
LIPUTAN KHUSUS:
Bank Nasional Terus Biayai Proyek Batu Bara, Tembus US$7,2 M
Penulis : Kennial Laia
Bank Mandiri menyumbang pendanaan terbesar untuk industri batu bara dalam negeri.
Energi
Sabtu, 02 Agustus 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Perbankan nasional terus menyediakan pendanaan untuk proyek energi fosil, meskipun sektor ini diketahui merusak iklim dan lingkungan. Menurut sebuah laporan terbaru, ratusan triliun tercatat mengalir ke bisnis pertambangan dan pembangkit listrik batu bara selama empat tahun terakhir. Lemahnya komitmen pemerintah terhadap iklim disebut sebagai penyebab utama.
Total pendanaan dari bank untuk industri batu bara mencapai US$7,2 miliar atau Rp118,72 triliun sepanjang 2021-2024. Dari angka tersebut, US$5,6 miliar atau setara Rp92,34 triliun disumbang oleh lima bank besar seperti Bank Mandiri, Bank Rakyat Indonesia, Bank Nasional Indonesia, Bank Central Asia, dan Bank Permata, berdasarkan laporan terbaru dari Koalisi #BersihkanBankmu.
Bank Mandiri memberikan pendanaan paling banyak, dengan total US$3,2 miliar atau Rp52,76 miliar.
Otoritas Jasa Keuangan telah mengategorikan pertambangan batu bara maupun pembangkit listrik (PLTU) batu bara tanpa teknologi pengurangan emisi sebagai aktivitas yang merusak lingkungan dan iklim. Di sisi lain, pemerintah terus mendorong penambahan kapasitas PLTU batu bara hingga 6,3 gigawatt untuk periode 2025-2034 melalui rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) PLN terbaru. Adapun PLTU captive untuk industri dengan total kapasitas 11 GW akan dibangun hingga 2026.

“Inkonsistensi kebijakan ini membuat kelima bank besar tersebut belum memiliki kebijakan tegas untuk melarang pendanaan ke sektor-sektor ini. Akibatnya, mereka tetap secara aktif memfasilitasi investasi pada proyek yang membahayakan keberlanjutan lingkungan,” kata Nabilla Gunawan, penulis laporan yang juga peneliti Koalisi #BersihkanBankmu.
Menurut Nabila, pembiayaan sektor batu bara berisiko bagi bisnis perbankan di masa depan. Saat ini proyek energi fosil memiliki reputasi buruk karena merusak iklim dan lingkungan, sehingga bank pendana berpotensi kehilangan kepercayaan investor dan mitra bisnis.
Dari sisi ekonomi, permintaan batu bara global terus menurun. Bahkan, ekspor batu bara Indonesia mencapai rekor terendah pada kuartal I-2025 ini lantaran turunnya permintaan dari China dan India yang mulai mengurangi ketergantungan mereka terhadap batu bara.
Bank Dunia juga memproyeksikan harga batu bara akan terus menurun hingga 2026. Sementara itu, proyek hilirisasi batu bara yang digencarkan pemerintah masih belum menunjukkan hasil signifikan akibat lemahnya kelayakan ekonomi, meskipun sudah ditetapkan sebagai sektor prioritas dalam program Danantara dan didukung insentif keuangan.
Nabila mengatakan, pemerintah perlu mengadopsi kebijakan finansial berbasis sains dalam upaya mengikuti target nol emisi 2050. “Perbankan Indonesia perlu menerapkan kebijakan coal exclusion untuk tidak mendanai proyek batu bara baru maupun ekspansi, termasuk pembangkit captive, sebagai bentuk mitigasi risiko keuangan terkait iklim,” katanya.
“Selain itu, diperlukan target penurunan eksposur portofolio terhadap batu bara secara bertahap dan sejalan dengan jalur ilmiah menuju dekarbonisasi,” kata Nabilla.
Managing Director Energy Shift Institute Putra Adhiguna mengatakan, pemerintah perlu menciptakan kondisi agar perbankan nasional mengucurkan pembiayaan ke sektor energi terbarukan. Salah satunya dengan memperbaiki perencanaan pengembangan energi hijau, yakni tidak hanya merilis rencana jangka panjang seperti RUPTL, tetapi juga memastikan adanya proyek-proyek energi terbarukan yang ditawarkan dalam jangka pendek.
“Asia Tenggara, termasuk Indonesia ini masih tertinggal investasinya (untuk energi terbarukan) dengan negara-negara lain. Indonesia perlu mulai membangun jembatan menuju masa depan seiring dunia berubah. Menciptakan peluang dan memanfaatkan kekayaan yang ada sangatlah penting, bukan hanya menunggu bantuan,” kata Putra.
Hal lain yang penting yakni peran Badan Pengelola Investasi (BPI) Daya Anagata Nusantara (Danantara) selaku super holding bank-bank BUMN, seperti Bank Mandiri, BNI, BRI. Danantara diproyeksikan mengelola dana hingga Rp15.000 triliun.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan, Danantara selaku pengelola bank BUMN seperti Mandiri dan BRI harus melakukan uji kelayakan terhadap proyek yang akan dibiayainya. Ini termasuk integrasi standar lingkungan, sosial, dan tata kelola. Apalagi, Danantara bergabung dalam International Forum of Sovereign Wealth Fund (IFSWF) yang menerapkan Santiago Principles.
"Prinsip ini bertujuan untuk memastikan bahwa IFSWF dikelola dengan transparansi, akuntabilitas, dan prinsip tata kelola yang baik, dengan tujuan untuk menjaga dan memaksimalkan nilai aset negara untuk jangka panjang," kata Bhima.
"Dengan dana kelolaan yang besar dan bergabungnya Danantara dalam forum tersebut, seharusnya ada taksonomi berkelanjutan dan mempunyai tekanan yang tepat kepada BUMN untuk investasi dan pendanaan kepada energi terbarukan,” kata Bhima.