LIPUTAN KHUSUS:
7 Catatan Kritis Walhi Terhadap Second NDC Indonesia
Penulis : Kennial Laia
Walhi menilai draf dokumen Second NDC Indonesia belum menjawab keadilan iklim.
Iklim
Jumat, 24 Oktober 2025
Editor : Yosep Suprayogi
BETAHITA.ID - Proses penyusunan draf dokumen iklim Indonesia telah mengabaikan prinsip partisipasi bermakna dan menyeluruh. Dokumen bernama Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional Kedua (SNDC) tersebut juga dinilai akan menjauhkan Indonesia dari komitmen penurunan emisinya, karena masih mengejar pertumbuhan ekonomi 8 persen dengan strategi menggenjot investasi pada industri ekstraktif.
Hal tersebut diungkap Wahana Lingkingan Indonesia (Walhi) dalam catatan kritis menyusul konsultasi publik secara terbatas, terhadap draf dokumen SNDC pada Kamis, 23 Oktober 2025, kurang dari tiga minggu sebelum pembukaan KTT iklim PBB COP30 di Brasil November mendatang.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Boy Jerry Even Sembiring mengatakan, secara substansi draf SNDC tersebut tidak mencerminkan tuntutan keadilan iklim. “Target iklim dalam SNDC ini masih semu dan kita masih dihadapkan pada kenyataan emisi skala besar akan terus dihasilkan dari kebijakan serta program nasional yang bertumpu pada model ekonomi pertumbuhan yang ekstraktif,” ujarnya.
“Prinsip keadilan iklim belum tercermin dalam proses maupun substansi SNDC. Kami tidak heran, sebab dokumen SNDC ini disusun secara tertutup, tidak memastikan partisipasi penuh rakyat. Sudah saatnya kembali ke rakyat, untuk merumuskan kembali aksi adaptasi dan mitigasi iklim berbasis keadilan, sehingga Indonesia bukan hanya dapat berkontribusi, tetapi memimpin aksi iklim secara global,” ujarnya.
Menurut Boy, terdapat tujuh catatan kritis Walhi atas substansi SNDC.
Dominasi energi fosil
Boy menilai SNDC Indonesia masih bertumpu pada energi fosil. Hal ini terlihat dari rencana umum energi nasional (RUEN) 2025-2034, yang menargetkan tambahan 16,6 gigawatt berbasis fosil, di mana 10,3 GW berasal dari pembangkit listrik berbasis gas. Di sisi lain, peta jalan penutupan pembangkit listrik tua belum tersedia. Bahkan beberapa PLTU tetap dipertahankan dengan rencana bauran sumber energi dari biomassa.
Menurut Boy, ketergantungan pada gas berisiko menambah emisi dan beban fiskal negara. “Penurunan bertahap PLTU batu bara mulai 2030, bukan penghapusan bertahap PLTU batu bara jelas bukan solusi strategis untuk mendorong penurunan emisi secara maksimal dalam konteks kebijakan transisi energi berkeadilan,” katanya.
Selain itu, SNDC Indonesia masih memuat substitusi energi sebagai model transisi energi, seperti bioenergi, hidrogen hijau, geothermal.
“Banyak fakta di lapangan bahwa model transisi energi seperti ini justru mendorong perluasan kebun kayu energi, perampasan wilayah adat dan wilayah kelola rakyat, deforestasi, dan pelanggaran hak asasi manusia. Di Merauke contohnya, pemerintah menargetkan membuka 1 juta hektare hutan untuk membangun kebun tebu demi mengejar target bauran 10 persen etanol sebagai bahan bakar kendaraan,” katanya.
Ekspansi izin tambang nikel
Draf dokumen SNDC juga memuat target percepatan elektrifikasi transportasi dengan target 2 juta kendaraan listrik roda empat dan 13 juta roda dua pada 2030. Menurut Boy, target ini akan mempercepat eksploitasi dan memperluas ekspansi izin tambang nikel di wilayah Sulawesi, Maluku, Raja Ampat, dan pulau-pulau kecil lainnya, termasuk mendorong laju deforestasi semakin kencang.
Walhi mencatat, pada 2022, luas konsesi tambang nikel mencapai 1 juta hektare, dengan 765 ribu hektare berada di dalam atau berbatasan langsung dengan kawasan hutan.
