LIPUTAN KHUSUS:

IESR: Perlu Reformasi Pengadaan Energi Terbarukan


Penulis : Raden Ariyo Wicaksono

Adopsi energi terbarukan masih lambat karena pengadaannya kurang transparan dan belum memiliki lini masa yang terstruktur.

Energi

Kamis, 09 Oktober 2025

Editor : Yosep Suprayogi

BETAHITA.ID - Hingga Agustus 2025, kapasitas pembangkit energi terbarukan masih sekitar 15,2 GW, belum genap satu persen dari potensi teknis energi terbarukan sebesar 3,66 TW. Padahal Pemerintah Indonesia telah menetapkan target total penambahan kapasitas energi terbarukan dalam Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) 2025-2060 sebesar 269 GW, atau penambahannya sekitar 10,1 GW per tahun selama 35 tahun ke depan.

Untuk mendukung RUKN, PLN menerbitkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034 dengan target penambahan kapasitas hingga 42,1 GW yang berasal energi terbarukan pada 2034. Proses pengadaan energi terbarukan dari PLN salah satunya dilakukan dengan skema Produsen Listrik Swasta (Independent Power Producer, IPP). Namun adopsi energi terbarukan masih lambat, dikarenakan proses pengadaannya berlangsung secara kurang transparan, dan belum memiliki lini masa yang terstruktur.

Koordinator Transisi Sistem Ketenagalistrikan Institute for Essential Services Reform (IESR), Dwi Cahya Agung Saputra, menuturkan bahwa dalam tahap perencanaan energi terbarukan pemerintah mestinya mempertimbangkan kemampuan sistem tenaga listrik dalam menerima pasokan energi dari pembangkit energi terbarukan dan pengaruhnya ke biaya pokok pembangkitan (BPP) sistem.

Beberapa proyek pembangkit fosil yang masih dalam proses konstruksi tetap dilanjutkan dalam RUPTL terbaru, sehingga menjadi tambahan pertimbangan PLN. Selain itu, adanya kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) pada batubara membuat biaya listrik dari batu bara seolah lebih murah dibandingkan energi terbarukan.

Salah satu instalasi pembangkit listrik surya atap di gedung perkantoran di Jakarta. Dok. KESDM

“Akibatnya, PLN masih membandingkan biaya tarif energi terbarukan dengan biaya listrik PLTU yang disubsidi, sehingga membuat tarif energi terbarukan kurang menarik untuk investasi swasta,” kata Dwi Cahya, dalam sebuah siaran pers yang dirilis pada Selasa (7/10/2025).

Dwi Cahya menerangkan, pada tahap pra-lelang dan lelang, pengembang yang ingin berpartisipasi harus masuk dalam Daftar Penyedia Terseleksi (DPT). Namun, untuk mendukung kompetisi yang sehat dalam pengadaan energi terbarukan, maka proses masuk DPT perlu dibuat lebih jelas dan transparan untuk mendorong lebih banyak pengembang berpartisipasi. Selain itu, pengembang juga harus menanggung risiko sejak awal proses pengadaan, karena menanggung biaya studi kelayakan. 

“Indonesia belum punya kalender pengadaan proyek energi terbarukan dalam periode tertentu (multiyear). Hal ini membuat pengembang dan pasar sulit mempersiapkan diri,” jelas Dwi Cahya.

Sementara itu, pada tahapan pascalelang, hambatan lainnya berupa keterlambatan konstruksi karena masalah izin lahan, tumpang tindih rencana tata ruang, dan penolakan masyarakat lokal. Untuk mengatasi hambatan dalam pengadaan energi terbarukan, IESR mendorong tiga rekomendasi.

Pertama, memperbaiki proses perencanaan dengan meningkatkan transparansi dan partisipasi publik dalam penyusunan ataupun revisi RUPTL, termasuk dengan IPP dan pemerintah daerah. Kedua, mereformasi mekanisme pengadaan dengan menerapkan jadwal tetap pembaruan DPT yang transparan dan diawasi oleh KESDM.

“Selain itu, menyusun kalender lelang nasional, serta membuka akses bagi pengembang baru dan startup energi bersih melalui klasifikasi peserta berdasarkan aset dan pengalaman,” ucapnya.

Kemudian, yang ketiga, memperkuat peran PLN melalui pembentukan entitas khusus atau anak perusahaan untuk menjadi offtaker dan pelaksana pengadaan khusus energi terbarukan. PLN juga perlu mendelegasikan pengadaan proyek kecil (< 10 MW) kepada PLN wilayah atau pemerintah pusat melalui skema feed-in tariff nasional.

IESR memandang peningkatan adopsi energi terbarukan, terutama di wilayah timur Indonesia, akan mampu mengentaskan kemiskinan energi serta menyediakan akses terhadap layanan energi bersih, terjangkau, andal, dan aman. Pada akhirnya, hal ini tentunya sejalan dengan upaya Indonesia di dalam mendekarbonisasi sistem energinya secara penuh di 2060 atau lebih awal.

Manajer Riset IESR, Raditya Wiranegara, menyebut Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur, yang terletak di Pulau Timor, menargetkan 47 persen energi terbarukan pada 2034. Target ini telah tercantum dalam rancangan Rencana Umum Energi Daerah (RUED).

Berdasarkan kajian IESR, Pulau Timor memiliki potensi energi terbarukan mencapai 30,81 GW, dengan energi surya dengan potensi terbesar (20,72 GW). Potensi tersebut dapat membuat pulau ini memenuhi seluruh kebutuhan energi dari energi terbarukan.

IESR merekomendasikan strategi berdasarkan jangka waktu untuk mewujudkannya. Dalam jangka pendek (2025–2035), pembatalan proyek PLTU dan PLTG dapat mencegah proses transisi yang mahal dan intensif emisi di Pulau Timor.

Sementara, dalam jangka panjang (2036–2050), pensiun dini pembangkit fosil menjadi jalur dengan biaya paling rendah untuk Pulau Timor. Total investasi yang dibutuhkan untuk mewujudkan Pulau Timor dengan 100 persen energi terbarukan adalah sekitar USD1,54 miliar selama periode 2026–2050.

“Jika strateginya ini dijalankan, pembatalan beberapa proyek PLTU dapat menghindarkan investasi pembangkit fosil sebesar USD191 juta. Sebagai gantinya, dibutuhkan investasi sekitar USD260 juta untuk membangun pembangkit energi terbarukan,” ujar Radit

Selain Pulau Timor, Pulau Sumbawa juga dapat sepenuhnya dialiri energi terbarukan. Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) yang berada di Pulau Sumbawa juga sudah menyusun Peta Jalan Energi Bersih dengan target net-zero emission pada 2050. Total potensi energi terbarukan di Pulau Sumbawa sebesar 10,21 GW, dengan potensi terbesar adalah energi surya (8,64 GW).

IESR, kata Radit, mendorong strategi jangka pendek (2025-2035) dengan mengganti proyek pembangkit listrik yang menggunakan bahan bakar fosil yang sedang dalam perencanaan dengan pembangkit listrik berbasis energi terbarukan. Secara strategi jangka panjang (2036-2050) adalah mengurangi secara bertahap pembangkit listrik fosil dengan strategi penggantian bahan bakar ke hidrogen dan ammonia hijau.