LIPUTAN KHUSUS:

Masyarakat Lokal Harus di Inti Program Energi Terbarukan


Penulis : Kennial Laia

Pengembangan energi terbarukan juga tidak boleh memiliki daya rusak yang sama dengan energi fosil.

Energi

Rabu, 27 Agustus 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID -  Masyarakat lokal dan kelompok rentan harus menjadi inti dan terlibat dalam pengambil keputusan energi terbarukan di Indonesia. Hal ini penting untuk meminimalisir kerusakan lingkungan dan pelanggaran hak asasi manusia, menurut sebuah laporan terbaru. 

Juru Kampanye Energi Terbarukan Trend Asia Beyrra Triasdian mengatakan, partisipasi aktif dari masyarakat juga akan meningkatkan manfaat sosial maupun ekonomi bagi komunitas lokal. Selain itu, pemerintah harus memastikan program energi terbarukan tidak mengeksploitasi manusia serta merusak lingkungan dan keanekaragaman hayati. 

“Pengelolaan sumber daya energi, termasuk cara energi diproduksi, diolah, dan didistribusikan harus diubah secara menyeluruh dengan meninggalkan model eksploitatif dan terpusat menuju model energi yang regeneratif, demokratis, dan berlandaskan pada keadilan,” kata Beyrra.

Saat ini pemerintah sedang menyusun dokumen Kontribusi yang Ditentukan Secara Nasional (NDC) Kedua, untuk konferensi iklim COP30 di Brasil November mendatang. Beyrra mengatakan pelibatan masyarakat tidak cukup hanya di dalam dokumen iklim, tetapi juga nyata di lapangan. “Dengan memastikan masyarakat dilibatkan sebagai aktor utama yang memiliki kapasitas dan hak untuk terlibat di setiap tahap proses,” katanya. 

Pembangkit listrik tenaga mikrohidro berbasis komunitas di Desa Batu Sanggan, Kampar Kiri Hulu, Kampar, Riau. Dok. Trend Asia

Beyrra mengingatkan langkah pengurangan emisi harus bebas dari proyek energi dengan daya rusak setara energi fosil. Hal ini termasuk carbon capture and storage (CCUS), co-firing biomassa di pembangkit listrik yang menyebabkan deforestasi, dan pasar karbon. Pasalnya, Indonesia perlu menekan 459 juta ton CO2e dari sektor energi, kehutanan, limbah, pertanian, dan kelautan. Sektor energi menyumbang porsi terbesar, yaitu 55 persen dari total emisi nasional.  

“Memperpanjang umur energi fosil meningkatkan risiko finansial, menambah utang negara, dan mengunci komunitas rentan dalam lingkar kemiskinan dan paparan polusi yang berkepanjangan. Padahal, biaya pengembangan energi terbarukan saat ini sudah lebih kompetitif dibanding energi fosil,” kata Beyrra. 

Pendanaan transisi energi di COP30 Brasil

Dalam pertemuan iklim COP30 mendatang, peningkatan kapasitas energi terbarukan hingga tiga kali lipat pada 2030 dan penghentian bertahap penggunaan energi fosil menjadi strategi prioritas global. Agar Indonesia dapat mencapai target dekarbonisasi dan komitmen 100 persen energi terbarukan pada 2035, sistem pendanaan transisi energi nasional harus mengalami transformasi mendasar.

Beyrra mengatakan, Bank Pembangunan Multilateral (MDBs) memegang peran krusial dalam pembiayaan transisi energi. "Namun, penyaluran dana ini membutuhkan transformasi struktural, termasuk desentralisasi pengelolaan agar dana dapat diakses langsung oleh masyarakat di wilayah negara-negara berkembang yang paling terdampak krisis iklim sekaligus menjadi pemasok energi bagi negara-negara maju."

Oleh karena itu, peran MDBs perlu dievaluasi ulang jika lembaga ini belum mampu mewujudkan alur pendanaan transisi energi yang benar-benar transformasional,” ujar Beyrra. 

Secara global dibutuhkan sekitar USD 4 triliun untuk transisi energi. Akan tetapi, negara berpenghasilan rendah dan menengah, kecuali Tiongkok, hanya menyumbang sekitar 15 persen dari total belanja energi bersih global. Ini menunjukkan adanya ketimpangan besar dalam distribusi pendanaan, yang berpotensi menghambat transisi energi yang adil secara global. 

“Negara-negara berkembang harus memiliki posisi sebagai pengambil keputusan yang setara dalam forum iklim global. Untuk menunjukkan upaya serius dalam dekarbonisasi dan mencapai 100 persen energi terbarukan menuju COP30, pemerintah Indonesia juga perlu merevisi kebijakan-kebijakan dan peta jalan yang melanggengkan penggunaan energi fosil,” tutup Beyrra.