LIPUTAN KHUSUS:
Perairan Sangihe Tercemar Logam Berat Karena Tambang Emas
Penulis : Kennial Laia
Riset terbaru menemukan pencemaran logam berat di perairan Sangihe meningkat tajam. Ancaman bagi pangan dan ruang penghidupan masyarakat.
Tambang
Senin, 06 Oktober 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara, mengalami peningkatan signifikan kadar logam berat di perairan dan ikan yang mengancam ekosistem, sumber pangan, dan kesehatan masyarakat, menurut penelitian terbaru dari Politeknik Negeri Nusa Utara (Polnustar) dan Greenpeace Indonesia.
Pencemaran logam berat tersebut diduga berhubungan dengan aktivitas penambangan emas di pulau tersebut. Laporan tersebut menemukan, alih fungsi lahan untuk penambangan emas pada 2015-2021 mencapai 45,53 persen. Kepulauan Sangihe, yang berada di pusat segitiga terumbu karang dunia dengan keanekaragaman hayati laut terkaya di dunia, semakin terancam.
Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia Afdillah mengatakan, hasil uji laboratorium di perairan Teluk Binebas menemukan konsentrasi logam berat yang telah melampaui baku mutu. Kadar arsen di permukaan air laut mencapai 0,0228 mg/L (standar: 0,012 mg/L) dan timbal mencapai 0,0126 mg/L (standar: 0,008 mg/L).
Angka ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan dokumen AMDAL PT Tambang Mas Sangihe (TMS), yang mencantumkan kandungan arsen di Sangihe sekitar <0.0003 pada="" 2017="" dan="" 0="" 0001="" pada="" 2020="" pencemaran="" ini="" berdampak="" langsung="" pada="" ekosistem="" pesisir="" ditandai="" dengan="" kerusakan="" dan="" kematian="" vegetasi="" mangrove="" serta="" fenomena="" pemutihan="" terumbu="" karang="" span="">coral bleaching), kata Afdillah.
“Temuan ini adalah alarm keras. Sangihe, sebuah pulau kecil dengan keanekaragaman hayati yang luar biasa, sedang menghadapi ancaman kerusakan lingkungan yang sistematis. Situasi ini memerlukan respon serius dari pemerintah untuk mencegah dampak yang lebih luas dan memulihkan kondisi yang sudah rusak,” kata Afdillah.
Afdillah mengatakan, logam berat yang mencemari laut tidak berhenti di perairan, tapi masuk juga ke dalam rantai makanan. Sampel ikan layang, sumber protein utama masyarakat, ditemukan mengandung merkuri/raksa, arsen, dan timbal. Senyawa turunan merkuri, yaitu metilmerkuri, bersifat neurotoksin yang dapat menembus plasenta dan jaringan darah-otak, sangat berbahaya bagi janin dan anak-anak. Analisis risiko berdasarkan tingkat konsumsi ikan lokal menunjukkan bahwa paparan merkuri harian pada balita dapat melebihi batas aman hingga empat kali lipat.
“Data kami menunjukkan adanya kerusakan nyata dan terukur, baik di lingkungan maupun sosial-ekonomi. Peningkatan logam berat tidak hanya merusak laut sebagai sumber kehidupan, tetapi juga menempatkan masa depan anak-anak kita dalam risiko kesehatan jangka panjang. Padahal UU No. 1 Tahun 2014 secara tegas melarang aktivitas tambang di pulau kecil seperti Sangihe,” kata akademisi dan peneliti Polnustar, Frans G. Ijong.
Foto udara tambang emas di Kepulauan Sangihe, Sulut. Dok. Greenpeace Indonesia
Dampak negatif juga terjadi pada ekonomi masyarakat. Para nelayan kini menghadapi berbagai tekanan. Selain cuaca ekstrem dan persaingan dengan nelayan industri yang menggunakan rumpon, kerusakan ekosistem akibat tambang memperparah kondisi mereka. Laporan EcoNusa dan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor (PKSPL IPB) menunjukkan volume tangkapan di Sangihe turun hingga 69,04 persen setelah aktivitas tambang marak, terutama untuk ikan cakalang, bobara, baronang, dan kakap merah. Penurunan tangkapan ikan ini menyebabkan pendapatan nelayan anjlok rata-rata 27,3 persen.
Di sisi lain, janji kesejahteraan dari sektor tambang tidak terwujud bagi para pekerja tambang. Sebagian besar bekerja tanpa kontrak dan pelindungan hukum. Mereka terjebak dalam sistem bagi hasil yang tidak adil, yang seringkali membuat mereka memiliki lebih banyak utang dibandingkan pendapatan.
Laporan tersebut merekomendasikan pemerintah untuk menghentikan seluruh aktivitas pertambangan di Sangihe yang tidak sejalan dengan konsep ekonomi biru dan ekonomi hijau di Provinsi Sulawesi Utara. Pemerintah diminta untuk menetapkan moratorium penerbitan izin pertambangan baru di Sangihe karena termasuk pulau kecil; serta melakukan rehabilitasi terhadap ekosistem mangrove dan terumbu karang yang rusak.
Pemerintah juga harus melakukan pemeriksaan kesehatan bagi masyarakat, terutama anak-anak, di sekitar wilayah tambang; serta menetapkan Kepulauan Sangihe sebagai kawasan pelindungan darat dan laut.
“Sangihe adalah kawasan ekologis yang unik dan tak tergantikan. Aktivitas pertambangan yang didorong keuntungan jangka pendek ini akan menimbulkan kerusakan sumber daya alam secara permanen. Pilihan saat ini adalah bertindak tegas untuk menghentikan perusakan atau membiarkan Sangihe kehilangan masa depan demi kepentingan segelintir pihak,” kata Ijong.
Tangkapan nelayan di Sangihe. Dok. Alif Nouddy Norua/ Greenpeace