LIPUTAN KHUSUS:

Dampak Serius Kontaminasi Mikroplastik terhadap Fungsi Kognitif


Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Tidak adanya standar pengujian mikroplastik dalam pangan dan lingkungan semakin memperparah kontaminasi mikroplastik di dalam tubuh manusia.

Polusi

Selasa, 25 Februari 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Kontaminasi mikroplastik dalam tubuh manusia tak hanya jadi ancaman lingkungan, namun juga bisa membawa dampak serius terhadap fungsi kognitif otak. Tidak adanya standar pengujian mikroplastik dalam pangan dan lingkungan semakin memperparah kontaminasinya di dalam tubuh manusia.

Laporan Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) yang bertajuk Policy Scenarios for Eliminating Plastic Pollution by 2040 menemukan adanya peningkatan sampah plastik di seluruh dunia hingga dua kali lipat, dari 213 juta ton menjadi 460 juta ton, sepanjang 2000 sampai 2019. 

Masalah sampah plastik pun terjadi di dalam negeri. Menurut Data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), terdapat total 41,07 juta ton sampah di 2023. Sebanyak 7,86 juta ton atau hampir 20 persen dari total sampah adalah sampah plastik. Meski ada sampah yang dikelola, sebagian besar sampah di Indonesia hanya berakhir di tempat pembuangan sampah atau ditimbun, sementara sisanya mencemari lingkungan, termasuk lautan. 

“Produksi sampah plastik yang terus meningkat,  tanpa diimbangi pengelolaan yang mumpuni telah menyebabkan pencemaran mikroplastik di berbagai aspek lingkungan—air, tanah, udara dan produk konsumsi seperti ikan, daging, dan garam. Kondisi ini semakin  meningkatkan kekhawatiran  akan risiko kontaminasi mikroplastik pada manusia,” kata Afifah Rahmi Andini, Peneliti Plastik Greenpeace Indonesia, dalam sebuah rilis, Minggu (23/2/2025).

Penyelam sedang mengurai tali plastik di laut. Foto: Greenpeace Indonesia.

Untuk mengetahui dampak yang ditimbulkan dari kontaminasi mikroplastik di dalam tubuh manusia, Greenpeace Indonesia bersama Universitas Indonesia melakukan studi kolaboratif yang mendalami dampak mikroplastik terhadap kesehatan, terutama penurunan fungsi kognitif. 

Tahap pertama studi ini dilakukan melalui survei untuk mengidentifikasi kelompok masyarakat yang rentan terhadap paparan mikroplastik dan pola konsumsi plastik pada 562 responden di Jakarta, Bogor, Depok, dan Tangerang melalui kuesioner. Di tahap kedua, penelitian dilakukan dengan analisis kadar mikroplastik dalam urin, darah, dan feses partisipan yang terpilih, untuk melihat hubungan antara kadar mikroplastik dalam tubuh dan fungsi kognitif mereka. 

Studi yang dilakukan pada Januari 2023-Desember 2024 ini menemukan mikroplastik pada 95 persen sampel dari 67 partisipan dengan kadar per sampel darah berkisar antara 0-7.35 partikel per gram (p/g). Mikroplastik juga ditemukan dalam sampel urin partisipan dengan jumlah sekitar 0-0,33 partikel per mililiter (p/mL), serta pada feses dengan jumlah sekitar 0-44.35 partikel per gram (p/gr). 

Penelitian ini juga menemukan bahwa PET (Polyethylene Terephthalate) adalah jenis mikroplastik yang paling banyak mengontaminasi tubuh partisipan, dengan total 204 partikel terdeteksi. PET dapat bersumber dari penggunaan kemasan plastik sekali pakai seperti botol minuman, kemasan makanan siap saji, botol produk perawatan tubuh, hingga serat pakaian dan karpet. Partikel mikroplastik yang berukuran tak lebih besar dari 5 milimeter dapat dengan mudah menyebar melalui rantai makanan, proses pengolahan limbah yang tidak sempurna, atau konsumsi makanan laut yang terkontaminasi. 

Ahli Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) dr. Pukovisa Prawirohardjo, Sp.S(K)., Ph.D. mengatakan, hasil studi kolaborasi yang tengah dilakukan peer review ini menemukan bahwa partisipan dengan pola konsumsi plastik sekali pakai yang tinggi memiliki risiko mengalami penurunan fungsi kognitif hingga 36 kali lipat.

“Kami menemukan hubungan yang berarti antara fungsi kognitif dengan paparan mikroplastik. Gangguan fungsi kognitif yang dialami partisipan penelitian mencakup diantaranya pengaruh pada kemampuan berpikir, mengingat, dan mengambil keputusan,” ujarnya.

Fungsi kognitif partisipan dianalisis menggunakan Montreal Cognitive Assessment Indonesia (MoCA-Ina) dan dilakukan bersama tim dokter dari Divisi Neurobehavior Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (FKUI-RSCM). 

Juru Kampanye Plastik Greenpeace Indonesia Ibar F. Akbar berpendapat, untuk mengurangi kontaminasi mikroplastik dalam lingkungan dan mengurangi dampaknya bagi kesehatan, pemerintah dan produsen perlu mengambil langkah untuk mengurangi kontaminasi mikroplastik dalam lingkungan yang memiliki dampak buruk ke kesehatan manusia. 

“Pemerintah perlu memperbaiki sistem pengelolaan sampah berbasis pemilahan, mempercepat dan memperluas larangan plastik sekali pakai, melarang mikroplastik primer, serta mendorong transisi ke sistem kemasan guna ulang (reuse) untuk mengurangi pencemaran dan dampak lingkungan,” ujarnya.

Ia menambahkan, pemerintah juga perlu menetapkan standar pengujian mikroplastik yang ketat serta ambang batas kontaminasi dalam produk pangan dan lingkungan. 

Di sisi lain, produsen juga perlu mengurangi produksi dan distribusi plastik sekali pakai secara signifikan sebagai bentuk tanggung jawab mereka untuk mengelola sampah plastik yang telah mereka produksi.

“Produsen harus segera beralih ke sistem kemasan guna ulang (reuse) dan isi ulang (refill). Produsen juga perlu meningkatkan transparansi komposisi plastik dalam produknya serta peta jalan pengurangan sampah oleh produsen,” kata Ibar.