LIPUTAN KHUSUS:

Lewat Tenggat, MK Diminta Segera Putus Uji Formil UU Konservasi


Penulis : Gilang Helindro

Mahkamah Konstitusi seharusnya sudah memutus perkara ini paling lambat 28 Juni 2025. Ini pertama kalinya MK melewati batas waktu.

Hukum

Rabu, 09 Juli 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Tim Advokasi untuk Konservasi Berkeadilan mendesak Mahkamah Konstitusi (MK) segera mengeluarkan putusan atas uji formil Undang-undang Nomor 32 Tahun 2024 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU KSDAHE). Desakan ini muncul karena hingga kini MK belum menjatuhkan putusan, padahal tenggat waktu maksimal telah terlampaui.

Kuasa hukum pemohon, Viktor Santoso, menjelaskan bahwa berdasarkan Putusan MK Nomor 79 Tahun 2019, permohonan uji formil harus diputus dalam waktu paling lama 60 hari sejak pemerintah menyampaikan keterangannya. Dalam perkara Nomor 132/PUU-XXII/2024, Presiden telah memberikan keterangan pada 28 April 2025.

“Artinya, MK seharusnya sudah memutus perkara ini paling lambat 28 Juni 2025. Ini pertama kalinya MK melewati batas waktu sejak aturan itu berlaku,” kata Viktor dalam keterangan tertulisnya, dikutip Selasa, 8 Juli 2025.

Ia menambahkan bahwa keterlambatan tersebut dapat menimbulkan persoalan baru di lapangan dan meminta MK untuk segera menyampaikan perkembangan terbaru, termasuk dugaan pelanggaran terhadap putusan sela yang pernah dijatuhkan.

Organisasi masyarakat sipil dan masyarakat adat mengajukan pengujian formil UU KSDAHE ke Mahkamah Konstitusi, Kamis, 19 September 2024. Dok. Istimewa

Sementara itu, Direktur Eksekutif Nasional WALHI, Zenzi Suhadi, berharap MK menyatakan UU KSDAHE cacat secara prosedural dan memerintahkan pemerintah untuk patuh pada konstitusi. Ia menilai UU tersebut dapat memisahkan masyarakat dari wilayah hidupnya serta membuka peluang masuknya kepentingan ekonomi dalam kawasan konservasi.

“UU ini cacat ideologis dan fungsional. Misalnya, pembolehan aktivitas geotermal di taman nasional jelas bertentangan dengan prinsip konservasi,” ujarnya.

Di sisi lain, Deputi Pengelolaan Pengetahuan KIARA, Fikerman Saragih, menyebutkan bahwa pasal-pasal dalam UU KSDAHE, seperti Pasal 5 dan Pasal 8, dapat menjadi dasar perampasan wilayah kelola masyarakat adat. Ia juga menyoroti ancaman kriminalisasi terhadap masyarakat adat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

“Jika negara tidak mengakui konservasi yang dilakukan masyarakat, maka wilayah itu bisa diambil alih. Ini bentuk ketidakadilan yang harus dicegah,” katanya.

Tim Advokasi berharap MK segera menjatuhkan putusan demi kepastian hukum dan perlindungan hak-hak masyarakat yang terdampak UU KSDAHE.