LIPUTAN KHUSUS:

Masyarakat Terdampak Serukan Penutupan PLTU Co-firing Biomassa


Penulis : Kennial Laia

Masyarakat di Jawa Barat mendesak penghentian penggunaan co-firing biomassa pada pembangkit listrik batu bara.

Energi

Rabu, 22 Oktober 2025

Editor : Aryo Bhawono

BETAHITA.ID -  Masyarakat terdampak di sejumlah wilayah menyerukan penutupan pembangkit listrik batu bara, serta penghentian penggunaan co-firing biomassa pada pembangkit listrik batu bara, yang dikhawatirkan akan berdampak pada pangan masyarakat lokal dan konversi hutan alam. 

Pada aksi damai hari Selasa, 21 Oktober 2025, masyarakat lokal dan petani di Indramayu dan Sukabumi, Jawa Barat, menyampaikan penggunaan biomassa untuk program transisi energi telah mengganggu rantai pangan dan keberlanjutan hutan di Pulau Jawa. Aksi tersebut juga merupakan bagian dari Aksi Internasional Big Bad Biomass 2025, sebuah kampanye global yang menyoroti dampak negatif proyek energi biomassa skala besar, seringkali diklaim sebagai solusi untuk pembangkit batu bara yang lebih bersih. 

Di Indramayu, masyarakat membentangkan spanduk dan poster di sekitar PLTU 1 Indramayu. Sedangkan di Sukabumi, masyarakat melakukan aksi dengan membentangkan spanduk di dekat PLTU Pelabuhan Ratu dan kawasan hutan tanaman energi di Hanjuang Barat, disertai aksi menanam tanaman pangan di kawasan tersebut. 

“Keberadaan PLTU 1 Indramayu membebani pertanian kami. Setelah ada PLTU 1 Indramayu, kami terbebani dengan modal yang lebih banyak untuk menggarap lahan,” kata Ahmad Yani, warga Jaringan Tanpa Asap Batubara Indramayu (Jatayu) saat mengikuti aksi Selasa, 21 Oktober 2025. 

Aksi petani menyerukan penghentian program co-firing biomassa pada PLTU 1 Indramayu di desa Sumur Adem, Sukrak, Indramayu, Selasa, 21 Oktober 2025. Dok. Istimewa

Pemerintah, melalui Perusahaan Listrik Negara, mulai mengembangkan program co-firing biomassa sejak 2020, yang mencampur biomassa seperti pelet kayu, serpih kayu, atau serbuk gergaji dengan batu bara untuk bahan bakar di pembangkit listrik eksisting. Pemerintah menargetkan 52 PLTU dengan campuran sebesar 5-10 persen biomassa. 

Menurut catatan Trend Asia, dibutuhkan pelet kayu sekitar 10,2 juta ton per tahun untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Angka tersebut setara dengan menebang 625.000 hektare hingga 2,1 juta hektare hutan. 

Trend Asia mencatat, proyek transisi energi ini selain dipertanyakan klaim bersih dan netral emisinya, juga akan berdampak pada pembukaan lahan besar-besaran untuk kebun energi. 

Menurut Pengkampanye Bioenergi Trend Asia Bayu Maulana Putra, pengembangan co-firing biomassa dalam skala besar juga dikhawatirkan akan menyebabkan deforestasi hutan alam dan kerusakan keanekaragaman hayati. 

“Proyek biomassa merupakan bentuk perampasan lahan terencana dan mengonsentrasikan lahan di tangan korporasi. Hal ini akan memperuncing ketimpangan akses atas lahan di berbagai wilayah. Proyek ini mengakibatkan kebangkrutan bagi masyarakat dan memperdalam kerentanan,”  katanya. 

“Cita-cita Presiden Prabowo soal Indonesia swasembada pangan justru akan semakin jauh akibat proyek biomassa, karena proyek ini mengancam kita ke gerbang krisis pangan,” ujar Bayu. 

Dampak dari proyek transisi energi ini juga dikhawatirkan akan berdampak pada pencemaran lingkungan dan perusakan sumber pangan lokal. Di Indramayu, penggunaan co-firing biomassa untuk PLTU berdampak pada kehidupan petani dan nelayan. Proyek co-firing biomassa mengakibatkan pencemaran pada sawah dan air di sekitar PLTU. 

“Kami tidak pernah mendapatkan solusi. Kami sebagai petani memperjuangkan ketahanan pangan, tapi diganggu oleh keberadaan PLTU. Dulu sebelum ada PLTU, pohon kelapa tumbuh subur, tapi sekarang tidak ada yang tumbuh. Kami menolak keberadaan PLTU 1 Indramayu dan meminta pemerintah menutup segera,” kata Ahmad. 

Petani menanam tanaman pangan sebagai aksi protes di kawasan hutan tanaman energi milik Perhutani di Hanjuang Barat, desa Waluran Mandiri, Sukabumi. Dok. Istimewa

Fazri Mulyono, warga Waluran Mandiri, Sukabumi, mengungkapkan kekhawatiran tentang potensi perampasan lahan yang dihadapi masyarakat yang tinggal di sekitar PLTU Pelabuhan Ratu di Sukabumi. Hal ini menyusul rencana Perhutani untuk memasok bahan baku ke pembangkit tersebut. Rencana ini dikhawatirkan akan berujung pada perampasan lahan garapan petani palawija diubah menjadi hutan tanaman energi. 

“Kalau kami mempelajari dari informasi saat sosialisasi pabrik biomassa, sekaligus saya bertanya saat itu, dari 1 jam pabrik beroperasi harus menghasilkan 5 ton. Kalau satu hari berapa jam kali 5 ton itu, maka estimasinya harus terpenuhi puluhan ton. Jadi kita bisa mengestimasikan luasan wilayah yang harus diproduksi dari pohon kaliandra itu,” ujar Fazri. 

“Kekhawatiran kami, akan mengakibatkan berkurangnya sumber mata air bersih dan gundulnya hutan. Tanah di Hanjuang Barat ini sudah kritis dan rawan bencana, kami khawatir proyek ini akan membawa bencana ataupun longsor,” katanya. 

Manager Advokasi dan Kampanye WALHI Jawa Barat Siti Hanna Alaydrus mengatakan, kasus di PLTU 1 Indramayu dan PLTU Pelabuhan Ratu hanyalah 2 dari 16 PLTU di Pulau Jawa yang menerapkan co-firing biomassa. Menurutnya, proyek biomassa disinyalir hanya akan memperpanjang usia operasi PLTU yang seharusnya masuk dalam skema pemensiunan dini maupun sudah waktunya pensiun. Akibatnya, kesehatan dan ekonomi masyarakat dan kerusakan lingkungan menjadi korban.

“Ini bukan solusi, tapi akal-akalan karena beban pencemaran yang ditimbulkan lebih besar. Co-firing bukan solusi yang menjadi kehendak warga karena pencemaran hujan abu tetap dirasakan di lahan pertanian warga. Tuntutan warga tetap sama, tutup PLTU 1 Indramayu dan hentikan skema yang diklaim sebagai energi bersih yang diterapkan di PLTU 1 Indramayu,” kata Siti.