LIPUTAN KHUSUS:

Ritual Dayak Agabag Nunukan: Kriminalisasi oleh Pemilik Konsesi


Penulis : Aryo Bhawono

Masyarakat Adat Dayak Agabag di empat desa Sebuku, Nunukan, hidup dalam himpitan konsesi raksasa. Hampir sepanjang waktu mereka terancam kriminalisasi.

Agraria

Rabu, 21 Mei 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Masyarakat Adat Dayak Agabag di empat desa Kecamatan Sebuku, Nunukan, Kalimantan Utara  hidup dalam himpitan konsesi raksasa. Hampir sepanjang waktu mereka terancam kriminalisasi. 

Keluh kesah Kepala Adat Desa Desa Bebanas, Nick Berdy, itu tumpah saat menggelar demonstrasi dan audiensi di kantor PT. Karangjuang Hijau Lestari (KHL) di Kecamatan Sebuku, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara pada Senin (19/5/2025). Bertahun-tahun masyarakat adat di desanya terbelit konflik lahan. Penyelesaiannya pun tak kunjung terang. 

Tumpang tindih konsesi PT. KHL dengan kawasan Adat Desa Bebanas tak berujung. Sepanjang proses penyelesaian perusahaan itu selalu mengintimidasi warga menggunakan aparat negara dan tidak segan-segan menangkap dan memenjarakan warga, 

Bahkan PT. KHL membuat macam-macam laporan ke polisi sehingga banyak warga mengalami intimidasi melalui surat panggilan dari polsek, polres, hingga polda.

Masyarakat Adat Dayak Agabag melakukan aksi demonstrasi dan audiensi ke kantor PT. Karangjuang Hijau Lestari (KHL) terkait persoalan lahan yang telah berlangsung lama pada Senin (19/5/2025). Foto: GoB

“Masyarakat berulang kali dilaporkan ke kepolisian. Tentu ini sangat mengganggu kenyamanan dari masyarakat Bebanas,” kata dia membacakan surat tuntutan warga desanya. 

Pada Jumat lalu (16/5/2025) polisi menandatangani surat panggilan No: B/320 N/2025/Ditreskrimsus untuk Kepala Desa Bebanas, Jamri, dan No: B/ 327 N/2025/Ditreskrimsus untuk warga Bebanas bernama Daud. Keduanya dipanggil untuk pemeriksaan sebagai saksi atas dugaan menduduki lahan perkebunan secara tidak sah (Pasal 107 huruf a Jo Pasal 55 UU No 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan). 

Masyarakat Adat Dayak Agabag mendesak perusahaan menghentikan intimidasi melalui laporan ke polisi semacam ini. 

Mereka berharap persoalan lahan ini dapat diselesaikan dengan cara yang adil dan transparan, serta menghormati hak-hak masyarakat adat. Pemerintah pun seharusnya dapat berperan aktif dalam menyelesaikan persoalan ini dan memastikan bahwa hak-hak masyarakat adat dihormati dan dilindungi.

“Kami berharap kepada aparat keamanan (Polisi/TNI) untuk mengayomi masyarakat, bukan malah mengintimidasi masyarakat untuk “memaksa” masyarakat menyerahkan lahannya,” ucap Berdy membacakan tuntutan.

Kriminalisasi hingga perampasan lahan

Program Officer Green of Borneo, Darwis, yang melakukan pendampingan terhadap warga menyebutkan laporan perusahaan ke polisi dan dugaan kriminalisasi acap kali terjadi di Desa Bebanas dan tiga desa lainnya di Kecamatan Sebuku, yakni Desa Melasu Baru, Bebanas, Lulu dan Sujau. Desa-desa itu berada di tengah himpitan konsesi sawit dan perusahaan kayu. 

PT KHL merupakan satu dari lima perusahaan pemilik konsesi di Kecamatan Sebuku, termasuk Desa Bebanas. Empat perusahaan lainnya adalah PT Bulungan Hijau Perkasa (BHP), PT Adindo Hutani Lestari (AHL), PT Inhutani Unit Kunyit - Simendurut, dan PT. Nunukan Bara Sukses (NBS).

PT KHL mendapatkan IUP 320/102/MENTAN-III/1997 dan Izin Pelepasan No 871/KPTS-II/1999 dengan luas 22.806.656 hektare. Perusahaan ini memiliki dua pola pengembangan, yakni pola inti seluas 20.000 ha dan pola plasma seluas 4.261 ha. 

Mereka memiliki anak perusahaan, yakni PT Bulungan Hijau Permai Group (BHPG), PT Tirta Madu Sawit Jaya I Group (TMSJ I) PT Tirta Madu Sawit Jaya II Group (TMSJ II), PT Bumi Simanggaris Indah Group (BSI). Perkebunan KHL Group memiliki luas 50.000 ha.

