LIPUTAN KHUSUS:

Seruan Lintas Iman: Cabut Izin Tambang di Seluruh Pulau Kecil


Penulis : Gilang Helindro

Demi keadilan antargenerasi, martabat masyarakat adat, dan kesetiaan pada ajaran suci, koalisi lintas agama dan masyarakat adat menyerukan pencabut seluruh IUP yang merusak pulau kecil.

Tambang

Jumat, 13 Juni 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Koalisi lintas agama dan masyarakat adat yang tergabung dalam Green Faith Indonesia menyerukan pencabutan seluruh izin usaha pertambangan (IUP) di pulau-pulau kecil Indonesia. Seruan ini muncul sebagai respons atas pencabutan empat IUP di Raja Ampat oleh Menteri Investasi/Kepala BKPM, Bahlil Lahadalia, yang dinilai belum cukup untuk menghentikan kerusakan ekologis yang meluas.

Direktur Green Faith Indonesia, Hening Parlan, dalam keterangan tertulisnya menegaskan bahwa pertambangan di pulau kecil mempercepat kehancuran ekosistem dan memperparah krisis iklim. “Sebagai bangsa kepulauan, kita memiliki amanah spiritual dan konstitusional untuk menjaga lebih dari 10 ribu pulau kecil. Mencabut seluruh IUP yang merusak adalah bentuk ketaatan kepada Tuhan,” ujarnya dikutip Kamis, 12 Juni 2025.

Hening juga menekankan bahwa aktivitas pertambangan di pulau kecil telah melanggar Undang-Undang No. 27 Tahun 2007, khususnya Pasal 35 dan 73. Ia mendesak agar langkah pencabutan IUP tidak berhenti di Raja Ampat. “Cinta tanah air berarti melindungi seluruh pulau-pulau kecil dari eksploitasi yang rakus dan tidak berkelanjutan.”

Transisi energi pun turut dikritik. Menurut Hening, industri tambang nikel yang diklaim mendukung energi hijau justru menghadirkan penderitaan baru. Forest Watch Indonesia mencatat kehilangan 5.700 hektare hutan di Maluku Utara sejak 2021. Studi Nexus Foundation (2024) bahkan menemukan kandungan logam berat berbahaya seperti merkuri dan arsenik dalam tubuh warga dan ikan di Teluk Weda, melebihi kadar di tubuh pekerja industri.

Sektor industri pertambangan, hingga Desember 2023, terdapat 218 izin usaha pertambangan yang mengkapling 34 pulau kecil di Indonesia. Dok: Jatam

Kondisi kesehatan warga memburuk drastis. Kasus ISPA di kawasan tambang melonjak dari 434 (2020) menjadi 10.579 kasus (2023), dengan tambahan 500 kasus diare per tahun. “Transisi energi seharusnya selaras dengan nilai keadilan ekologis, bukan menciptakan kezaliman baru,” kata Hening.

Seruan Green Faith Indonesia didukung tokoh-tokoh lintas agama. Dari Gereja Katolik, Uskup Timika Mgr. Bernardus Bofitwos Baru OSA mengungkapkan kesedihan mendalam atas kerusakan lingkungan di Raja Ampat. “Perasaan saya tercabik-cabik. Raja Ampat adalah mahakarya Tuhan yang dilukai oleh ketamakan manusia,” ujarnya dalam khotbah Pentakosta di Timika.

Sementara itu, Pendeta Prof. Binsar Pakpahan, Ph.D dari STFT Jakarta, menyebut eksploitasi tambang sebagai wujud “keserakahan struktural” yang bertentangan dengan kehendak Tuhan. “Gerakan hidup cukup dan sederhana harus menjangkau dunia usaha dan pembuat kebijakan. Umat beriman wajib berdiri membela ciptaan,” tegasnya.

Dari kalangan Muslim, Roy Murtadho dari Pesantren Ekologi Misykat Al-Anwar menyayangkan pemimpin yang lebih berpihak pada industri tambang ketimbang masyarakat. “Ini adalah dilema etika. Tambang menyebabkan kerusakan habitat, pencemaran, dan penurunan kualitas air dengan dampak jangka panjang,” ujarnya.

Romo Ferry Sutrisna Widjaja dari Eco Camp Bandung mengingatkan seruan Paus Fransiskus dalam Laudato Si: “Dunia seperti apa yang akan kita tinggalkan untuk generasi mendatang?” Ia menekankan pentingnya mendengar “jeritan alam” dan masyarakat lokal yang terdampak tambang.

Dari Bali, Putu Ardana dari Masyarakat Adat Dalem Tamblingan menyampaikan bahwa masyarakat adat sejak dahulu telah memiliki keimanan yang menghormati alam, seperti tercermin dalam “Piagem Gama Tirta” yang memuliakan air sebagai sumber kehidupan.

Sementara itu, Upasaka Titha Sukho dari komunitas Buddhis menegaskan bahwa merusak hutan berarti menentang Dhamma dan menanam penderitaan baru. “Dalam ajaran Buddha, melindungi hutan adalah bagian dari moralitas. Alam adalah tempat hidup semua makhluk,” katanya.

Di akhir pernyataannya, Green Faith Indonesia menegaskan bahwa seruan ini bukan hanya suara masyarakat sipil, tetapi juga “suara iman” lintas agama yang membela keberlanjutan bumi. “Demi keadilan antargenerasi, martabat masyarakat adat, dan kesetiaan pada ajaran suci, kami menyerukan: Cabut seluruh IUP yang merusak pulau kecil. Lindungi bumi, hormati iman, dan pulihkan masa depan.”