LIPUTAN KHUSUS:

Kolaborasi untuk Bumi: Refleksi Hari Lingkungan Hidup 2025


Penulis : Arief Yuwono, Peneliti Senior Institute for Sustainable Earth (I-SER)

Krisis lingkungan global yang multidimensi ini tidak bisa ditangani oleh satu pihak saja.

OPINI

Selasa, 10 Juni 2025

Editor : Yosep Suprayogi

SETIAP tanggal 5 Juni, dunia memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia. Tahun ini, tema yang diangkat adalah #BeatPlasticPollution—seruan global untuk mengakhiri pencemaran plastik yang kian mengkhawatirkan. Namun, sebelum kita bicara soal solusi terkini, mari kita tilik kembali akar sejarah dan pijakan penting dari gerakan lingkungan, baik secara global maupun nasional.

Kesadaran Global Awal

Gerakan lingkungan global muncul sebagai respons atas evaluasi Dasawarsa Pembangunan Dunia pertama (1960–1970), di mana Dewan Ekonomi dan Sosial PBB melihat perlunya strategi pembangunan berikutnya yang tidak hanya menitikberatkan pada aspek ekonomi dan sosial, tetapi juga memberi perhatian serius terhadap persoalan lingkungan hidup. Kemerosotan sumber daya alam serta pencemaran udara, air, dan tanah mulai menjadi keprihatinan bersama.

Kesadaran ini diperkuat oleh sejumlah publikasi dan kejadian pada masa itu. Buku Silent Spring karya Rachel Carson (1962) menggugah kesadaran dunia akan bahaya pestisida, yang pada awalnya dianggap menyelamatkan manusia dari malaria, namun terbukti berbahaya bagi kehidupan. Kemudian hadir pula publikasi seperti Only One Earth (1972) oleh Barbara Ward dan René Dubos, The Limits to Growth (1972) dari Club of Rome, serta laporan pencemaran merkuri di Teluk Minamata.

Menanggapi situasi tersebut, Sekretaris Jenderal PBB merekomendasikan pendekatan baru terhadap isu lingkungan. Hal ini dikukuhkan melalui Resolusi Sidang Umum PBB No. 2581 (XXIV) pada 15 Desember 1969, yang sekaligus membentuk Panitia Persiapan guna mengarahkan perhatian dunia pada pentingnya penanganan lingkungan hidup.

Aktivis lingkungan di Jawa Timur menggelar aksi protes di depan Kantor Konsulat Jenderal Australia, di Surabaya Jawa Timur, 19 Agustus 2024. Mereka menuntut penghentian kiriman plastik dari Australia ke Indonesia. Foto: Ecoton.

Puncaknya adalah Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup Manusia (United Nations Conference on the Human Environment) yang diselenggarakan di Stockholm, Swedia, pada 2–16 Juni 1972, diikuti oleh 113 negara. Konferensi ini menghasilkan beberapa keputusan penting, yaitu Stockholm Declaration, Rencana Aksi Lingkungan Hidup Manusia, serta pembentukan kelembagaan dan dukungan pendanaan bagi pelaksanaan rencana tersebut. Dalam resolusi khususnya, konferensi menetapkan tanggal 5 Juni sebagai Hari Lingkungan Hidup Sedunia, yang diperingati setiap tahun dengan tema yang berbeda sesuai isu prioritas global. Untuk 2025, temanya adalah #Beat Plastic Pollution. Selain itu, disetujui pula usulan Kenya agar Sekretariat UNEP (United Nations Environment Programme) berkedudukan di Nairobi.

Isu lingkungan hidup sangat terkait erat dengan sumber daya alam, pembangunan, dan kehidupan manusia. Oleh karena itu, penanganannya memerlukan tanggung jawab bersama yang dilakukan secara sistematis, terintegrasi, dan komprehensif, baik di tingkat nasional maupun komunitas.

Seiring waktu, isu lingkungan diarusutamakan dalam pembangunan global. Ini tercermin dalam dokumen Our Common Future tahun 1988, hasil kerja World Commission on Environment and Development (WCED) yang diketuai oleh Gro Harlem Brundtland (Norwegia) dan di dalamnya terdapat perwakilan Indonesia, Prof. Dr. Emil Salim. Dokumen tersebut memperkenalkan konsep Sustainable Development atau pembangunan berkelanjutan, yang menekankan keseimbangan antara aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan. Pada tahun 2015, PBB meluncurkan Sustainable Development Goals (SDGs) sebagai komitmen global untuk pembangunan berkelanjutan yang juga mencakup isu kemiskinan, pendidikan, kesehatan, dan sosial.