PT BHP merupakan satu grup dengan PT KHL melalui kepemilikan Fangiono Agro Plantation. Mereka mulai melakukan pembibitan dan penanaman sawit pada tahun 2003 berbekal IUP No 411/Kpts/HK.350/Dj.Bun/V/01 dengan luas 5.000 ha di Kecamatan Sembakung dan Lumbis. Pada ada November 2004 mereka memiliki HGU No. 01 tahun 2004 dengan luas 6.061 ha di Desa Melasubaru, Bebanas, Lulu, Sajau, Ketul, Lubuk, Membulu, Patal, Suyadon, Takulon, Ubol Kecamatan Sebuku, Sembakung, dan Lumbis.

PT NBS  memiliki HGU No 115/HGU/BPN RI/2013 pada Oktober 2013 seluas 670,60 ha dan IPT seluas 1.618,79 ha di Kecamatan Sebuku dan Lumbis.

PT AHL merupakan perusahaan kehutanan dengan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) melalui SK Menteri Kehutanan No 88/Kpts-II/1996 jo, Nomor 935/Kpts-II/1999 dengan luas 191.486,90 ha terletak pada kelompok hutan S. Sembakung (Sektor Sebakis), S. Sembakung (Sektor Sembakung) dan S. Sesayap dan S. Sekatak (Sektor Sesayap) di Kabupaten Nunukan, Malinau, Bulungan dan Tana Tidung, Provinsi Kalimantan Timur (Sekarang Provinsi Kalimantan Utara).

PT Inhutani I Unit Kunyit – Simendurut berlokasi Kabupaten Nunukan dan Malinau dengan SK IUPHHK-HA No 560/Menhut-II/2006 dan luas 120.760 ha. 

Sementara Koperasi Mukti Utama memiliki IUP No 41/2008 dengan luas 2.843,79 ha.

Seluruh konsesi korporasi ini tumpang tindih dengan empat desa tersebut. 

Peta usulan enclave Masagit Masuluy Desa Bebanas, Sebuku, Nunukan, Kalimantan Utara. Data: GoB

Darwis menyebutkan praktik kriminalisasi dan intimidasi terjadi berulang kali. Ujungnya adalah perampasan tanah. Data yang dihimpun lembaganya menyebutkan pada April 2021, empat kepala keluarga keturunan tokoh adat Desa Bebanas, Yaki Yansiung, dituduh mencuri sawit perusahaan. Padahal mereka memanen di kebun sendiri.

Mereka adalah Bapuli, Kual, Abetman, dan Siggung. Sedangkan laporan dugaan pencurian dilakukan oleh PT KHL dan PT BHP. 

Pada Mei 2022, kriminalisasi kembali dilakukan oleh PT KHL terhadap warga Desa Bebanas, Nick Berdy dan Jamri. Berdy dituduh mencuri tandan buah sawit sedangkan Jamri dipanggil ke Kantor Polisi Kabupaten Nunukan karena enggan memberikan data pribadi Nick Berdi, dan karena itu dianggap memperlambat penyelidikan. 

Sementara salah satu intimidasi terjadi pada September 2022, empat orang berseragam loreng TNI dan 1 petugas keamanan PT KHL, memasuki kebun sawit milik Sapidi di Desa Sujau. Mereka membersihkan dan merontokkan daun-daun sawit kering. 

Sapidi yang menanami kebun sejak 2007, meminta lima orang tidak dikenal itu untuk keluar dari kebunnya. Namun petugas PT KHL membalasnya dengan menyebutkan akan memanen habis. 

Sapidi pun lantas melapor ke kepala desa. Warga kemudian membantunya mengusir orang-orang itu. 

“Dari data yang ada, perusahaan ini melaporkan warga ke polisi atas dugaan pencurian sawit. Mereka mengincar mengambil alih kebun warga dengan upaya ini,” ucap Darwis. 

Ia menyebutkan Desa Bebanas tergolong sebagai desa tua. Beserta tiga desa lainnya, masyarakat adat memiliki kekerabatan antar warga masyarakat yang dekat bahkan dengan desa-desa lain di kecamatan Tulin Onsoi, kecamatan Sembakung, dan kecamatan Lumbis  karena berasal dari etnis yang sama dan memiliki sejarah panjang dalam mendiami wilayah ini. 

Pemetaan batas desa partisipatif sendiri dilakukan pada rentang 2002-2005 oleh CARE International Indonesia melalui FORMACS Project di Kabupaten Nunukan. Pemetaan belum diadopsi oleh pemerintah daerah Nunukan sebagai bentuk pengakuan terhadap wilayah administrasi desa mereka tapi berdasarkan peta dari Badan Informasi Geospasial (BIG). 

Namun pemerintah desa dan masyarakatnya di Kecamatan Sebuku memakai hasil pemetaan itu dan hanya merevisi peta dan luas wilayah desa mengikuti batas kecamatan Sebuku dan Kecamatan Tulin Onsoi (pemekaran kecamatan) pada tahun 2011.

“Bukan berarti jika pemetaan partisipatif ini belum diadopsi, kemudian kawasan ini dianggap tanah kosong yang bisa diduduki konsesi. Masyarakat Adat Dayak Agabag sudah hidup disini,” ucap Darwis.