LIPUTAN KHUSUS:

Target FoLU Terancam, yang Langgeng Deforestasi


Penulis : Gilang Helindro

Strategi FoLU Net Sink tidak dijalankan serius di tingkat tapak. Banyak kebijakan justru memfasilitasi Deforestasi secara legal dan sistematis,” kata Anggi

Lingkungan

Minggu, 22 Juni 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Indonesia dinilai gagal dalam menurunkan laju deforestasi dan berpotensi tidak mencapai target penurunan emisi sektor kehutanan dalam kerangka Forest and Other Land Uses (FoLU) Net Sink 2030. Temuan terbaru Forest Watch Indonesia (FWI) menunjukkan bahwa deforestasi justru terus berlangsung secara masif dan terencana, terutama dalam konsesi kehutanan dan perkebunan.

Dalam dokumen resmi FoLU Net Sink 2030, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)--kini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan--menargetkan 60% kontribusi penurunan emisi berasal dari sektor hutan dan lahan.

Anggi Putra Prayoga, Juru Kampanye FWI menyebut, pihaknya mencatat bahwa dalam dua tahun terakhir sejak dokumen itu disahkan (2021–2023), deforestasi di Indonesia justru mencapai 1,93 juta hektare, jauh melampaui batas yang ditetapkan KLHK yaitu minus 577 ribu hektare.

“Strategi FoLU Net Sink tidak dijalankan serius di tingkat tapak. Banyak kebijakan justru memfasilitasi deforestasi secara legal dan sistematis,” kata Anggi, dikutip Jum’at, 20 Juni 2025.

Tampak hutan alam yang ditebang untuk pembangunan kebun kayu di konsesi PT Bayan Tumbuh Lestari di Gorontalo. Foto: FWI.

FWI menemukan deforestasi terjadi dalam area Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH), termasuk hutan alam (HA), hutan tanaman (HT), dan area restorasi ekosistem (RE), serta lewat skema pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan sawit dan perizinan perhutanan sosial. Deforestasi dalam wilayah PBPH saja mencapai 375.368 hektare, yang menurut FWI seharusnya bisa dicegah.

Sebanyak 1,66 juta hektare deforestasi bahkan terjadi dalam wilayah yang diklaim sebagai kawasan hutan negara oleh KLHK. Ini menandakan tidak adanya pengendalian yang efektif atas kawasan yang seharusnya dilindungi.

Pulau-pulau kecil turut menjadi korban meningkatnya deforestasi. Dalam periode 2017–2021, deforestasi di pulau kecil mencapai 318,6 ribu hektare atau sekitar 3% dari deforestasi nasional. FWI memperingatkan bahwa 3,49 juta hektare sisa hutan alam di pulau kecil kini berada dalam ancaman rusak karena tata kelola yang salah arah.

Menurut Anggi, kesalahan utama negara dalam mengelola pulau kecil meliputi: menyamakan pendekatan dengan pulau besar, menggeneralisasi antar pulau kecil, serta tidak adanya pendekatan berbasis ilmiah. “Pendekatan saat ini bias terhadap pulau besar dan tidak mempertimbangkan kerentanan ekologis pulau kecil,” ujarnya.

FWI juga menyoroti kebijakan Kementerian melalui Permen LHK No. 7/2021, yang membuka peluang eksploitasi di pulau kecil, termasuk tambang, tanpa batasan luas. Kebijakan ini dinilai bertentangan dengan UU No. 27/2007 jo. UU No. 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K) serta putusan MK No. 35/PUU-XXI/2023.

Masuknya RUU Kehutanan dalam Prolegnas 2025 menjadi sorotan akademisi. Para ahli mengingatkan agar revisi tidak justru melegalkan kerusakan melalui penguatan pasal-pasal kontroversial yang merupakan turunan UU Cipta Kerja.

Prof. Agustinus Kastanya dari Universitas Pattimura menilai paradigma UU Kehutanan masih kolonialistik, berbasis domein verklaring, yang mengklaim hutan sebagai milik negara. “Ini menyebabkan 66% ruang hidup masyarakat ditetapkan sebagai kawasan hutan. Di pulau kecil, 62% wilayah diklaim sebagai kawasan hutan, tetapi tata kelolanya destruktif,” ujarnya.

Sementara itu, Dr. Andi Chairil Ichsan dari Universitas Mataram menekankan perlunya redefinisi istilah seperti ‘hutan’, ‘kawasan hutan’, dan ‘deforestasi’ agar tidak terus digunakan untuk menyamarkan kerusakan. Menurutnya, regulasi turunan UU Cipta Kerja menjadikan kawasan hutan sebagai komoditas untuk proyek pangan, tambang, dan energi.

Prof. La Ode M. Aslan dari Universitas Halu Oleo menyebut 242 pulau kecil telah dikaveling untuk tambang dengan luas mencapai 245 ribu hektare setara tiga kali luas Singapura. “Tambang tidak hanya menghancurkan daratan, tetapi juga mencemari pesisir, laut, dan meracuni kehidupan masyarakat seperti di Pulau Kabaena,” tegasnya.

FWI menekankan bahwa deforestasi tidak boleh dimaknai semata sebagai persoalan emisi karbon. Di balik kerusakan hutan, terdapat hilangnya fungsi ekosistem penting: pengatur iklim, konservasi air dan tanah, pengendalian bencana, biodiversitas, serta sumber pangan dan air masyarakat adat.

“Upaya menurunkan deforestasi harus dilandasi komitmen melindungi hutan sebagai ekosistem hidup, bukan sekadar target iklim,” pungkas Anggi. Ia menekankan bahwa revisi UU Kehutanan adalah momentum penting untuk menata ulang arah kebijakan kehutanan agar berpihak pada perlindungan hutan dan keadilan ekologis bagi masyarakat adat dan komunitas lokal.