Kebijakan Lingkungan Indonesia

Di Indonesia, sebagai bagian dari persiapan menuju Konferensi Stockholm, pemerintah mengadakan Seminar Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pembangunan Nasional pada 15–18 Mei 1972 untuk merumuskan posisi Indonesia. Pemerintah kemudian membentuk Panitia Perumus Rencana Kerja bagi pengembangan lingkungan hidup. Menyadari semakin kompleksnya dampak lingkungan akibat pembangunan nasional dan daerah, Presiden Soeharto mengangkat Prof. Dr. Emil Salim sebagai Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup (PPLH) pada 31 Maret 1978 dalam Kabinet Pembangunan III.

Tugas kementerian ini adalah merumuskan kebijakan dan mengkoordinasikan pelaksanaannya dengan kementerian dan lembaga lain, mengingat persoalan lingkungan menyentuh berbagai sektor dan kewenangan daerah. PPLH hadir bukan sebagai pesaing, tetapi sebagai mitra yang bersahabat untuk mengatasi persoalan bersama, dengan pendekatan kolaboratif yang lebih mengedepankan kesadaran dibanding pendekatan represif seperti sanksi atau penegakan hukum yang berpotensi menimbulkan konflik dan ketidakefektifan.

Untuk mendukung pendekatan ini, sejumlah strategi dikembangkan, seperti membangkitkan kesadaran masyarakat melalui peran LSM dan media massa, meningkatkan kapasitas kelembagaan Pusat Studi Lingkungan (PSL) dan pemda, serta mengembangkan perangkat hukum seperti UU 4/1982, AMDAL (PP 29/1986), dan standar mutu lingkungan. Fokus pengendalian diarahkan pada pencemaran air karena langsung memengaruhi kualitas hidup masyarakat berpenghasilan rendah. Penanganan kasus dilakukan melalui pendekatan advokasi dan koordinasi dengan pemangku kewenangan masing-masing.

Kalpataru dan Kolaborasi

Dalam semangat “bermain cantik dan tidak menginjak kaki orang,” lahirlah penghargaan Kalpataru pada tahun 1980 atas gagasan Prof. Dr. Emil Salim. Kalpataru adalah penghargaan tertinggi dari Presiden RI kepada individu atau kelompok masyarakat yang berjasa dalam pelestarian lingkungan. Nama dan lambangnya terinspirasi dari relief Candi Borobudur, Prambanan, dan Pawon, sebagai simbol harapan akan masa depan yang lestari dan berkelanjutan, berakar pada kearifan lokal.

Kalpataru dimaksudkan menjadi inspirasi dan pemicu tumbuhnya kesadaran, tanggung jawab, dan kolaborasi multipihak dalam mengatasi persoalan lingkungan. Sejak 1980 hingga kini, sebanyak 428 orang dan kelompok telah menerima penghargaan ini, terbagi dalam kategori Perintis, Pengabdi, Penyelamat, dan Pembina Lingkungan. Mereka adalah para local champions yang menjadi penggerak perubahan di berbagai daerah Indonesia.

Peran mereka sangat relevan di tengah krisis lingkungan global saat ini, yakni krisis tiga serangkai (Triple Planetary Crisis) yang meliputi pencemaran, perubahan iklim, dan hilangnya keanekaragaman hayati. Meski krisis ini terjadi di tingkat global, solusi banyak lahir dari praktik terbaik di tingkat lokal berbasis kearifan lokal. Jika diperkuat dan direplikasi secara sistematis, para penerima Kalpataru dapat berkontribusi pada penyelesaian krisis lingkungan global.

Semangat ini sejalan dengan prinsip Act Locally, Think Globally ataupun sebaliknya, karena keduanya bermuara pada misi yang sama: menyelamatkan Bumi. Kalpataru juga merupakan wujud dukungan untuk memperkuat keharmonisan antara manusia, lingkungan, dan budaya, serta membangun toleransi antarumat beragama untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur.

Krisis lingkungan global yang multidimensi ini tidak bisa ditangani oleh satu pihak saja. Diperlukan kolaborasi dari semua elemen: birokrat, peneliti, praktisi, penggiat lingkungan, serta komunitas masyarakat dengan segala entitasnya.

Selamat Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2025!