papua yang justru memperburuk eksploitasi sumber daya alam. "Politik DOB ini hanya memecah belah masyarakat adat dan mempermudah kontrol Jakarta terhadap Papua, terutama dalam hal eksploitasi sumber daya alam dan manusia," ujarnya.
Misalnya, ujarnya, soal kebijakan Proyek Strategis Nasional (PSN) Food Estate di Merauke, Papua Selatan. Menurut Arie, ini merupakan ancaman besar bagi ruang hidup masyarakat adat dan keberlanjutan ekosistem di wilayah tersebut. "Proyek ini jelas akan merampas tanah adat dan menguntungkan segelintir pihak, termasuk para kroni yang terlibat dalam proyek tersebut," kata Arie.
Greenpeace Indonesia juga mengungkapkan dalam proyek PSN Food Estate di Papua Selatan ada keterlibatan pihak-pihak yang terkait dengan Presiden Prabowo Subianto, seperti Andi Syamsuddin Arsyad (Haji Isam) dan Agrinas.
Kabinet antroposentrisme
Sekar Banjaran Aji menyatakan, ihwal pernyataan Presiden Prabowo agar masyarakat Indonesia tidak perlu khawatir mengenai deforestasi merupakan refleksi dari pandangan antroposentrisme yang telah ditunjukkan Prabowo sejak masa kampanye. "Pada saat kampanye, Presiden sudah jelas mengatakan fokusnya pada ketahanan pangan dan energi. Ini menunjukkan pandangan bahwa alam hanya ada untuk memenuhi kebutuhan manusia, tanpa memikirkan dampaknya terhadap lingkungan dan ekosistem," ujar Sekar.
Menurut Sekar lagi, pandangan tersebut mencerminkan etika lingkungan yang keliru, di mana manusia ditempatkan sebagai pusat dari segala sesuatu. "Perkataan itu sangat mempermalukan sebagai seorang pemimpin negara. Kita tidak bisa bersikap egois di tengah krisis iklim ini. Merusak hutan Papua berarti kita sedang menjemput ajal kita sendiri," kata dia lagi.