
LIPUTAN KHUSUS:
Ulama Perempuan Tegur Pemerintah agar Jaga Lingkungan
Penulis : Gilang Helindro
Kongres Ulama Perempuan telah mengeluarkan fatwa keharaman merusak lingkungan sejak 2017.
Lingkungan
Minggu, 27 Juli 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Jaringan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) menyerukan aksi nyata pelestarian lingkungan dan pengelolaan sampah berkelanjutan dalam konsolidasi nasional yang digelar di Yogyakarta pada 22–24 Juli 2025. Pertemuan ini menegaskan bahwa menjaga lingkungan adalah kewajiban individual (fardhu ’ain) bagi setiap manusia, bukan hanya tanggung jawab negara. Agenda ini didukung oleh Indonesia untuk Kemanusiaan (IKa) dan Climateworks Foundation.
Dalam siaran persnya, KUPI menyoroti krisis lingkungan di Indonesia yang masih berlangsung akibat maraknya industri ekstraktif yang merusak, buruknya pengelolaan sampah, dan lemahnya penegakan hukum. Ironisnya, kerusakan ini kerap dibenarkan dengan dalih-dalih agama. Menyikapi kondisi ini, KUPI sejak 2017 telah mengeluarkan fatwa keharaman merusak lingkungan, yang diperkuat pada 2022 dengan fatwa kewajiban mengelola sampah secara sehat dan berkelanjutan.
“Fatwa tersebut telah menginspirasi jaringan ulama perempuan di berbagai daerah untuk mengembangkan praktik pelestarian lingkungan, terutama di lingkungan pesantren,” tulis KUPI dalam siaran persnya pada Sabtu, 26 Juli 2025. “Inisiatif ini berkembang di banyak wilayah, antara lain Garut, Cirebon, Jepara, Sumenep Madura, Purworejo, Aceh Barat Daya, Kalimantan Selatan, Makassar, Metro Lampung, Magelang, hingga Bantul Yogyakarta. Kesadaran merawat bumi sebagai amanah ilahi menjadi landasan utama dari gerakan ini.” tambahnya.
Dalam pertemuan konsolidasi di Yogyakarta, KUPI merumuskan sembilan seruan penting. Pertama, pemerintah sebagai ulil amri didesak untuk menegakkan konstitusi terkait pelestarian lingkungan secara adil dan berkelanjutan, serta tegas menindak segala bentuk perusakan alam, termasuk dalam proyek-proyek ekstraktif yang harus benar-benar memberi manfaat bagi rakyat tanpa merusak ekosistem secara permanen. Kedua, KUPI mengecam segala bentuk kriminalisasi terhadap pegiat lingkungan di berbagai daerah dan menuntut pemerintah melindungi hak warga negara dalam menyuarakan kritik serta menjamin keselamatan mereka.

Ketiga, pemerintah diminta mencurahkan sumber daya yang lebih besar untuk mengembangkan teknologi ramah lingkungan serta mendukung upaya masyarakat dalam mengatasi krisis lingkungan. Keempat, para pelaku usaha diharapkan mematuhi peraturan dengan mengedepankan prinsip ekonomi berkelanjutan, serta bertanggung jawab penuh atas dampak lingkungan dari aktivitas mereka, termasuk dalam upaya pemulihan ekosistem.
Kelima, organisasi masyarakat diajak untuk memperkuat peran dalam mendampingi kelompok marjinal yang terdampak langsung oleh aktivitas ekstraktif atau bentuk perampasan ruang hidup lainnya. Keenam, lembaga pendidikan, khususnya pesantren dan perguruan tinggi keagamaan, diimbau untuk mengintegrasikan isu lingkungan dalam kurikulum dan mengeksplorasi teks-teks keagamaan yang mendorong perlindungan lingkungan.
Ketujuh, media massa baik konvensional maupun nonkonvensional didorong untuk menjalankan fungsinya sebagai pilar demokrasi yang menyuarakan kepentingan rakyat dan mengangkat isu-isu lingkungan secara kritis, bukan justru menjadi corong kekuasaan dan oligarki. Kedelapan, masyarakat luas diajak membangun jejaring kolaboratif lintas elemen termasuk dengan akademisi, organisasi masyarakat sipil, dan pemangku kebijakan untuk memperkuat gerakan pelestarian lingkungan.
Terakhir, keluarga didorong menjadi basis awal edukasi lingkungan, dengan membiasakan pengelolaan sampah sejak dari rumah, termasuk upaya mengurangi, memilah, dan mengolah limbah konsumsi. Seruan ini menegaskan komitmen ulama perempuan dalam merawat bumi sebagai bagian dari dakwah keadilan dan tanggung jawab keagamaan yang kolektif.