LIPUTAN KHUSUS:

Praktik Devide et Impera pada Lahan Ancam Keanekaragaman Hayati


Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Fragmentasi terjadi ketika hutan yang lebih besar terpecah menjadi petak-petak yang lebih kecil dan terisolasi, sehingga mengurangi konektivitas dan ukuran habitat.

Hutan

Senin, 15 September 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Deforestasi atau hilangnya hutan alam merupakan masalah yang sudah dikenal luas yang berdampak pada keanekaragaman hayati dan penyimpanan karbon. Namun fragmentasi hutan juga menjadi faktor utama dalam penurunan keanekaragaman hayati dan kemampuan penyimpanan karbon dunia. Hal tersebut dijelaskan sejumlah peneliti dalam sebuah jurnal yang diterbitkan di Science.

Dilansir dari Phys, fragmentasi terjadi ketika hutan yang lebih besar terpecah menjadi petak-petak yang lebih kecil dan terisolasi, sehingga mengurangi konektivitas dan ukuran habitat. Fragmentasi semakin parah ketika petak-petak tersebut menyusut, terbelah, menjadi lebih kompleks bentuknya, atau semakin jauh satu sama lain.

Namun, para ilmuwan masih berusaha mencari cara terbaik untuk mengukur fragmentasi habitat dan laju terjadinya. Para ilmuwan menunjukkan bahwa fragmentasi meningkat di lebih dari setengah hutan dunia, terutama hutan tropis, meskipun sebuah studi pada 2023 menyarankan penurunan fragmentasi selama 20 tahun terakhir.

Penulis studi baru ini percaya bahwa perbedaan tersebut terletak pada metrik yang digunakan. Studi pada 2023 hanya mengandalkan metrik berbasis struktur, yaitu yang melibatkan jumlah tambalan, ukuran, dan panjang tepi. Namun, studi lain yang berfokus pada metrik konektivitas dan agregasi telah menunjukkan peningkatan fragmentasi, terutama di daerah tropis.

Tampak bekas hutan alam yang ditebang di dalam konsesi PT Mayawana Persada. Foto diambil pada Desember 2024. Sumber: Auriga Nusantara.

Menurut para penulis, metrik yang berfokus pada agregasi menilai seberapa terkelompoknya petak-petak lahan, tetapi mungkin juga mengabaikan luas keseluruhan. Metrik yang berfokus pada konektivitas menggabungkan luas petak dan konfigurasi spasial, menawarkan perspektif yang lebih relevan secara ekologi.

“Karena masing-masing menangkap aspek yang berbeda dari fragmentasi, pemilihan metrik yang bermakna secara ekologi sangat penting untuk melacak kemajuan menuju tujuan konservasi dengan akurat," kata para penulis.

Untuk memasukkan semua faktor yang relevan, tim menggunakan sembilan metrik fragmentasi yang dikelompokkan ke dalam struktur, agregasi, dan konektivitas, serta mengembangkan indeks komposit untuk setiap kelompok metrik. Dengan menggunakan data satelit beresolusi tinggi, mereka menganalisis tutupan hutan global dari 2000 hingga 2020 dan juga membandingkan tren di dalam dan di luar kawasan lindung.

Metrik berbasis konektivitas menunjukkan peningkatan fragmentasi pada 51%–67% hutan global dan 58%–80% hutan tropis dari 2000 hingga 2020, sementara metrik agregasi menunjukkan bahwa 57%–83% hutan menjadi lebih terfragmentasi. Di sisi lain, metrik berbasis struktur tim hanya menunjukkan fragmentasi sebesar 30% hingga 35% selama periode yang sama.

Studi ini juga menganalisis faktor-faktor penyebab fragmentasi, yang meliputi pertanian berpindah (37% secara global, 61% di daerah tropis), kehutanan (34% secara global), serta kebakaran hutan dan deforestasi yang didorong oleh komoditas dalam skala yang lebih kecil. Mereka juga menemukan bahwa kawasan lindung mengalami fragmentasi 82% lebih sedikit dibandingkan kawasan tak terlindungi, terutama akibat berkurangnya aktivitas pertanian.

Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar peningkatan fragmentasi berpotensi dapat dibalikkan, karena sering kali disebabkan oleh penggunaan lahan yang dapat dibalikkan, seperti pertanian, penebangan, atau penyebab alami seperti kebakaran hutan. Jika dilindungi, kawasan-kawasan ini dapat dipulihkan seiring waktu.

"Hasil ini menyoroti efektivitas dan pentingnya kawasan lindung tropis dalam membatasi fragmentasi yang disebabkan oleh aktivitas manusia, serta menekankan kebutuhan mendesak untuk memperluas perlindungan di seluruh wilayah tropis," kata para penulis studi.

Para peneliti juga mencatat kemungkinan keterbatasan akibat resolusi data satelit dan kesulitan mendeteksi jalan sempit, membedakan hutan alam dari agroforestri--mungkin meremehkan kehilangan hutan alam, serta kesulitan dalam menangkap regenerasi hutan di bawah 5 meter ketinggian.

Studi ini menekankan kebutuhan akan metrik fragmentasi yang lebih baik dalam studi-studi mendatang. Para peneliti mengungkapkan penurunan yang luas dalam integritas ekologi hutan selama dua dekade terakhir, yang sebagian besar disebabkan oleh aktivitas manusia.

“Perbedaan yang mencolok di antara metrik fragmentasi menyoroti kebutuhan mendesak akan alat-alat yang relevan secara ekologi untuk menilai dan menangani perubahan-perubahan ini dengan akurat,” kata para penulis.