LIPUTAN KHUSUS:

Di PN Palembang, Api Menyala dan Keadilan Padam


Penulis : Gilang Helindro

Greenpeace menilai pengadilan mengabaikan fakta bahwa bahaya kebakaran lahan gambut dan kabut asap masih mengancam Sumsel.

Hukum

Selasa, 08 Juli 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Putusan Pengadilan Negeri (PN) Palembang yang menolak gugatan korban kabut asap dan gugatan intervensi Greenpeace Indonesia terhadap tiga perusahaan kayu menuai kekecewaan dan protes dari berbagai kalangan. Dalam amar putusannya yang diunggah di laman e-Court pada 3 Juli 2025, majelis hakim menyatakan gugatan niet ontvankelijke verklaard (NO) alias tidak dapat diterima, dengan alasan yang belum dijelaskan secara lengkap ke publik.

Gugatan tersebut diajukan oleh belasan warga terdampak kabut asap di Sumatera Selatan serta Greenpeace Indonesia sebagai penggugat intervensi, terhadap PT Bumi Mekar Hijau, PT Bumi Andalas Permai, dan PT Sebangun Bumi Andalas Wood Industries. Para penggugat menuntut pertanggungjawaban atas kebakaran lahan gambut di konsesi perusahaan tersebut yang menyebabkan kerugian besar, baik secara materiil maupun kesehatan.

“Putusan ini menyesakkan. Pengadilan seperti mengabaikan keterangan saksi dan ahli, serta fakta bahwa bahaya kebakaran lahan gambut dan kabut asap masih mengancam Sumsel,” kata Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Belgis Habiba, dikutip Senin, 7 Juli 2025.

Putusan ini dijatuhkan di tengah status Siaga Darurat Asap yang baru saja ditetapkan Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan. Penolakan gugatan ini dianggap melemahkan upaya mitigasi dan penegakan hukum terhadap kejahatan ekologis yang terus berulang.

Sekelompok aktivis dan korban kabut asap menggelar aksi damai di depan gedung Pengadilan Negeri di Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia, pada 4 Juli 2025. Foto: Greenpeace/Abriansyah Liberto.

Tim kuasa hukum penggugat menyatakan masih menunggu salinan resmi putusan dan akan mempertimbangkan langkah banding. “Jika majelis hakim membiarkan perusahaan penghasil kabut asap lepas dari tanggung jawab, maka penderitaan warga akan terus berulang,” ujar Ipan Widodo, kuasa hukum penggugat.

Sebagai bentuk protes, korban kabut asap dan sejumlah elemen masyarakat menggelar aksi tabur bunga di depan PN Palembang. Mereka mengenakan pakaian hitam sebagai simbol duka atas “padamnya keadilan”, dan membentangkan poster bertuliskan “PN Palembang Bikin Makin Sesak” serta “Turut Berdukacita Atas Padamnya Keadilan di PN Palembang”.

Muhkamat Arif, salah satu dari 11 penggugat, menyatakan kekecewaannya atas putusan ini. “Ini mengecewakan, tapi kami tidak akan berhenti. Perjuangan untuk udara bersih akan terus berlanjut,” ujarnya.

Inisiasi Sumatera Selatan Penggugat Asap (ISSPA) mendesak Badan Pengawas Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial untuk mengevaluasi putusan ini. Mereka menilai, keputusan tersebut mencerminkan absennya keberpihakan yudisial terhadap hak masyarakat atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat, terlebih di tengah darurat iklim yang semakin nyata.

Merujuk pada Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2017, ISSPA mengingatkan bahwa keadilan substantif seharusnya lebih dikedepankan ketimbang keadilan prosedural. “Putusan NO ini hanya menambah panjang daftar ketidakadilan ekologis di Indonesia,” kata ISSPA.