LIPUTAN KHUSUS:

Warga Sulawesi Barat Tolak Tambang Pasir


Penulis : Kennial Laia

Diduga pasir itu untuk memenuhi kebutuhan IKN.

Tambang

Rabu, 07 Mei 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Ratusan warga dari Aliansi Masyarakat Sulbar Tolak Tambang menuntut pencabutan izin penambangan pasir di Mamuju dan Mamuju Tengah,  Sulawesi Barat. Izin tambang ini dinilai mengancam sungai, pesisir pantai, serta mata pencaharian masyarakat di berbagai desa di provinsi tersebut. 

Warga mulai berdatangan ke lokasi demonstrasi, yakni kantor gubernur Sulawesi Barat, sekitar pukul 10.00 WITA, mengendarai mobil dan sepeda motor. Warga berasal dari sejumlah desa di tiga kabupaten. Di antaranya desa Karossa, Mamuju Tengah; Sarassa, Pasangkayu; serta Kalukku Barat dan Beru-Beru, Mamuju. Gerbang tersebut sudah dijaga oleh puluhan personil Kepolisian dari Satuan Polda Sulbar dan Polres Mamuju. 

Koordinator lapangan dan salah satu warga, Zulkarnain, mengatakan Aliansi mendatangi kantor Gubernur Sulawesi Barat Suhardi Duka untuk bertemu secara langsung dan mendesak agar izin usaha pertambangan yang terbit di kampungnya dicabut.

"Hari ini apabila Gubernur Suhardi Duka tidak menemui kami, maka kami juga akan bertahan, kalau perlu menginap di halaman kantor ini, sampai kami ditemui. Kami ini hanya mau menemui pemimpin daerah yang kami pilih beberapa bulan lalu. Jadi kenapa sulit rasanya bagi kami untuk sekedar bertemu dan menyampaikan langsung apa yang menjadi keresahan kami,” kata Zulkarnain saat berorasi di depan kantor gubernur Sulawesi Barat, Senin, 5 Mei 2025. 

Warga dari sejumlah desa berdemonstrasi di depan kantor gubernur Sulawesi Barat, Senin, 5 Mei 2025. Mereka menuntut pencabutan izin tambang pasir, yang dikhawatirkan merusak lingkungan dan mata pencaharian warga. Dok. Istimewa

Aliansi melaporkan, saat mereka melakukan demonstrasi, mereka mengalami represi. Menurut keterangan Aliansi, warga mulai memaksa masuk setelah tiga jam tidak mendapatkan respons. Aksi dorong antara warga dan polisi terjadi selama hampir satu jam hingga pintu terbang terbuka. Menurut Aliansi, saat itulah warga disemprot oleh meriam air (water canon) dari kendaraan milik Polda Sulbar. 

Sementara itu Suhardi Duka beserta rombongan bupati memilih untuk berangkat ke Jakarta pada saat aksi sedang berlangsung. 

“Seandainya dari awal pemerintah mau dengar warganya, kami tidak perlu datang jauh-jauh begini. Kami cuma mau menjaga kampung, kenapa diperlakukan seperti penjahat. Kami terus aksi, karena dengan rapat-rapat tidak ada solusinya,” kata Mama Indah, salah satu massa aksi dari Desa Karossa. 

Aliansi mengatakan, sebelumnya, warga sudah melakukan aksi baik di tingkat kelurahan, kecamatan hingga ke kabupaten. Warga juga berkali-kali menghadiri Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Anggota DPRD Provinsi Sulawesi Barat dan PT Alam Sumber Rezeki, salah satu perusahaan yang mengantongi izin. 

Diketahui, pada 21 Maret 2024, Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Satu Pintu Provinsi Sulawesi Barat, menerbitkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Usaha Produksi untuk PT Alam Sumber Rezeki (ASR) yang nantinya akan beroperasi di Sungai Benggaulu, Desa Karossa. Izin ini terbit di tengah gejolak penolakan warga. 

Berdasarkan penelusuran dari Minerba one Map Indonesia (MoMI) PT Alam Sumber Rezeki mengantongi izin dengan luas konsesi 69,85 hektare, di mana sebagian besar merupakan lokasi lahan dan tambak milik warga. 

Menurut penelusuran Aliansi terhadap dokumen Studi Kelayakan milik PT Alam Sumber Rezeki, terdapat informasi bahwa penambangan pasir yang dilakukan di sepanjang sungai tersebut akan dikirim ke Penajam dan Paser Utara untuk pembangunan IKN Nusantara.

Massa aksi di kantor gubernur Sulawes Barat membentangkan spanduk berisi penolakan terhadap izin penambangan pasir. Dok. Istimewa 

“Keberadaan tambang pasir dan batuan yang terletak di beberapa wilayah Sulawesi Barat guna menyokong kebutuhan material IKN ataupun ekspor pasir telah menjadi ancaman besar bagi warga tapak yang bermukim dekat dengan lokasi ekstraksi tambang. Hal ini sedang dialami oleh warga di Mamuju dan Mamuju Tengah,” kata Aliansi.

Warga telah melakukan perlawanan sejak akhir November 2024. Gerakan perlawanan ini dilatarbelakangi oleh kekhawatiran warga terhadap ancaman daya rusak tambang pasir yang akan mengkavling ruang hidup mereka, khususnya bagi 5 Desa dari 2 Kabupaten yaitu Mamuju Tengah dan Pasangkayu, yang dikantongi sejumlah perusahaan. Mayoritas warga memiliki mata pencaharian sebagai nelayan tangkap dan budidaya. 

Tercatat hingga 18 Maret 2025, terdapat 21 warga yang mengalami kriminalisasi akibat penolakannya terhadap aktivitas tambang pasir. Di antaranya 18 warga Mamuju Tengah dengan tuduhan pengancaman dan pengrusakan, dan tiga warga Kalukku Barat, mereka dilaporkan setelah melakukan penyegelan alat berat milik perusahaan. 

“Upaya kriminalisasi ini merupakan cara-cara culas yang kerap digunakan oleh korporasi untuk membungkam perlawanan warga,” kata Aliansi. 

"Selain itu, ketidaktegasan gubernur untuk mencabut izin tambang justru mempertegas keberpihakannya bukan kepada rakyat, melainkan pada perusahaan dan semakin  menajamkan konflik horizontal yang terjadi pada warga tapak," kata Aliansi.