LIPUTAN KHUSUS:

Masyarakat Adat Meratus Tolak Usulan Taman Nasional


Penulis : Gilang Helindro

Masyarakat Adat Meratus sudah mendiami hutan ini jauh sebelum ada Indonesia. Hutan adalah ibu kami, sumber obat-obatan, pangan, dan ekonomi, kata perwakilan Masyarakat Adat Meratus.

Masyarakat Adat

Kamis, 14 Agustus 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Rencana penetapan 119.779 hektare Pegunungan Meratus di Kalimantan Selatan menjadi Taman Nasional menuai penolakan dari Masyarakat Adat Meratus dan organisasi masyarakat sipil. Mereka khawatir kebijakan ini menjadi kedok perampasan ruang hidup, membatasi akses terhadap sumber daya alam, dan mengabaikan pengelolaan hutan adat yang telah berlangsung lestari selama ratusan tahun.

“Masyarakat Adat Meratus sudah mendiami hutan ini jauh sebelum Indonesia ada. Hutan adalah ibu kami, sumber obat-obatan, pangan, dan ekonomi. Jika wilayah adat dijadikan Taman Nasional, kami akan kehilangan penghidupan dan budaya,” kata Anang Suriani, perwakilan Masyarakat Adat Meratus dalam keterangan tertulisnya dikutip Kamis 14 Agustus 2025.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kalimantan Selatan menduga penetapan Taman Nasional tidak terlepas dari kepentingan penguasaan wilayah demi bisnis ekstraktif. “Selama ini Meratus dieksploitasi tambang dan sawit. Penetapan Taman Nasional justru bisa memperkuat penyingkiran rakyat,” ujar Direktur Eksekutif WALHI Kalsel, Raden Rafiq.

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalsel menegaskan bahwa konservasi adat telah terbukti menjaga kelestarian Meratus. “Konservasi ala masyarakat adat harus diakui dan dilindungi pemerintah,” kata Rubi, Ketua Pengurus Harian Wilayah AMAN Kalsel.

Aliansi Masyarakat Adat Meratus Tolak Usulan Taman Nasional. Foto istimewa.

Kritik juga datang dari WALHI Nasional. Manajer Kampanye Hutan dan Kebun, Uli Arta Siagian, menilai kebijakan ini mencerminkan paradigma konservasi usang yang memandang rakyat sebagai ancaman. “Paradigma ini telah memicu banyak konflik tenurial. Revisi UU Kehutanan harus menjadi momentum perubahan total,” ujarnya.

Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum, dan HAM AMAN, Muhammad Arman, menilai penetapan kawasan hutan secara sepihak mengingkari hak masyarakat adat dan mendorong kemiskinan. Ia mendesak pengesahan RUU Masyarakat Adat yang sudah mangkrak lebih dari 15 tahun.

Akademisi Universitas Lambung Mangkurat, Netty Herawaty, menyebut kebijakan sepihak ini menunjukkan pendekatan top-down dan mengabaikan pengetahuan lokal. Sementara itu, Muhammad Ihsan Maulana dari Working Group ICCA Indonesia menilai penetapan Meratus sebagai Taman Nasional berpotensi memicu konflik baru dan menghilangkan praktik konservasi tradisional yang sudah diakui secara internasional sebagai ICCA.

Pernyataan penolakan ini disampaikan dalam diskusi publik “Taman Nasional Meratus untuk Siapa?” yang digelar WALHI Kalsel, AMAN Kalsel, dan jaringan Aliansi Meratus. Acara tersebut menghasilkan Resolusi Meratus yang berisi empat tuntutan, antara lain menolak penetapan Taman Nasional, meminta pencabutan pengajuan dari pemerintah daerah, menghentikan proses penetapan oleh Kementerian Kehutanan, dan mengimplementasikan Perda Provinsi Kalimantan Selatan Nomor 2 Tahun 2023 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.

Aliansi Meratus juga mendesak Presiden dan DPR untuk mengesahkan RUU Masyarakat Adat, merevisi total UU Kehutanan, serta mencabut UU Nomor 32 Tahun 2024 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.