“Selain itu, target ini juga akan semakin membuat Indonesia bergantung pada pembangkit listrik fosil seperti PLTU batu bara, sebab hampir sebagian besar smelter nikel memakai PLTU batu bara sebagai sumber listrik mereka,” kata Boy.
Risiko deforestasi dari program swasembada pangan dan energi
Boy mengatakan, target swasembada pangan dan energi yang menjadi prioritas rezim Presiden Prabowo-Gibran tentunya akan semakin memperbesar deforestasi.
Program 20 juta hektare hutan untuk pangan dan energi menjadi salah satu bentuk kontradiksi antara kebijakan nasional dan komitmen iklim yang tertuang dalam SNDC.
Analisis Walhi sebelumnya mengungkap, jika seluas 4,5 juta hektare saja hutan alam dibuka, emisi yang dilepaskan akan mencapai 2,59 miliar ton emisi karbon. "Maka dapat diakumulasi berapa besaran emisi yang akan dilepaskan dari 20 juta hektare hutan yang akan dibuka," kata Boy.
Pendekatan berbasis komunitas dipertanyakan
Pendekatan adaptasi berbasis ekosistem dan komunitas yang tercantum dalam dokumen SNDC tidak tercermin dengan program pemerintah satu tahun terakhir. Boy mencatat, hingga Agustus 2025, terdapat 848.274 hektare wilayah kelola rakyat masih belum mendapatkan Surat Keputusan (SK) resmi dari pemerintah untuk pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat dan komunitas lokal.
“Untuk memastikan pendekatan ini tidak sekedar komitmen semu, Walhi menantang Kementerian Kehutanan untuk terlebih dahulu menyelesaikan proses rekognisi dan legalitas wilayah kelola rakyat ini sebelum COP30 berlangsung,” kata Boy.
Boy mengatakan, pemerintah juga harus menunjukkan komitmennya dalam melindungi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Di antaranya, melakukan koreksi menyeluruh terhadap 248 izin pertambangan yang beroperasi di 43 pulau kecil di Indonesia.
"Kegagalan untuk mengkoreksi kebijakan perizinan ini akan membuat target pemulihan mangrove seluas 2 juta hektare pada 2030 rentan untuk gagal," kata Boy.
Pendanaan iklim tidak aksesibel
Boy menilai, draf dokumen SNDC tidak memuat langkah progresif pemerintah untuk membangun model pendanaan iklim yang adil dan dapat diakses langsung oleh rakyat, baik untuk aksi adaptasi dan mitigasi, maupun sebagai biaya reparasi.
Mekanisme pendanaan iklim dalam SNDC yang masih dikelola oleh Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH). "Artinya, dana iklim Indonesia masih sangat terpusat dan birokratis, sehingga seringkali gagal menjawab kebutuhan rakyat," katanya.
Greenwashing dalam mekanisme carbon offset
Draf dokumen SNDC juga masih mengandalkan mekanisme carbon offset untuk sektor kehutanan dan penggunaan lahan, serta Emissions Trading System (ETS) untuk sektor energi dan industri besar.
"Alih-alih mengurangi emisi, justru mekanisme bisnis iklim ini justru tidak lebih dari pemberian izin yang akan mengakselerasi skema-skema green washing dan land banking," kata Boy.
Ilusi karbon netral dalam bisnis logging
Dokumen SNDC juga mulai memasukkan Harvested Wood Products (HWP) sebagai bagian dari penghitungan serapan karbon, sesuai dengan panduan Modalities, Procedures, and Guidelines (MPGs) dalam pelaporan transparansi UNFCCC.
Menurut Boy, HWP hanya melihat kayu sebagai “penyimpan karbon”, mengabaikan fungsi sosial-ekologis hutan sebagai tempat hidup masyarakat adat, keanekaragaman hayati, dan sistem air dan pangan.
"HWP hanya akan menjadi alat untuk terus mendorong bisnis logging atas nama mitigasi iklim, yang pada akhirnya akan terus mengabaikan dimensi sosial dan ekologis," kata Boy.
"Hal berbahaya lainnya adalah Ilusi bahwa penebangan pohon bisa “netral karbon”, padahal pada kenyataannya sebagian besar karbon cepat dilepaskan kembali," katanya.
Banyak produk kayu (terutama kertas, karton, dan bahan kemasan) berumur sangat pendek, hanya beberapa bulan hingga tahun. Setelah itu, produk dibakar atau membusuk di TPA, melepaskan karbon ke atmosfer, kata Boy.

Share

