LIPUTAN KHUSUS:

Innalillahi... 289 Pulau Kecil!


Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Terdapat setidaknya 289 pulau kecil di Indonesia yang dibebani izin tambang. Beban besar pulau-pulau kecil.

Tambang

Selasa, 17 Juni 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Marinus Dimalau nyaris tak mampu menahan emosinya saat berbicara tentang keberadaan perusahaan tambang nikel di Pulau Kawe, di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya. Dengan nada tinggi ia menyebut manfaat keberadaan tambang itu nol besar, setidaknya bagi ia dan ratusan warga yang tinggal di kampungnya. 

Tetua kampung Saleo ini mengatakan, alih-alih memberi manfaat, keberadaan perusahaan tambang justru merusak keharmonisan marga-marga suku Kawe. Sebab, sejauh yang ia tahu, hanya warga yang tinggal di kampung Salpele saja yang menerima manfaat tambang, dan itupun tak semua marga mendapatkannya. 

“Di Salpele itu juga hanya dua marga saja yang dapat (manfaat). Dua marga ini yang kenyang betul-betul. Saya bilang hati-hati. Jangan kita orang mau ditipu-tipu teman,” kata Marinus, saat ditemui tim Betahita, pada 19 Desember 2024. 

Marinus mengaku sedih dengan kondisi ini. Bukan hanya karena ketidakharmonisan antar-marga saja, tapi juga terhadap berkah tanah Pulau Kawei, yang ia pikir telah direnggut dari penduduk asli oleh perusahaan.

Bentang kerusakan akibat tambang nikel di Pulau Kawei karena tambang nikel milik PT Kawei Sejahtera Mining. foto: Auriga Nusantara/ Fajar Sandika Negara

“Jangan seperti itu, jangan bermain dengan tanah itu. Tuhan ciptakan pulau Kawe untuk semua umat manusia,” ucap Marinus.

“Jadi hari ini saya katakan, sesuai apa yang saya rasakan. Sudah berapa ratus tongkang (pengangkut ore nikel) yang keluar. Kami sangat merasa asing tanah pulau Kawe.” imbuhnya.

Keluh kesah Marinus ini hanyalah satu di antara banyak cerita kegamangan hidup masyarakat yang tinggal di pulau-pulau kecil yang berada dalam cengkeraman izin tambang di Indonesia.

Menurut data Auriga Nusantara, saat ini terdapat setidaknya 289 pulau kecil di Indonesia, seluas total 1,9 juta hektare, berada dalam ancaman aktivitas tambang. Sedikitnya ada 380 unit izin tambang yang membebani pulau-pulau kecil itu. Tiga di antaranya berada di Raja Ampat dan telah dicabut oleh pemerintah beberapa waktu lalu.

“Izin-izin tambang itu dipegang oleh sebanyak 325 badan usaha. Izin-izin itu tersebar setidaknya di 21 provinsi di Indonesia. Komoditas pertambangannya mulai dari pasir sampai nikel,” kata Hilman Afif, Juru Bicara, Auriga Nusantara, 15 Juni 2025.

Hilman menuturkan, pulau-pulau kecil terancam tambang itu masih memiliki tutupan hutan alam yang cukup luas, yakni mencapai sekitar 928.778 hektare. Pulau-pulau kecil terancam tambang dengan tutupan hutan terluas itu di antaranya adalah Pulau Bacan, Pulau Mangoli, Pulau Harapan, dan Pulau Karakelan.

“Kami juga menemukan adanya hutan alam yang hilang di pulau-pulau kecil itu. Menurut data, hingga Desember 2024, luas deforestasinya mencapai sekitar 1.60,52 hektare,” ujar Hilman.

Berdasarkan analisis spasial, lanjut Hilman, ratusan izin tambang itu memiliki luas, sesuai izinnya, sekitar 916 ribu hektare. Sekitar 388 ribu hektare di antaranya beririsan dengan atau berada di pulau-pulau kecil. Tiga pulau kecil dengan areal izin tambang terluas yakni Pulau Harapan seluas 107 ribu hektare, Pulau Mangoli 83 ribu hektare, dan Pulau Kabaena 36 ribu hektare.

“Dari sekian banyak pulau-pulau kecil yang dibebani izin tambang itu, sebanyak 256 pulau masuk dalam kategori pulau sangat kecil. Pulau sangat kecil ini luasnya di bawah 10 ribu hektare,” katanya.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) No. 10 Tahun 2024 tentang Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan Perairan di Sekitarnya, pertambangan mineral dan batu bara termasuk dalam jenis kegiatan yang tidak diperbolehkan dilakukan pada pulau-pulau yang luasnya di bawah 10 ribu hektare atau 100 km persegi.

Direktur Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Direktorat Jenderal Pengelolaan Kelautan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Ahmad Aris, mengatakan, berdasarkan Permen KP No. 10 Tahun 2024 itu, pulau-pulau dengan ukuran sangat kecil tertutup untuk kegiatan pertambangan.

Aris menjelaskan, pulau-pulau kecil memungkinkan kita bisa melihat lautan dari sisi manapun pulau. Pulau-pulau sangat kecil itu, imbuh Aris, terbentuk dari laut, sehingga, apapun aktivitas di daratan, pasti akan berpengaruh kepada laut. 

“Sehingga kegiatan yang sifatnya eksploitatif mengubah bentang alam, tidak boleh dilakukan, karena pasti akan berdampak ke laut,” katanya, dalam media briefing dan peluncuran laporan berjudul "Surga yang Hilang? Bagaimana Pertambangan Nikel Mengancam Masa Depan Salah Satu Kawasan Konservasi Paling Penting di Dunia", yang dirilis Greenpeace Indonesia, pada 12 Juni 2025.

Para peneliti beranggapan, pulau kecil tidak bisa hanya dimaknai sebatas daratan kecil di tengah perairan laut saja. Sesuai definisinya, menurut Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang No. 27 Tahun 2007, pulau kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2 (200 ribu hektare), beserta kesatuan ekosistemnya. 

Kesatuan ekosistem dimaksud dalam pasal itu merujuk pada keterkaitan dan interaksi antara komponen-komponen lingkungan hidup. Yang mana, perubahan pada satu komponen dapat memengaruhi komponen lainnya. Oleh karenanya, pengelolaan pulau kecil perlu mempertimbangkan kesatuan ekosistem untuk menjaga kelestarian lingkungan dan sosial ekonomi masyarakat.

Beberapa pendapat juga menyatakan, ekosistem pulau kecil tidak dapat dibatasi hanya dengan jarak. Karena dalam beberapa kasus, ekosistem satu pulau dan pulau lain di sekitarnya, terhubung secara ekologi.

Tak hanya itu, ekosistem esensial seperti terumbu karang dan biota laut tertentu yang bergantung pada pulau kecil, juga merupakan satu kesatuan ekosistem pulau kecil. Bahkan, peran pulau kecil sebagai tempat masyarakat nelayan bercocok tanam dan tempat singgah, juga merupakan bagian ekosistem dimaksud.

“Jadi, satu kesatuan ekosistem pulau kecil itu tidak hanya dilihat secara ekologis saja, tapi juga dilihat dari sisi biologis, sosiologis, dan kultural,” kata Parid Ridwanudin, Peneliti Kelautan Auriga Nusantara, 15 Juni 2025.