LIPUTAN KHUSUS:

14 Warga Halmahera Timur Terancam Kriminalisasi


Penulis : Aryo Bhawono

Warga Wayamli tengah mempertahankan wilayah adat.

Tambang

Senin, 19 Mei 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Perlawanan warga Halmahera Timur mempertahankan wilayah adat Wayamli berbalas kriminalisasi. Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Kepolisian Daerah Maluku Utara memanggil 14 warga dari 5 Desa di Kecamatan Maba Tengah atas aksi menolak operasi PT PT Sambaki Tambang Sentosa (STS) di wilayah adat mereka pada April 2025 lalu. 

Pemeriksaan warga ini dilakukan untuk klarifikasi laporan External Officer PT STS, Kukuh Kurniawan Hermanto. Laporan itu menuduh warga melakukan tindak pidana membawa senjata tajam, penghasutan, perampasan, dan melakukan perbuatan tidak menyenangkan ketika melakukan aksi pada 21 April 2025. Polda Maluku Utara lantas menerbitkan Surat Perintah Penyelidikan Nomor: SP. Lidik /73.a / IV /2025/ Ditreskrimum pada 24 April 2025. 

Warga berasal Desa Yawanli, Babasaran, Beringin Lamo, dan Desa Wayamli, Maba Tengah, Kabupaten Halmahera. Mereka adalah Wahidin Dogu, Sarjan, Sahri Ompu Mahmud, Ruslan Ahmad, Rivai Lasut, Rifai, Hi Husen, Rahmad Landike, Rabo Syamsi, Mursin Kie, M. Taif Jahu, Armin Abdul Latief, Arisandi Ompu Mahmud, dan Ari Fitra Yuda Hatim.

Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Maluku Utara, Julfikar Sangaji, menyebutkan penyelidikan yang dilakukan polisi ini patut diduga sebagai upaya kriminalisasi. Mereka hanya menindaklanjuti laporan perusahaan tanpa melihat bahwa perusahaan telah beraktivitas di wilayah adat tanpa kesepakatan warga. 

Warga mempertahankan wilayah adat Yawanli di Halmahera Timur. Foto: Jatam

Aksi warga, kata dia, merupakan respons terhadap operasi tambang yang telah menyerobot lebih dari 25 hektare lahan adat Wayamli. Aktivitas perusahaan telah merusak kebun kelapa dan kawasan hutan adat, serta dilakukan tanpa persetujuan masyarakat setempat. 

“Warga melakukan blokade untuk menghentikan aktivitas perusahaan yang terus memperparah kerusakan lingkungan,” kata dia dalam rilis pers pada Kamis (15/5/2025).

Analisis citra satelit menunjukkan aktivitas PT STS telah mengakibatkan deforestasi seluas 482,86 hektare, merusak sungai dan sumber air bersih, serta merampas ruang hidup warga. Padahal, lahan-lahan tersebut merupakan ruang produksi ekonomi, pangan, serta berbagai ruang lainnya untuk menjamin keselamatan hidup masyarakat adat Wayamli lintas generasi.

Keberpihakan polisi pada perusahaan, kata dia, sudah ditunjukkan dengan sikap represif menghadapi aksi warga pada April 2025 lalu. Polisi melakukan kekerasan dengan pembubaran paksa dan penangkapan dengan cara memborgol warga. 

“Sikap polisi yang seolah-olah bertindak sebagai centeng pengamanan perusahaan semakin kentara saat 300 warga Maba Tengah melakukan protes di kantor perwakilan PT STS di Desa Baburino, Maba, pada 28 April 2025, untuk menolak kehadiran aktivitas pertambangan. Namun, aksi protes warga justru diadang oleh puluhan personel dari Polres Halmahera Timur yang di-backup sekitar 30 anggota Brimob. Polisi lantas menembaki warga dengan peluru gas air mata secara brutal, tanpa memberikan peringatan terlebih dahulu,” ucap Ketua Salawaku Institute, M. Said Marsaoly. 

Akibatnya tiga warga mengalami luka-luka serta menyebabkan trauma psikologis mendalam bagi para ibu-ibu dan anak-anak yang terlibat dalam aksi untuk memperjuangkan keselamatan ruang hidup dan masa depan mereka. Seolah tak cukup, hanya berselang satu hari dari aksi tersebut, sebanyak 20 warga yang ikut dalam aksi protes mendapatkan surat panggilan dari penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus, Kepolisian Daerah Maluku Utara, pada 29 April 2025.

Said menyebutkan aksi represif aparat menegaskan keberpihakan mereka terhadap kepentingan perusahaan. Kini keberpihakan itu ditambah dengan upaya kriminalisasi.

“Ini tidak hanya mengabaikan akar masalah, yakni perampasan tanah-tanah adat, tetapi juga menunjukkan upaya sistematis untuk membungkam perlawanan warga. Sikap abai pemerintah pusat dan pemerintah daerah terhadap rentetan kekerasan aparat negara ini semakin menunjukkan watak negara ini yang sesungguhnya sebagai negara-korporasi ekstraktif yang meletakkan kepentingan bisnis ekstraktif di atas kepatuhan hukum dan di atas keselamatan warganya,” ucap Julfikar. 

Mereka menuntut Mabes Polri menghentikan kriminalisasi terhadap 14 warga Maba Tengah, menyelidiki dugaan kolusi aparat dengan perusahaan tambang, dan menyelidiki proses hukum dugaan kejahatan lingkungan yang dilakukan oleh PT STS.

Kementerian Kehutanan dan Kementerian Lingkungan Hidup, menurut mereka, harus mengevaluasi dan mencabut seluruh izin lingkungan PT STS, khususnya terkait dampak terhadap wilayah adat dan hutan.

Mereka juga mendesak Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) agar tidak menerbitkan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL) untuk jetty PT STS karena bertentangan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Halmahera Timur dan prinsip keadilan ekologis.

Sementara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) harus menghentikan seluruh kegiatan pertambangan PT STS dan melakukan audit menyeluruh terhadap legalitas konsesinya.